Kultur Ngopi dari Interaksi Hingga Transformasi Sosial

Oleh :

Siti Nurhilda J, S.Sos (Ketua FTBM Kota Ternate)

Modernisasi mengubah kehidupan dan  pemenuhan kebutuhan hidup manusia melalui adanya kemajuan teknologi yang semakin canggih. Kemajuan teknologi telah memberikan pengaruh besar terhadap masyarakat di bidang sosial, ekonomi, dan budaya. Dengan pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat yang meningkat, tentu sangat mempengaruhi gaya hidup (lifestyle) sosial yang juga semakin tinggi. Tingginya gaya hidup sosial kini seolah menjadi perangkap tersendiri bagi kehidupan manusia.

Mengonsumsi kopi misalnya. Kegiatan mengonsumsi kopi kini tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan biologis saja, tetapi juga sebagai pemenuhan kebutuhan sosial (Tokay Argan dkk, 2015). Manusia sebagai makhluk sosial telah menjadikan kegiatan konsumsi kopi untuk bersosialisasi. Perubahan perilaku konsumen telah memberikan peluang bagi setiap kedai kopi untuk dapat meningkatkan penjualan. Kedai kopi juga menjadi telah tempat yang bisa memuaskan keinginan penikmat kopi, selain bisa bersosialisasi bahkan sebagai tempat menyelesaikan tugas dan pekerjaan kantor ataupun lainnya.

Budaya ngopi di kedai kopi memiliki banyak variasi, mulai menjadikannya sarana pelepasan hasrat, selera, serta ajang pembentukan budaya dan gaya hidupnya bahkan sampai pada kebutuhan media sosial. Kini popularitas kedai kopi atau kafe semakin naik dan populasinya semakin banyak di ruang kontemporer. Kita dapat menjumpai anak muda yang lebih menyukai nongkrong di kafe, apalagi anak muda di perkotaan. Sudah menjadi kebiasaan anak muda untuk nongkrong di kafe, agar terlihat kekinian atau tidak ketinggalan zaman.

Kepopuleran kafe yang menjadi tempat tongkrongan membuat banyak menimbulkan sterotip yang menjadikan anak muda sebagai pribadi yang konsumtif dan gemar menghabiskan uang hanya untuk sekedar nongkrong. Apalagi memandang budaya nongkrong sebagai aksi unjuk diri bukan sebagai aksi untuk bertukar cerita, sharing dan memenuhi kebutuhan minum kopi itu sendiri. Bahkan waktu yang dihabiskan anak muda untuk “tongkrongan” relatif sangat besar. Mereka senang berkumpul bersama teman dan sekedar menghabiskan waktu untuk minum kopi.

Sejarah Kopi

Jika ditinjau dari sejarah munculnya, kafe telah menciptakan kemungkinan untuk bentuk-bentuk aktual interaksi sosial. Sebelumnya, orang-orang saling berkunjung dari rumah ke rumah untuk bersilaturahmi, dan tuan rumah pun biasanya menyediakan jamuan makan minum, sebagian mungkin disiapkan oleh pelayan, kondisi ini menciptakan semacam hierarki antara tuan rumah dan sang tamu. Sekarang orang bisa bertemu teman sebaya di kafe, dan bertukar keramahtamahan dengan pijakan yang lebih setara, melalui cara sederhana untuk saling traktir secangkir kopi.

BACA JUGA   Coronavirus dan Dampaknya pada Perekonomian Indonesia

Dulu, kopi merupakan minuman para sufi dan para sahabat, yang membuat mereka terjaga di malam hari. Imam Bukhari pernah mengatakan bahwa begadangnya para ahli ilmu adalah membicarakan tentang ilmu atau membahas perkara keummatan yang tidak bisa ditunda esok harinya, dan dalam sejarah pun mengistilahkan kopi sebagai “Minuman Islam.”

