Sherly Tjoanda, ke Mana Arah Pembangunan Maluku Utara?

Oleh:

Mochdar Soleman, S.IP., M.Si (Dosen dan Pengamat Politik Lingkungan, Universitas Nasional Jakarta)

The entire history of capital is the history of the expropriation of the producers.” Karl Marx 

Maluku Utara di Persimpangan Pembangunan

Maluku Utara mengalami transformasi besar dalam dua dekade terakhir. Dari wilayah yang semula berbasis ekonomi agraris-pesisir, provinsi ini kini menjelma menjadi episentrum hilirisasi industri nikel nasional. Pemerintah pusat menjadikan kawasan ini sebagai lokomotif ekonomi hijau, dengan smelter, pelabuhan, dan jaringan investasi yang tumbuh cepat.

Namun, pembangunan yang bertumpu pada industri ekstraktif membawa serta paradoks. Satu sisi menampilkan wajah kemajuan ekonomi – pertumbuhan dua digit, ekspor melonjak, dan modernisasi infrastruktur. Di sisi lain, ia meninggalkan jejak kerusakan ekologis, keterasingan masyarakat adat, dan ketimpangan sosial. Kasus Gebe, Maba, dan Weda mengilustrasikan wajah ambivalen dari apa yang disebut “proyek pembangunan”.

Nama Sherly Tjoanda, politisi perempuan asal Maluku Utara, kerap muncul sebagai representasi elite yang memegang peran penting dalam konfigurasi ekonomi-politik daerah ini. Sebagai aktor kunci dalam investasi pertambangan dan perumusan arah kebijakan daerah, kehadirannya juga membuka perdebatan tentang bagaimana pembangunan dikendalikan dan kepada siapa ia berpihak.

Melalui artikel ini, saya menyoroti arah pembangunan Maluku Utara melalui dua pendekatan yakni Kapitalisme Ekstraktif dan Alienasi Ekologis (Marx & Clarke), serta Patronase Politik dan Negara Bayangan (Liddle & Schulte Nordholt).

Pendekatan tersebut relevan digunakan untuk meneropong dan menjelaskan relasi kuasa antara aktor negara, elite lokal seperti Sherly Tjoanda, serta rakyat yang terdampak pembangunan.

Memotret peran Sherly Tjoanda dalam Pendekatan Marx dan Clarke

Karl Marx menekankan bahwa kapitalisme dibangun di atas pemisahan manusia dari sarana produksinya, terutama tanah dan ruang hidup. Ini menjadi fondasi dari apa yang disebut kapitalisme ekstraktif, di mana eksploitasi sumber daya alam menjadi basis akumulasi.

BACA JUGA   Mengapa Maluku Utara Paling Bahagia?

Dalam kerangka ini, Maluku Utara dikonstruksi bukan sebagai ruang kehidupan, melainkan sebagai “lumbung logam global”. Lebih dari 95.000 hektar wilayah Halmahera Tengah telah dikuasai oleh izin usaha pertambangan (IUP), termasuk PT IWIP yang memiliki konsesi 45.045 hektar. Di Pulau Gebe dan Maba, hutan adat berubah menjadi kawasan tambang nikel, sementara wilayah tangkap nelayan di Teluk Weda dan Pulau Pakal terganggu oleh sedimentasi dan pencemaran industri.

Data dari JATAM, WALHI dan Trend Asia (2023) mencatat deforestasi masif, pencemaran air tanah, dan migrasi ekologis masyarakat desa yang terdampak. Lebih dari 1.126 hektar lahan di Gebe dan sekitarnya berubah fungsi hanya dalam lima tahun terakhir.

Simon Clarke menyebut bahwa kapital bukan benda mati, tetapi relasi sosial yang hidup. Smelter, pelabuhan, dan jalan industri bukan sekadar infrastruktur, tetapi simbol dominasi atas ruang dan tubuh masyarakat. Ketika masyarakat adat kehilangan hak ulayat, dan nelayan tak lagi punya akses ke laut, maka yang terjadi adalah alienasi ekologis yakni keterasingan total dari lingkungan yang menopang kehidupan mereka.

Just a moment...