Hilangnya Suara Orang Loloda

Oleh: Gusti Ramli (Ketua SEMAHABAR Kota Ternate)

“Ketika suara-suara dari pinggiran diabaikan, maka yang tumbuh bukan pembangunan, melainkan pengabaian yang terstruktur.” – (Franz Magnis-Suseno)

Di sebuah Minggu sore yang teduh, ditemani secangkir kopi dan lembaran catatan lama, saya mencoba merangkai kembali kegelisahan tentang Loloda yang selama ini menggumpal, tanah yang melahirkan banyak tanya dalam benak saya sebagai anak muda dan sekaligus sebagai pembelajar sosiologi. Dalam diamnya hutan, sunyinya sungai, dan sepinya kebijakan, saya mendengar satu hal yang perlahan menghilang: suara orang Loloda. Tulisan ini bukan sekadar refleksi personal, tetapi juga ikhtiar untuk membaca realitas sosial yang terlalu lama dianggap pinggiran oleh Daerah.

Loloda adalah wajah Timur Indonesia yang sering luput dari lensa pembangunan nasional. Ia terletak di bagian barat Pulau Halmahera, menyimpan sejarah, kebudayaan, dan kearifan lokal yang nyaris tak terdengar. Di tengah gegap gempita investasi dan proyek tambang, suara orang Loloda perlahan hilang, tertutup oleh laporan-laporan proyek, janji birokrasi, dan narasi pertumbuhan ekonomi yang tak menyentuh akar persoalan masyarakat.

Saya menulis catatan ini bukan sebagai seorang pengamat, tapi sebagai anak muda yang tumbuh dengan pertanyaan demi pertanyaan tentang: ke mana suara kampung halaman saya menghilang. Tulisan ini lahir dari perjalanan batin yang pernah menyeberangi sungai Loloda, menyusuri jalan setapak yang licin, dan melihat langsung bagaimana ketidakadilan masih melekat di tanah Ngara Ma Beno.

Saya memulainya dengan meminjam kalimat Ki Hajar Dewantara, “Pendidikan adalah jalan untuk memanusiakan manusia.” Tapi bagaimana manusia bisa dimanusiakan jika ruang belajarnya saja masih seperti sebuah bangunan tak bertuan; dinding sekolah yang berlubang, atap sekolah yang bocor, hingga guru yang mengajar tergantung mood.

BACA JUGA   Pastikan Bertarung di Musda HIPMI Malut, Firdaus Amir Prioritaskan Pengembangan Sektor Perikanan

Pendidikan: Jalan Tengah Menuju Masa Depan yang Timpang

Menurut data Dinas Pendidikan Halmahera Barat (2023), lebih dari 45% sekolah dasar dan menengah di wilayah Loloda masih berstatus darurat, dengan tenaga pendidik yang terbatas dan tidak merata.

Seperti yang dikabarkan Malutpost pada 19 Mei lalu dihalaman ke enam, bangunan SMA Negeri 4 Halmahera Barat rusak parah dan ditemukan oleh seorang Anggota DPRD saat melakukan reses di desa Kedi, Ibukota Kecamatan Loloda.

Ironisnya, di saat yang sama, pelajar dari Loloda kerap kali menjadi “pengungsi pendidikan”, meninggalkan kampung halamannya untuk mencari akses pendidikan yang layak di kota. Ketimpangan ini menunjukkan bahwa negara melalui Pemerintah Daerah belum hadir secara penuh dalam memerdekakan warga Loloda dari kebodohan struktural.

Kesehatan: Hak Hidup yang Dikompromikan

Jika akses utama seperti hari ini, maka sudah barang tentu lebih dari 30 ibu hamil di wilayah Loloda harus ditandu menyeberangi laut dan bukit untuk melahirkan di ibu kota kabupaten yang memiliki fasilitas kesehatan.

Dalam beberapa waktu, ada yang juga menceritakan kejadian nahas ketika masyarakat yang hamil harus selalu dirujuk ke Puskesmas terdekat seperti di Ibu. Namun dengan akses jalan yang amburadul hari ini sangat menggangu aktivitas mereka, ditambah lagi dengan pemindahan Rumah Sakit Pratama dari Loloda oleh James Uang, semakin menambah ketimpangan masyarakat dalam mengakses kesehatan yang adil.

Just a moment...