Oleh : Tata Nan Pranata*
Sekitar tahun 60-an. Presiden Soekarno menunjuk pasukan pengawal presiden ‘Cakrabirawa’ agar membentuk sebuah grup musik. Tujuannya untuk menghibur presiden dan tamu-tamu kenegaraan di tengah hiruk-pikuk politik.
Grup band ABS pun dibentuk. Iskandar Winata, pemrakarsa sekaligus pimpinan band. Iskandar sadar bahwa selain pimpinan Politik, Bung Karno juga gemar akan seni, seperti musik; dansa, lenso atau cha-cha. Walaupun dalam beberapa kesempatan Bung Karno kerap menolak musik-musik impor.
Band ABS biasanya turut hadir dalam acara kenegaraan sebagai penghibur tamu, juga mendampingi Bung Karno melawat ke luar negeri. Awal mula pembentukannya, band ini menggunakan peralatan masak sebagai alat musiknya. Kuali, panci, penggorengan dan peralatan dapur lainnya. Hingga mereka mendapat sumbangan peralatan musik yang lebih layak dari seorang pengusaha.
Menurut penjelasan salah seorang ajudan Bung Karno, Letkol KKO Bambang Widjanarko. Sampai akhir hayatnya, Bung Karno tidak pernah mengetahui bahwa nama ABS merupakan singkatan dari “Asal Bapak Senang.” Nama ABS menurut Bambang, sama sekali tidak mengandung unsur politis. Tidak untuk mendapatkan jabatan tertentu, tanda jasa atau tanda-tanda kehormatan lainnya. Terbentuknya ABS, murni atas perintah Bung Karno langsung.
Demikian juga keterangan Mangil Martowidjojo, pengawal pribadi Bung Karno dalam bukunya Kesaksian tentang Bung Karno 1945-1967. Istilah ABS tersebut menurut Mangil, tidak mengandung muatan politik sedikit pun. Band ABS menjadi tersohor karena singkatan ini. ABS menjadi satu-satunya band yang dapat mengikuti kehendak Bung Karno karena personilnya para pengawal pribadi beliau.
Nama ABS kemudian semakin dikenal, hingga kemudian sekitar akhir tahun 60-an, nama ABS ini diplesetkan oleh Soe Hok Gie, seorang aktivis anti Soekarno. Seperti dikutip dari catatan John Maxwel dalam karangannya yang berjudul “Mengenang Seorang demonstran”.
Menurut Soe Hok Gie, orang-orang di sekeliling Bung Karno cenderung korup dan culas, sementara politisi dan para pimpinan partai tidak lebih dari penjilat bermental ABS, Asal Bapak (Soekarno) Senang.
Setelah orde lama berakhir, datanglah orde baru di bawah kendali Jendral Soeharto. Istilah ABS pun semakin populer. Para aktivis anti-Soeharto seringkali menuduh para pembantu Soeharto bermental ABS. Dan memang demikian yang tampak. Para kroni dan pembantu Soeharto melakukan segalanya “Asal Bapak (Soeharto) Senang”.
Siapa yang tidak kenal Harmoko? Di penghujung orde baru Harmoko kerap tampil sebagai “tangan kanan” Soeharto. Kita tentu akrab dengan kalimat “Sesuai petunjuk bapak”. Stempel ABS melekat di ‘jidat’ Harmoko sebagaimana yang ditulis Jusuf Wanandi.
Hingga menjelang detik-detik kejatuhan Soeharto. Sang “tangan kanan” setia tersebut, kemudian berbalik arah. Harmoko justru meninggalkan Soeharto bersama reruntuhan orde baru.
“Lebih dari itu, ia merasa dikhianati. Ia ditinggalkan oleh teman-teman dan mereka yang ia percaya selama ini. Itu melukai perasaannya,” tulis Jusuf Wanandi, dalam buku Menyibak Tabir Orde Baru, Memoar Politik Indonesia 1965-1998.
Patah tumbuh, hilang berganti. Orde baru jatuh, Refomasi lahir. Tabiat ABS semakin membudaya. Seringkali tabiat ini tampil secara terang-terangan. Tidak lagi sembunyi-sembunyi, berkelompok, difabrikasi dan kian terorganisir.
Kini tabiat ABS menjadi lumrah dalam realitas politik kita. Para aktivis maupun jurnalis yang seharusnya kritis pun terjangkit tabiat yang sama. Sanjung puji kepada penguasa seolah biasa. Panggung politik kini tak ubahnya opera feodal gaya baru.
Di era 4.0, para ABS disekitar penguasa kemudian bermetamorphosis menjadi peternak buzzer. Media sosial dipenuhi akun anonim yang konsisten memuji kebijakan penguasa. Orkestrasi opini, kritik dibalas fitnah, oposisi dibully.
Lebih parah lagi, para buzzer tersebut dibiayai dengan uang negara. Seperti temuan ICW (Indonesia Corruption Watch), bahwa anggaran buzzer dari uang negara mencapai 90,4 Millyar. Buzzer diternak dan dipelihara. Dibina dan dibayar. Ironis!
Tidak hanya di tingkat pusat. Di daerah pun sedemikian parah. Bila Bupati berbaju merah, semua jajarannya ikut berbaju merah. Begitu juga jika Sang Bupati berbaju kuning, semua jajarannya pun ikut berbaju kuning. Warna favorit berubah-ubah tergantung warna penguasa.
Para jajaran takut dimutasi, dipindahkan ke daerah terpencil, dipisahkan dari keluarga besarnya. Mereka takut tidak mendapat jabatan. Takut hidup susah. Maka apapun dilakukan. Semua bisa diatur. Bahkan utak-atik APBD, tentu “Asal Bapak Senang.”
Tidak hanya di pemerintahan. Pola pikir ABS pun menjangkiti para penerus bangsa. Tak terkecuali para aktivis mahasiswa. Kegiatan organisasi kerap mengandalkan uluran tangan penguasa, atau senior yang dekat dengan penguasa. Sehingga tidak ada kemandirian kader, kreativitas apalagi inovasi.
Kuatnya budaya ABS (baca: paternalisme dan patrimonial) tak lepas dari aspek historis dan kultur yang telah berurat di Indonesia sejak zaman pencarian rempah-rempah. Budaya ABS merupakan pola pikir warisan penjajah yang dipelihara hingga kini. Budaya feodal ini dilukiskan oleh Mochtar Lubis dalam tulisannya.
“Telah berakar jauh ke zaman dahulu, ketika tuan feodal Indonesia merajalela di negeri ini, menindas rakyat dan memperkosa nilai-nilai manusia Indonesia.Tuan feodal ini biasanya para tuan tanah atau raja-raja. Di masa lalu, mereka kerap dibisikkan kabar baik yang tujuannya hanya untuk menyenangkan Sang Tuan lalu terhindar dari kemarahan, sekaligus agar semakin disayang,” (Mochtar Lubis, Situasi dan Kondisi Manusia Indonesia Kini: 1977)
Pengidap ABS kerap menjadikan kebohongan sebagai lentera, kebenaran seperti barang langka. Kaum cendikia menjadi pemandu sorak kekuasaan. Tidak ada lagi gotong royong, bahu membahu, tolong-menolong. Tidak ada team work. Semua saling berebut kepercayaan bapak, saling menggunting dalam lipatan, saling menjegal kawan seiring. Asal Bapak Senang.
Puja dan puji seringkali membuat sang penguasa terlena hingga keluar rel. Keluar jalur.
*) Penulis adalah alumni UPN Veteran Yogyakarta