Leadership Of The People, Not Leadership To Followership

Oleh:
Tata Nan Pranata

(Alumnus UPN Veteran Yogyakarta)

“Sang raja merasa berhak menggunakan telunjuknya, untuk menunjuk putra mahkota.”

Kita mundur kembali ke zaman feodal! Feodalisme setali tiga uang dengan dinasti. Dinasti tidak hanya sebatas foedal. Dinasti bisa tumbuh subur di sistem pemerintahan tirani, fasis, komunis bahkan demokrasi. Demokrasi adalah ruang yang justru paling mudah menghasilkan raja-raja kecil, layaknya feodal gaya baru. Seperti apa yang dikatakan oleh Tan Malaka dalam risalahnya yang berjudul ” Massa Aksi”, Tan berujar :

“Tetapi kamu orang Indonesia yang 55.000.000 tak kan mungkin merdeka selama kamu belum menghapuskan segala “kotoran kesaktian” itu dari kepalamu, selama kamu masih memuja kebudayaan kuno yang penuh dengan kepasifan, membatu dan selama kamu bersemangat budak belia,” kata Tan Malaka dalam risalahnya yang terbit pada 1926 tersebut.

Secara gamblang Tan Malaka menganggap bahwa “kotoran kesaktian” yang dimaksud adalah mental feodalisme. Bagi Tan, cara bernalar demikian sama artinya dengan bermain api. Tangan sendiri yang akan terbakar. Itulah sebabnya Tan sangat anti-feodalisme karena –meminjam penafsiran budayawan Romo Mudji Sutrisno– feodalisme telah melahirkan dan menyuburkan mental budak; mental kuli anak negeri yang takut berpikir, pasif dan menyerah pada nasib.

“Mentalitas macam ini memudahkan mereka percaya pada takhayul sehingga gampang dimanipulasi pikiran yang rasional dan pintar,” tulis Romo Mudji dalam “Sukarno-Hatta-Syahrir-Tan Malaka dalam Dialog: Keindonesiaan Macam Apa yang Masih Harus Diperjuangkan?”

Demokratisasi menggambarkan serangkaian gerak perkembangan yang tidak mungkin tercapai dengan serangkaian praktek patrimonialistik gaya baru. Hal ini ditentang keras oleh Soekarno. Sebelum Soekarno menulis Buku yang Bartajuk ” Di Bawah Bendera Revolusi”, ia sempat berdebat dengan Roeslan Abdul Gani tentang judul buku tersebut. Melalui rekaman video.

Mari kita simak sepenggal rekaman pidato yang berisi perdebatan antara Bung Karno dengan Roeslan Abdul Gani tentang mana yang benar “Di Depan Bendera Revolusi” atau “Di Bawah Bendera Revolusi”, menarik kita simak karena menyangkut pembawa bendera atau panji-panji revolusi. Menurut Bung Karno, yang benar adalah “Di Bawah Bendera Revolusi”. Alasannya, bila “Di Depan Bendera Revolusi”, maka bendera revolusi harus dipegang oleh orang lain. Sedangkan, yang seharusnya membawa bendera, dalam hal ini Bung Karno, harus berjalan di depan dengan dipayungi laksana seorang raja atau pangeran. Hal itu adalah salah satu ciri khas feodalisme yang justru ditentang oleh Bung Karno. Kesimpulan dari perdebatan tersebut, yang benar adalah “Di Bawah Bendera Revolusi. Oleh karenanya, kumpulan artikel Bung Karno dihimpun dalam buku berjudul “Di Bawah Bendera Revolusi”.

Dinasti feodal zaman dulu berlainan sedikit dengan dinasti demokrasi hari ini. Sebagian besar raja zaman dulu menempah anak-anaknya sangat keras, tidak dilatih di gorong-gorong. Anak-anak raja dilatih di hutan belantara, di gunung yang gelap, di sungai-sungai yang bebatuannya keras dan tajam. Mendapat kontrol yang ketat oleh mahaguru yang dipercaya oleh sang raja. Anak raja itu didampingi ulama atau tokoh adat atau ksatria tangguh yang menguasai teknik dan seni berperang. Akan tetapi, kelemahan dari sistem ini ialah anak-anak raja kadang-kala saling berebut tahta. Saling bunuh sesama darah biru. Jabatan hanya diberikan pada keluarga dekat. Di sanalah awal mula apa yang disebut dengan “patrimonial”.

BACA JUGA   Sekolah yang Bangkrut

Patrimonialistik itu tidak berakhir sampai faham feodalisme, perlawanan atas sistem yang lemah itu melahirkan suatu sistem perlawanan yang menurut Aristoteles, “demokrasi artinya kebebasan”. Demokrasi dalam arti kebebasan menghasilkan embrio yang salah satunya adalah dinasti. Dinasti ini dapat tumbuh, berkembang dan mengakar kuat di negara yang menganut demokrasi, seperti Indonesia. Sebab ada ruang.

