Ternate,- “Oke, saya tunggu yaa,” demikian pesan yang terakhir terbaca dari percakapan kami di whatsapp malam itu, permintaan wawancara yang harus berkali-kali kami ajukan, akhirnya disetujui. Udara dingin seusai hujan terasa menusuk kulit, laju sepeda motor yang kami tumpangi melesat membelah angin. Pukul 22.00 kami pun tiba di Hotel Sahid Bela Ternate, Sabtu 28 Agustus 2021.
Rencana malam itu adalah mewawancarai Rifita Tengku Idris (32), Bendahara Gekrafs Maluku Utara, yang baru saja dilantik sabtu pagi oleh Ketua Umum DPP Gekrafs, Kawendra Lukistian. Keramahan Fita –demikian ia disapa– sudah terasa sejak kami tiba di hotel tersebut. Setelah saling bertanya kabar kami pun mengambil tempat di teras coffee shop lalu mulai berdiskusi.
Fita pun mulai bercerita tentang awal mula ia memutuskan kembali ke Maluku Utara, tepatnya di kampung halaman orang tuanya yaitu Halmahera Tengah. Nama Rifita mungkin masih terdengar asing di telinga banyak orang di Maluku Utara, namun tidak jika kita menyebut nama kakeknya. Ya, Rifita Tengku Idris adalah cucu kesayangan seorang tokoh nasional, menteri pemuda dan olahraga di masa orde baru, yaitu almarhum Dr. Abdul Gafur Tengku Idris. Rifita adalah anak tunggal dari pasangan pengusaha M. Lutfy Tengku Idris dan Rien Isti, seorang dokter.

Darah pejuang memang mengalir di tubuh Fita, dari silsilah keluarganya, kakek buyut Fita adalah Tengku Idris, salah satu panglima perang asal Aceh dan merupakan tangan kanan Tengku Cik Dikila yang di buang ke Maluku Utara oleh penjajah di era perang dunia. Anak Tengku Idris yaitu, Abdul Hamid Tengku Idris turut serta dalam perjuangan rakyat Maluku Utara di masa penjajahan, ia adalah adalah salah seorang pendiri Persatuan Indonesia, organisasi perlawanan pertama di Maluku Utara bersama Arnold Mononutu dan yang lainnya.
Semasa hidupnya, Abdul Hamid Tengku Idris memperistri seorang pejuang perempuan bernama Aisyah Faroek. Berdasarkan cerita kakeknya, Fita mengungkapkan bahwa nenek buyutnya, Aisyah Faroek berasal dari Tidore dan masih merupakan kerabat kesultanan Tidore. Aisyah Faroek bersama Hi. Salahudin adalah tokoh perlawanan rakyat Patani waktu itu. Dari pasangan Abdul Hamid Tengku Idris dan Aisyah Faroek, lahirlah kakak beradik Abdul Razak Tengku Idris dan Abdul Gafur Tengku Idris. Kedua kakak beradik tersebut di kemudian hari terlibat aktif dalam perjuangan nasional.
Abdul Razak Tengku Idris bergabung dengan TNI AU hingga mencapai pangkat Marsekal (Mayor Jenderal), beliau adalah perwira tinggi AU pertama dari Maluku Utara. Sedangkan sang adik, Abdul Gafur Tengku Idris kita ketahui kemudian menjadi salah satu tokoh penting angkatan 66 yang diangkat oleh Presiden Suharto sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga.

Latar belakang inilah yang mendorong Fita kembali dan berusaha memberikan pengabdiannya untuk Halmahera Tengah. Sudah setahun belakangan ini ia tinggal dan menetap di Weda, meskipun sesekali masih pulang ke Jakarta. Dengan kesederhanaan Fita, sulit rasanya untuk percaya bahwa ia adalah keturunan tokoh besar Maluku Utara. Pribadi yang ramah dan humble membuat semua orang ingin berteman dengannya, setidaknya itu yang kami rasakan. Keramahannya mampu membuat suasana wawancara lebih terasa seperti diskusi dua orang teman.
Tete Gafur –sapaannya untuk sang kakek– bagi Fita adalah inspirator utama dalam hidupnya, ia mengaku banyak menghabiskan hari-harinya bersama beliau. Fita bercerita, beberapa tahun terakhir, ia memang tinggal di rumah kakeknya, praktis setiap sarapan mereka selalu bersama. Mambahas headline koran dan mendiskusikan buku bacaan, sudah menjadi rutinitas Fita bersama almarhum, mulai dari isu politik, sosial, kebudayaan hingga ekonomi menjadi bahan diskusi mereka. Keputusannya untuk kembali ke Halmahera Tengah ia akui sangat dipengaruhi oleh diskusinya dengan almarhum, terutama menjelang beliau tutup usia.
“Tahun 2019, ketahuan ngekost, Tete Gafur marah dan minta saya tinggal bersamanya di rumah, Jalan Teuku Umar, Menteng. Sejak saat itu saya selalu menemani beliau, terutama saat beliau sarapan dan buka puasa, sesekali saya menemani beliau sholat di Mesjid Cut Meutia, Menteng,” ungkap Fita.
Fita memesan segelas teh panas sedang saya memilih teh lemon panas, udara dingin di teras coffe shop yang basah rasanya mulai mengganggu, sedikit minuman panas boleh juga.

