Urgensi Penataan Sistem Pemilu sebagai Upaya Penguatan Stabilitas Sistem Pemerintahan Presidensial

Oleh:
Muhammad Fazry, S.H.,M.H

(Akademisi Fakultas Hukum Universitas Nuku,
Pengamat Hukum Tata Negara dan Hukum Pemilu)

Sistem Pemerintahan

Mengapa isu pemilihan umum lebih menarik dan lebih menjadi fokus kajian baik secara teoritis maupun praktis dalam sistem presidensial, sekalipun antara sistem parlementer dan sistem presidensial sama-sama melakukan pemilihan umum? Sebab dalam sistem Presidensial antara eksekutif dan legislatif sama-sama dipilih oleh rakyat sehingga seringkali terjadi pertarungan antara kedua cabang kekuasaan ini untuk mengartikulasikan siapakah yang benar merupakan representasi dari rakyat (Daulat Rakyat).

Setiap negara pasti memiliki tujuan untuk mencapai kesejahteraan bersama di berbagai bidang. Untuk mencapai tujuan tersebut, negara membutuhkan suatu sistem yang dapat menjaga kestabilan negara dan mengantisipasi penyalahgunaan wewenang. Secara umum, sistem pemerintahan adalah sebuah sistem hubungan fungsional antara lembaga negara dalam menjalankan kekuasaannya di dalam suatu negara.

Sederhananya, sistem pemerintahan digunakan sebagai sarana untuk menjalankan roda pemerintahan untuk menjaga kestabilan negara dalam waktu relatif lama. Dengan begitu, sistem pemerintahan dapat menjaga kestabilan masyarakat di berbagai bidang. Umumnya, negara-negara di dunia menganut salah satu dari dua sistem pemerintahan, yaitu sistem pemerintahan presidensial dan sistem pemerintahan parlementer. Adapun klasifikasi sistem pemerintahan presidensial dan parlementer didasarkan pada hubungan antara kekuasan eksekutif dan legislatif. Di mana kedua sistem pemerintahan tersebut memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing.

Adapun perbedaan sistem pemerintahan presidensial dan parlementer bahwa, Sistem pemerintahan presidensial adalah sistem pemerintahan di mana kepala pemerintahan dipegang oleh presiden dan tidak memiliki tanggung jawab terhadap parlemen (legislatif). Sementara itu, menteri bertanggung jawab kepada presiden karena presiden memiliki kedudukan sebagai kepala Negara sekaligus kepala pemerintahan.

Menurut Rod Hague, pemerintahan presidensial memiliki beberapa tiga unsur pokok, yaitu presiden dipilih oleh rakyat dan bisa mengangkat para pejabat pemerintahan, presiden memiliki masa jabatan yang tetap, dan tidak ada status tumpang tindih antara badan eksekutif dan badan legislatif. Sistem pemerintahan parlementer adalah sistem pemerintahan di mana pemerintah (eksekutif) bertanggung jawab kepada parlemen.

Dalam sistem pemerintahan parlementer, parlemen memiliki kekuasaan dan kewenangan yang besar dalam mengawasi kebijakan eksekutif. Salah satu ciri sistem pemerintahan parlementer adalah anggota parlemen terdiri atas orang-orang dari partai politik yang memenangkan pemilihan umum. Selain itu, kabinet atau pemerintah terdiri atas para menteri dan perdana menteri sebagai pemimpin kabinet.

Konsepsi Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan

Perbedaan sistem pemerintahan presidensial dan parlementer dapat dilihat dari kepala negara dan kepala pemerintahannya. Di mana sistem pemerintahan presidensial, baik kepala negara atau kepala pemerintahannya dipegang oleh seorang presiden dan tidak ada pemisahan antara keduanya. Sedangkan, sistem pemerintah parlementer memiliki presiden, sultan, atau raja sebagai kepala negaranya. Perbedaan sistem pemerintahan presidensial dan parlementer selanjutnya, yaitu terletak pada proses pemilihan.

Sistem pemerintahan presidensial, kepala negara yang sekaligus menjabat sebagai kepala pemerintahan, dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum. Di Indonesia sendiri dengan melihat perubahan UUD 1945 terutama aspek-aspek yang mengatur tentang kekuasaan eksekutif dan legislatif serta relasi antara keduanya, dengan pilihan mengikis karakteristik sistem parlementer, upaya itu lebih dikenal dengan purifikasi sistem presidensial yaitu:

1. Mengubah pemilihan Presiden/Wakil Presiden menjadi dipilih langsung oleh rakyat

2. Menata ulang posisi MPR dan menghapus pertanggungjawaban presiden/eksekutif kepada lembaga perwakilan, dan;

3.  Memperjelas proses pemakzulan (Impeachment) kepada presiden/wakil presiden

Sementara itu, dalam sistem pemerintahan parlementer, perdana menteri dipilih oleh parlemen melalui penunjukan secara langsung untuk menjalankan fungsi eksekutif. Biasanya, dalam sistem parlementer ini pemilu oleh rakyat dilakukan saat memilih anggota parlemennya saja, sedang perdana menteri ditunjuk oleh suara mayoritas partai politik parlemen pemenang pemilu.