Diperjelas lagi dengan apa yang digambarkan oleh Plato dalam buku Enam Republik, Plato menggambarkan Socrates terlibat dalam percakapan dengan karakter bernama Adeimantus sebagai berikut;

Jika Anda melakukan perjalanan melalui laut,” tanya Socrates. “Siapa yang idealnya memutuskan siapa yang bertanggung jawab atas kapal? Semua orang atau orang yang paham pelayaran? “Yang terakhir tentu saja,” kata Adeimantus. “Mengapa? Apakah kita terus berpikir bahwa hanya orang tua yang layak untuk menilai siapa yang harus menjadi penguasa suatu negara?” jawab Socrates. Socrates berargumen bahwa memberikan suara dalam pemilihan adalah keterampilan, bukan intuisi acak. Dan seperti keterampilan apa pun, itu perlu diajarkan secara sistematis kepada orang-orang. Membiarkan rakyat memilih tanpa pendidikan, sama tidak bertanggung jawabnya dengan menempatkan mereka sebagai penanggung jawab atas “tiga kali pelayaran ke Samos dalam badai”.

Badai kebodohan dalam sistem demokrasi itu akhirnya Socrates alami sendiri saat proses sidang hukuman matinya. Pada 399 SM, dia diadili atas tuduhan palsu pemuda Athena. Juri yang terdiri dari 500 orang Athena diundang untuk mempertimbangkan kasus tersebut dan memutuskan dengan selisih tipis bahwa Socrates bersalah. Dia dihukum mati dengan “hemlock” dalam sebuah proses yang tragis.

Hal ini menjadi sebab bahwa leadership itu harus senantiasa sosok yang berpendidikan, mengetahui arah, memiliki hikmah kebijaksanaan, memiliki pengalaman. Dan yang terpenting ialah bahwa pemimpin adil tidak mungkin lahir dari sistem “intuisi acak”. Intuisi acak justru menimbulkan “patrimonialistik”.

Intuisi acak hanya menimbulkan Leadership To Followership, tetapi tidak melahirkan Leaderhip Of The People. Leader of the people adalah pemimpin yang terlahir dari rahim rakyat, yang hanya bisa dihasilkan dari sistem bernegara yang sesuai dengan jati diri bangsa. Leader Of the People adalah pemimpin rakyat sedangkan Leadership To Followership artinya penguasa yang memiliki pengikut. Pengikut dapat diciptakan melalui pengaruh kekuasaan, contohnya relawan, tetapi tidak dengan Leader Of The People. Leader yang merupakan pemimpin, memiliki kemampuan kepemimpinan, yaitu kemampuan mengaktualisasikan moralnya ke dalam suatu tatanan etika yang berlaku.

Leadership to followership ini menjadi suatu fakta fenomena pada pilpres 2024 yang akan datang. Gibran sebagai anak presiden menjadi bakal calon wakil presiden dengan cara yang abnormal. Bukan karena kemampuan intelegensinya, atau pengalaman membangun suatu karya bagi pengikutnya, bukan juga karena sebab usianya. tetapi karena ia adalah darah merah. Dahulu (zaman feodal) disebut darah biru.

BACA JUGA   Pemilu 2024 dan Partisipasi Publik

Pengembangan ide perpanjangan masa presiden menjadi tiga periode oleh rezim Jokowi mendapat penolakan keras di kalangan masyarakat. Maka ide untuk perpanjangan jabatan harus diganti dengan ide perpanjangan tangan. Anak presiden didorong untuk melaksanan skenario tersebut. Itulah mengapa konstitusi menjadi aturan yang dapat diubah sesuai pesanan penguasa. Seperti apa yang dikatakan oleh paman Gibran, Ketua Mahkamah Konstitusi.

Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman yang baru setahun lalu menikah dengan adik Jokowi, yang berarti keluarga presiden Jokowi, membacakan putusan pada Senin (16/10/2023) di Ruang Sidang Pleno MK sebagai berikut ;

“Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian. Menyatakan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang menyatakan, ‘berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun’ bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai ‘berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.”

Begitupun pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah, Mahkamah berpendapat pengisian jabatan publik in case presiden dan wakil presiden perlu melibatkan partisipasi dari calon-calon yang berkualitas dan berpengalaman. Dalam kaitannya dengan pelaksanaan dan pengawasan kebijakan nasional, terdapat jabatan publik yang syarat usia pencalonannya 40 tahun (Presiden dan Wakil Presiden) dan di bawah 40 (empat puluh) tahun yang sama-sama dipilih melalui pemilu seperti jabatan gubernur (30 tahun), bupati, dan walikota (25 tahun), serta anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD (21 tahun). Namun demikian, terkait dengan jabatan presiden dan wakil presiden, meskipun juga dipilih melalui pemilu, usia calon presiden dan wakil presiden menjadi bagian dari yang dimintakan pengujian konstitusionalitasnya. Maka jabatan presiden dan wakil presiden menurut batas penalaran yang wajar, kurang relevan untuk disangkutpautkan dengan hanya syarat usia calon Presiden dan Wakil Presiden.