Sejarah panjang tentang budaya ngopi di kafe sebenarnya sudah ada sejak zaman Kesultanan Ottoman, tepatnya di abad 16. Kemudian dari sana mulai bermunculan kedai kopi di berbagai negara dan jadi tempat orang menciptakan ide hingga membicarakan tentang revolusi. Kebiasaan sosial yang ditimbulkan oleh meluasnya konsumsi kopi di kedai kopi di kota-kota kerajaan Ottoman. Lingkaran orang-orang yang mengobrol di sekitar tungku kopi membentuk filosofi hidup baru yang dijalin bersama oleh mereka yang terpikat oleh kenikmatan yang diberikan oleh minuman kopi ini. Dari situ mereka membentuk jaringan sosialisasi budaya yang semakin komprehensif sehingga melahirkan proses sosialisasi yang menjangkau seluruh elemen masyarakat.

Menukil dari salah satu teori seorang sosiolog Jerman, Jurgen Habermas, bahwa ruang publik akan terjadi ketika antar individu saling berinteraksi tanpa ada intervensi atau sekat yang membatasi. Kedai kopi, salah satu ruang publik yang mampu membawa iklim diskusi dan menghasilkan diskursus tanpa ada rasa menggurui. Tak heran jika Revolusi Perancis berawal dari akumulasi ide di kedai kopi. Bermula dari seorang warga Italia, Francesco Procopio Dei Cotelli, mendirikan sebuah kedai di Paris tahun 1686. Kala itu, kedai kopi milik Procopio (yang kemudian diberi nama Le Procope) hanya sekadar digunakan sebagai tempat minum dan berdiskusi santai. Lambat laun tempat ini terkenal sebagai wadah pencerahan setelah berbagai seniman dan intelektual sering berdiskusi disana. (Akyas Aryan. 2023)

Di negara Indonesia, Bung Karno merupakan salah satu tokoh revolusioner yang gandrung terhadap kopi. Sebelum berpidato, Soekarno menyempatkan diri untuk meneguk kopi tubruk yang panas nan pekat. Dalam sebuah jurnal studi psikologi oleh Maghfiroh ( 2019), kafein dalam kopi memberikan stimulus pada otak, meningkatkan suasana senang hati, dan memberikan dorongan energi sehingga mengurangi risiko kelelahan.

BACA JUGA   Perkembangan Fintech di Masa Pandemi

Tak heran jika berkesempatan berpidato, Bung Karno bak singa diatas podium. Kopi tubruk juga menjadi rahasia kesuksesan Bung Karno dalam proses lobbying politik. Pada tahun 1950-an, ketika Soekarno diundang oleh Josep Broz Tito, Presiden Yugoslavia, untuk menghadiri ramah tamah di sebuah nightclub. Bung Karno ditawari sebotol wine, namun beliau menolak dan lebih memilih kopi atau air jeruk hangat (Akyas Aryan. 2023).

Budaya Ngopi

Di sini jelas, budaya “ngopi” mulai bergeser baik secara nilai fungsi menjadi nilai simbolik, yang tadinya kedai kopi atau kafe adalah tempat terjalinnya silaturahmi antar sesama, berkembang menjadi ruang diskusi dengan berbagai keterbukaan pikiran, bahkan memiliki peran penting dalam era revolusi berbagai negara. Kini, banyak yang menganggap kedai kopi atau kafe sebatas bersenang-senang dengan teman sebaya hingga menghabiskan waktu cukup lama di kafe dan terkesan tidak  produktif.

Mengutip dari Jurnal Sosioteknologi (Lina Meilinawati, 2020) menyebut orang-orang yang datang ke kafe atau kedai kopi itu untuk melakukan pekerjaan, bukan untuk menikmati kopi. Jadi, mereka tak memerhatikan aspek kopi pada saat mereka datang ke kafe. yang datang ke kafe tidak lagi mempersoalkan jenis kopi, dari mana kopi itu berasal, dan tidak lagi perhatian juga pada cita rasa kopi.

