Hilangnya Suara Orang Loloda

Seperti diungkapkan oleh Nila F. Moeloek, mantan Menteri Kesehatan RI: “Keadilan kesehatan bukan soal alat canggih, tapi soal siapa yang punya akses.” Di Loloda, akses itulah yang menjadi mimpi panjang. Negara belum menunaikan hak dasar konstitusional rakyatnya: hidup sehat dan sejahtera lahir batin.

Infrastruktur: Membangun Tanpa Akses

Hingga 2025, akses jalan utama menuju desa-desa di pedalaman Loloda masih bergantung pada cuaca. Jalan tanah, jembatan kayu darurat, dan medan ekstrim menjadi tantangan harian warga. Sungai masih menjadi satu-satunya jalur penghubung bagi sebagian besar wilayah Loloda, terutama di musim hujan ketika longsor menutup jalan utama.

Infrastruktur yang buruk bukan sekadar soal logistik, tapi juga soal keadilan. Thomas Hobbes pernah menulis bahwa “tanpa infrastruktur, kehidupan manusia akan brutal dan pendek.” Ketika anak sekolah harus berjalan berjam-jam melewati hutan, dan pasien harus ditandu puluhan kilometer untuk perawatan, maka pembangunan kehilangan makna dasarnya: melayani kehidupan manusia.

Pertambangan: Janji Emas di Atas Derita

Ketika suara orang Loloda nyaris tak terdengar, suara alat berat dan proyek tambang justru bergema. Beberapa perusahaan telah mendapat izin eksplorasi dan eksploitasi di kawasan hutan adat dan pegunungan suci masyarakat Loloda. Namun, janji lapangan kerja dan pembangunan hanya menyentuh segelintir pihak, sementara kerusakan ekologis, kehilangan tanah ulayat, dan potensi konflik horizontal mengancam masyarakat.

Dalam kata-kata Amartya Sen: “Pembangunan bukan hanya tentang peningkatan pendapatan, tapi tentang memperluas kebebasan.” Jika tambang justru mempersempit ruang hidup dan suara masyarakat lokal, maka itu bukan pembangunan, melainkan penjajahan gaya baru yang dibungkus investasDesentralisasi Anggaran Pendidikan dan Kesehatan. Pemerintah Daerah harus memastikan afirmasi anggaran untuk wilayah terisolasi seperti Loloda, termasuk perekrutan tenaga lokal yang diberi pelatihan profesional.

BACA JUGA   Meretas Paradox Of Plenty

Pembangunan Infrastruktur di wilayah ini mengedepankan asas keadilan sosial. Fokus pembangunan tidak boleh terjebak pada pusat kota. Jalan penghubung antar desa dan layanan transportasi reguler menjadi kebutuhan mendesak, bukan kemewahan.

Terlepas dari semua ketimpangan yang dirasakan oleh masyarakat, Kecamatan Loloda dan Jailolo adalah lokasi sentra perikanan dengan kekayaan laut berupa ikan kerapu, kakap, napoleon, baronang, lobster, teripang, dan rumput laut. Perikanan tangkap dan budidaya seperti nila, gurami, dan rumput laut mendominasi ekonomi lokal. Sementara, nelayan lokal masih menggunakan perahu sederhana dan peralatan tradisional sehingga kalah bersaing dengan nelayan dari luar daerah, maka pada akhirnya potensi laut belum memberi manfaat ekonomi secara maksimal oleh masyarakat.

Hal yang sama pun ada pada aspek Pertanian, lahan yang subur di Loloda mendukung masyarakat untuk bertani dengan jenis komoditas hortikultura seperti bawang merah, cabe, tomat, alpukat, durian, pisang, dan rambutan. Namun infrastruktur jalan masih minim, sehingga akses ke pasar masih menjadi kendala utama dalam pengembangan agribisnis lokal. Seperti yang terjadi di desa Total Jaya, tempat dimana saya menginjakkan kaki pertama kalinya di wilayah Kapita Sikuru.

Just a moment...