Lahir dan tumbuh di Jakarta, tidak membuat Fita tampak seperti anak-anak ibukota lainnya. Wawasan yang luas dengan cara bicara yang sopan dan tertata, jelas menggambarkan kecerdasannya. Selain karena faktor genetik, nampaknya kecerdasan Fita juga karena ditempa di sekolah- sekolah terbaik, menamatkan SD dan SMP di Yayasan Al-Azhar Indonesia –salah satu lembaga pendidikan tekemuka di Jakarta– Fita menyelesaikan pendidikan menengahnya di SMA Labschool Jakarta pada 2007 sebelum kemudian
mendapat beasiswa penuh di Universitas Bakrie (waktu itu masih bernama Bakrie School Of Management), kuliah yang ia selesaikan dalam waktu empat tahun.
Seusai kuliah, berbeda dengan teman-temannya yang memilih terjun ke dunia kerja, Fita justru melibatkan diri di bidang riset, kecintaannya pada dunia riset berawal dari tugas skripsi yang ia kerjakan saat itu. Proses mengerjakan skripsi menurut Fita adalah masa dimana ia merasa mentalnya benar-benar diuji, terlebih ia dibimbing oleh seorang dosen yang terkenal tegas dikampusnya. Dosen yang ternyata melirik bakatnya dan kemudian mengajaknya bergabung di Bakrie Research Center, sebuah lembaga riset di bawah grup usaha Bakrie.
Bekerja di bidang riset, tak terhitung berapa kota yang telah ia singgahi untuk kepentingan penelitian. Salah satu yang cukup berkesan dan menjadi penanda dalam karirnya sebagai seorang peneliti adalah ketika ia terlibat dalam riset tentang budidaya rumput laut di Lembongan, Bali, sekitar tahun 2012. Tinggal di Bali berbulan-bulan membuat ia benar-benar meresapi kehidupan para petani rumput laut disana, sayangnya kini kawasan tersebut telah dibangun resort-resort untuk kepentingan wisata, entah bagaimana nasib para petani rumput laut tersebut saat ini.

Setelah sekian tahun menggeluti dunia riset yang sebagian besar aktivitasnya adalah turun ke lapangan. Atas permintaan orang tua, Fita pun beralih mencoba bekerja kantoran sebagaimana teman-teman seumurannya di Jakarta saat itu. Tidak tanggung-tanggung, karirnya di dunia kerja ia awali sebagai karyawan di salah satu perusahaan konsultan pajak terkemuka. PB Taxand, perusahaan konsultan pajak yang cukup terkenal di Indonesia, salah satu perusahaan yang masuk kategori Big Four (empat besar) di bidang pajak.
Dari karyawan yang semula dipandang sebelah mata oleh rekan kerjanya, Fita kemudian berkembang menjadi sosok karyawan andalan. Pribadinya yang menyenangkan didukung kinerja yang profesional, membuat klien-klien besar dikantornya mempercayakan urusan pajak mereka untuk ia tangani. Kepercayaan inilah yang membuat Fita berkesempatan mengunjungi berbagai negara di dunia, mengingat perusahaan yang meminta ia urusi pajaknya, sebagian memang usahanya berada di luar negeri.
Faktor lainnya adalah karena kemampuan bahasa Inggris yang fasih dan sedikit bahasa mandarin, membuatnya lebih mudah untuk berkomunikasi dengan klien dari berbagai negara. Fita mengaku, hingga sekarang ia masih dipercaya secara pribadi mengelola pajak klien-kliennya, meski kini ia telah menetap di Maluku Utara. Mungkin pengalaman di bidang konsultan pajak inilah, alasan mengapa ia begitu detil mengetahui seluk-beluk dunia perpajakan.