“Kafe adalah tempat untuk bersosialisasi, mendapatkan suasana berbeda (dari kantor atau tempat belajar) untuk menyelesaikan tugas dan pekerjaan. Ngopi adalah perilaku sosial untuk membangun atau mengukuhkan identitas seseorang dalam lingkungannya,” tulis jurnal tersebut.

Kita tidak dapat menolak bagaimana media sosial memiliki dampak besar pada kehidupan manusia. Di mana kaum milenial sangat menghargai kesempatan yang diberikannya untuk menjadi lebih kreatif juga ekspresif. Karena media sosial, mereka lebih mementingkan tempat yang indah dan unik  daripada rasa kopinya, mencari tempat yang indah atau tempat yang Instagramable untuk sekadar mengambil foto dan mempostingnya. Lain halnya dengan para pecinta kopi yang biasanya tidak begitu memperdulikan tempat karena mereka mementingkan cita rasa dari kopi yang disajikan.

Pemaknaan Kedai Kopi Lewat Vernacular Semiotic

Masyarakat kota dengan konsumsi kapitalnya kemudian mampu membangun makna-makna tertentu dari aktivitas meminum kopi. Suatu ruang dirancang untuk dapat memenuhi kebutuhan para penghuninya. Aktivitas meminum kopi di warung pinggir jalan adalah bukti bahwa meminum kopi menjadi kebutuhan tiap orang, sehingga keberadaannya ada di mana-mana. Lain halnya pada era post-modern di wilayah perkotaan. Kedai kopi gelombang ketiga menjawab kebutuhan masyarakat kota yang gemar mengonsumsi makna-makna tertentu dari aktivitas meminum kopi. Bahwa meminum kopi tidak hanya melibatkan kebutuhan dosis kafein belaka, melainkan adalah kegiatan psikis yang mengukuhkan identitas individu atau kelompok didalamnya. (Abduh Rafif, 2020)

BACA JUGA   Pembungkaman Fungsi Partai Politik

Lewat ruang visual kedai kopi tidak hanya mencitrakan bahwa kedai kopi mereka unik, tetapi pelanggan yang datang akan merasa bahwa mereka juga termasuk dalam golongan tertentu yang tidak dapat disamakan dengan individu/kelompok lainnya. Perasaan ini juga membawa pada kesimpulan bahwa yang dikonsumsi oleh pelanggan adalah kesan dan makna dalam ruang kedai kopi lewat tanda visual. Hal ini khas dengan masyarakat urban dan gaya hidup post-modern. Konsep kedai kopi third wave yang kritis terhadap olahan kopi, tidak diindahkan oleh para pengunjung. Justru, pengujung ingin terlihat seakan-akan peduli terhadap olahan kopi dengan datang ke kedai kopi tersebut. Hal ini tentunya sangat erat dengan gaya hidup post-modern yang seringkali menyimbolkan barang-barang consumer goods yang punya makna lebih kepada individu atas dirinya ataupun golongan kelompok apa dia berasal.

Faktor yang membentuk budaya ngopi demikian di antaranya generasi millenial mempunyai persepsi bahwa kafe atau tempat ngopi memiliki sebuah prestige sosial, sehingga anak muda kekinian ini sudah menjadikan kafe sebagai gaya hidupnya. Selain itu dalam era modern saat ini fashion menjadi sarana pengaktualisasian diri dihadapan publik dan juga media sosial.

Karena itu, spirit diskursus yang dibangun ketika pergi ke kafe atau kedai kopi berpengaruh juga pada design tempat dan kepentingan mereka meminum kopi. Dengan demikian sebaiknya kita dapat melihat kopi sebagai mediasi pengembangan desain sosial di mana setiap orang dapat berkontribusi pengetahuan dan pengalaman mereka sendiri. Dalam kaitan itu, di mana kebiasaan kopi yang tercipta di dunia Islam boleh dikatakan telah meletakkan fondasi bagi model sipil baru yang didasarkan pada sosialisasi.