Artinya, presiden dan wakil presiden yang pernah terpilih melalui pemilu dengan sendirinya, seyogianya telah memenuhi syarat usia untuk jabatan Presiden dan Wakil Presiden. Dalam rangka mewujudkan partisipasi calon-calon yang berkualitas dan berpengalaman, Mahkamah menilai bahwa pejabat negara yang berpengalaman sebagai anggota DPR anggota DPD, anggota DPRD, Gubernur, Bupati dan Walikota sesungguhnya layak untuk berpartisipasi dalam kontestasi pimpinan nasional in case sebagai calon presiden dan calon wakil presiden dalam pemilihan umum meskipun berusia di bawah 40 tahun.

Dari lima Hakim Konstitusi, setidaknya tiga hakim konstitusi yang memiliki pendapat berbeda (Dissenting Opinion) dan dua hakim mengatakan alasan berbeda (Conccuring Opinion), yakni Wakil Ketua MK Saldi Isra, Hakim Konstitusi Arief Hidayat, dan Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams. Ketiganya menilai seharusnya Mahkamah menolak permohoan pemohon.

Pemilu dalam demokrasi seringkali dianggap sebagai demokrasi prosedural, sebab merupakan sarat agar tercipta peluang dan kesempatan terjadinya sirkulasi kekuasaan, sehingga pihak mayoritas (massa), dalam hal ini rakyat sebagai pihak yang dikuasai, memiliki kesempatan untuk dipilih dalam kompetisi pemilu dan menjadi bagian dari elit yang minoritas sebagai pihak yang berkuasa. Dalam potret lain, ada yang disebut “demokrasi esensial” dimana kedaulatan berada di tangan rakyat, dan ini jauh lebih penting sebab demokrasi prosedural dapat direkayasa, entah melalui money politic atau penyalahgunaan kekuasaan.

BACA JUGA   Halmahera ; Sebuah Tafsir Ekologi

Selain pemerkosaan dalil konstitusi. Keputusan Mahkamah Konstitusi terkait batas usia calon presiden dan wakli presiden, terdapat juga pintu lain yang bisa menjadi batu loncatan berikutnya agar Gibran bisa lolos sebagai calon Wakil presiden. Partailah sebagai penentu. Politik itu dinamis dan misterius.

Golkar sebagai partai, harus rela mengeliminasi kader-kader terbaiknya demi kepentingan politis. Ketua partai Golkar Airlangga Hartarto yang sejak awal diendorse dan digadang-gadang oleh Golkar sebagai calon wakil Prabowo harus mengakui dengan lapang dada bahwa Gibran yang terbaik di antara seluruh kader golkar. Pun demikan adanya, Gibran seorang yang berbaju merah akan segera berubah menjadi kuning dalam tempo yang cukup singkat.

Usia senja dan milenial boleh saja diberi kesempatan untuk mencalonkan sebagai pemimpin, siapapun boleh. Yang menjadi soal ialah apakah Gibran Rakabuming  memiliki kemampuan untuk menjadi seorang Wakil Presiden? Tentu saja tidak. Ketidak berdayaan Gibran menjadi wakil presiden bukan persoalan usia. Tetapi apa yang disebut sebagai “patrimonial” yang menuju pada neo-patrimonial, yakni mengutamakan ikatan “genealogis” daripada “merit sistem”.

Publik tahu bahwa keputusan MK bersifat politis, tetapi masyakat tidak mempunyai daya kuasa yang berarti oleh karena antara (rakyat bangsa dan negara) sebetulnya terpisah. Rakyat dan negara dipisahkan oleh “partai politik”. Publik hanya menunggu apa yang diputuskan partai tanpa mampu menentukan kedaulatannya, untuk memilih pemimpin. Padahal Jelas, Cita-cita konstitusi sepantasnya mengamanatkan bahwa calon presiden/Wakil dipilih dari perwakilan yang tertinggi sekali, sekumpulan majelis yang dipilih melalui rakyat terkecil (Kepala Keluarga). Bukan Partai dan pengaruh hirarki kekuasaan.

Dalam sistem pemerintahan yang berlandaskan demokrasi maka setiap orang diperbolehkan untuk memilih dan dipilih melalui mekanisme pemilihan umum. Oleh sebab itulah maka dinasti-isme menjadi sulit dihindari. Maraknya fenomena istri gubernur, anak anggota dewan atau istri bupati mencalonkan diri dan terpilih, atau seorang menantu menggantikan posisi mertuanya dalam posisinya sebagai walikota, merupakan fenomena dinasti-isme dalam sistem pemerintahan di banyak daerah.

Selain itu, karena dinasti-isme cenderung dianggap negatif dalam sebuah sistem pemerintahan, sedangkan demokrasi sendiri memberikan ruang kepada petahana untuk bisa mencalonkan salah seorang anggota keluarganya. Simalakama antara sistem dan kehendak kedaulatan rakyat.

Oleh karena itu, penulis menganggap ada dua hal yang perlu dijadikan sebagai bahan diskursus di tingkat bangsa maupun negara. Pertama adalah kelayakan sistem demokrasi. Dan kedua adalah pendidikan kepemimpinan karakter kebangsaan untuk menciptakan Leadership Of The people, Not Leadership To Followership.