Tahun 2019, setelah sekian lama bekerja di bidang konsultan pajak ia pun berhenti dan memilih menghabiskan waktu bersama keluarga. Kondisi ayahnya yang sakit mengharuskan Fita untuk selalu di dekat beliau, apalagi ia adalah anak tunggal. Selama proses penyembuhan sang ayah, Fita mengaku lebih memiliki banyak waktu bersama ayah dan kakeknya. Sempat indekost di dekat kantornya sewaktu bekerja, Fita kemudian pulang dan tinggal bersama kakeknya hingga akhir usia beliau.
Seringnya berdiskusi dengan sang kakek membuat kecintaan Fita terhadap Maluku Utara semakin kuat dari hari kehari. Hampir setiap saat kakeknya selalu bercerita tentang Maluku Utara, baik sejarah, kebudayaan hingga cita-cita sang kakek akan masa depan provinsi ini. Menurutnya, di antara sekian banyak cucu, ia adalah salah satu yang paling sering bersama beliau. Sehingga wajar jika semua cerita tentang daerah ini begitu membekas di ingatan Fita. Di perpustakaan pribadi almarhum-lah, Fita melahap banyak referensi tentang Maluku Utara. Kenangan yang membuat ia merasa sangat kehilangan sewaktu beliau wafat.
Selain kakeknya, sosok lain yang menurut Fita begitu berpengaruh dalam keputusannya untuk pulang adalah Bupati Halmahera Tengah, yang juga masih kerabat dekat keluarganya. Sosok Om Elang -sapaan akrab Fita untuk Bupati Edi Langkara- yang mendukung langkahnya untuk kembali dan berusaha mengabdi di Halmahera Tengah.

Berbekal keahlian dan pengalaman di dunia konsultan sebelumnya, Fita pun meretas jalan mendirikan perusahaan konsultan perencanaan di Halmahera Tengah. Fita kini tercatat sebagai Komisaris PT. Berjaya Berkah Engineering, salah satu hasil karya Fita dan timnya, yang ia dedikasikan untuk Halmahera Tengah adalah merancang Wisma Fagogoru Halteng di kawasan Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Sebuah rancangan yang akan segera dibangun oleh pemerintah kabupaten.
Fita berharap, semoga karya tersebut menjadi bentuk pengabdiannya sebagai seorang putri Patani dan menjadi jawaban atas harapan sang kakek, meskipun diakuinya belumlah seberapa. Kekerabatannya dengan sang Bupati memang ia khawatirkan menjadi bahan cibiran berbagai pihak, namun hal itu akan berusaha ia jawab dengan profesionalitas.
Waktu sudah pukul 01.25, ketika diskusi kami hentikan sementara, sejenak Fita harus meninggalkan kami untuk menolong temannya yang sedang dalam kesulitan malam itu. Tak beberapa lama ia pun kembali, diskusi pun kami lanjutkan.

Fita mengungkapkan bahwa masih banyak hal yang ingin ia kerjakan di Halmahera Tengah, ia meyakini bahwa permintaan sang kakek untuk kembali dan mengabdi di Halteng pasti ada hikmahnya. Ia mengaku sangat senang, meskipun harus meninggalkan semua fasilitas di Jakarta dan hidup indekost di Weda. Mengunjungi tempat-tempat indah dan bercengkrama setiap saat dengan masyarakat di Halteng adalah sebuah kebahagiaan tersendiri baginya.
“Tete Gafur pernah bilang, Fita ini kerja terus, harus direm, sejauh-jauhnya merpati terbang akan kembali ke sangkarnya. Tete mau Fita bantu Tete, kembali ke kampung halaman untuk berbuat sesuatu,” kenang Fita mengutip pernyataan almarhum.
Kini Fita bergabung di Gekrafs Maluku Utara, sebuah wadah pengembangan potensi Ekonomi Kreatif. Melalui wadah ini, ia ingin lebih banyak memberikan kontribusi untuk pembangunan ekonomi Maluku Utara dan Halmahera Tengah. Banyak hal yang sudah ia rencanakan untuk dilakukan kedepan, Ia berharap kehadirannya dapat memberikan sedikit energi positif bagi generasi muda Fagogoru supaya semakin optimis menatap masa depan. Abdul Gafur sudah melakukannya, kini tantangan itu ada di pundak para penerus, yaitu hadir dan menginspirasi masyarakat Halmahera Tengah dan Maluku Utara.
Jarum jam berputar begitu cepat, tak terasa sudah pukul 02.00, Coffee Shop tersebut juga sudah mulai sepi. Lelah setelah seharian beraktivitas mulai terasa membebani mata, rasa kantuk pun perlahan datang dan wawancara harus kami sudahi. Kami pun berpisah dengan harapan dapat kembali berdiskusi di lain waktu. Ia berjanji akan mengunjungi kantor Sentranews.id di Tidore dalam waktu dekat.
Reporter : MW
Editor : Redaksi