Masa Jabatan

Dalam masa jabatan kepala negara dan pemerintahan, sistem pemerintahan presidensial sudah ditetapkan dan memiliki UU yang jelas. Sedangkan sistem pemerintahan parlementer, masa jabatan perdana menteri tidak menentu atau tergantung dari parlemen. Di Indonesia ketentuan tentang masa jabatan Presiden telah dikunci didalam UUD 1945 yaitu:

BACA JUGA   Ser Putin

Pasal 7 UUD NRI 1945 secara tegas berbunyi: ‘Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan’. Artinya, masa jabatan presiden dan wakil presiden maksimal hanya diperbolehkan dua periode.

Sehingga menurut penulis, isu penambahan masa jabatan presiden apabila disandingkan ke dalam tradisi sistem presidensial sungguhlah teramat bertentangan dan tidak memiliki alasan yang kuat. Penekanan ini sengaja dimasukkan agar mungkin disuatu masa kita tidak lagi tertarik menguras energi untuk mengotak-atik soal yang barang pasti sudah final, jelas dan kongkrit. Sebab dalam setiap jejak kepemiluan dan kepresidenan, jabatan laksana orgasmus tertinggi yang senantiasa merayu dan menggoda para pemangku untuk menambal dan memperpanjangnya.

Sistem Kepartaian

Secara teoritis Maurice Duverger, membagi sistem kepartaian atas tiga yaitu Pertama, Satu partai (Uni Party) Istilah partai tunggal dipakai baik oleh partai yang memang benar-benar satu-satunya partai dalam suatu negara maupun untuk partai yang mempunyai kedudukan dominan diantara beberapa partai lainnya. Kedua, Dua Partai (Dwi Party) Konsep sistem dwi partai biasanya diartikan adanya dua partai atau adanaya beberapa partai dengan peranan dominan dua partai, kita dapat melihat pada negara amerika dan inggris. Ketiga, Multi Partai (Multi Party). Terdapat banyak partai dan pengaruhnya berimbang antara satu dengan dengan yang lainnya.

Dalam konteks ke-Indonesiaan sendiri, kita menerapkan sistem kepartaian multi partai, hal itu dapat dilihat pada besaran jumlah partai politik peserta pemilu, pada tahun 1999 terdapat 48 partai, pemilu 2004 terdapat 24 partai, pemilu 2009 terdapat 38 partai, pemilu 2014 terdapat 12 partai, dan pemilu 2019 terdapat 14 partai politik. Namun didalam UUD 1945 maupun peraturan perundang-undangan hampir kita tidak menemuka secara jelas dan kongkrit penjelasan mengenai sistem kepartaian apapun, terlebih sistem multi partai. Namun para penafsir konstitusi melihat secara constitutional importance tersirat amanat untuk menjalankan sistem kepartaian secara multi partai dan dapat dipahami sebagai berikut:

Pertama Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang (Pasal 28 UUD 1945) Kedua, Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat (Pasal 28 E Ayat (3) UUD 1945). Ketig, Pasangan Presiden dan Wakil Presiden diusulan oleh partai politik atau gabungan partai politik (Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945). Kata ‘‘gabungan partai politik’’ artinya paling sedikit dua partai politik yang menggabungkan diri untuk mencalonkan presiden untuk bersaing dengan calon yang lainnya. Dengan demikian dalam pemilu presiden dan wakil presiden paling sedikit terdapat tiga partai politik. Inilah kira-kira yang menjadi dasar konstitusional sehingga dalam praktek sistem kepartaian di Indonesia mengadopsi Multi Party.

Mengutip Scot Mainwaring, “sistem presidensial dan sistem multi partai secara bersamaan akan rentan terhadap pemerintahan oleh minoritas dan menciptakan immobilitas yang berimbas pada kelesuan eksekutif, dan kondisi ini akan berakibat pada kehancuran demokrasi”.

Berjibun Konfigurasi Problematika

Adapun sekelumit permasalah yang telah coba diidentifikasi sejauh kemampuan penulis, sebagai berikut; Pertama, Pada pertengahan 1990-an, Juan Linz melakukan penelitian di  negara-negara Amerika Latin yang dominan menggunakan sitem presidensial,  mengungkapkan bahwa sistem parlementarisme jauh lebih unggul dibandingkan dengan presidensialisme. Dapat dilihat pada stabilitas negara dan pemerintahan dapat berjalan efektif. Kedua, Scot Mainwaring pada tahun 1992-1993, mengungkapkan fakta bahwa pada negara-negara Amerika Latin bukan persoalan presidensialisme semata namun lebih kepada kombinasi yang sulit dari presidensialisme dengan sistem multi partai yang terfragmentasi.

Sehingga terjadi pembelahan kekuasaan antara cabang kekuasaan eksekutif dan cabang kekuasaan legislative. Ketiga, Pada tahun 1995 para sarjana di bidang hukum melakukan penelitian dengan mengamati fenomena yang sama, mengemukakan bahwa presidensialisme dapat berjalan seperti parlementarisme melalui jalur koalisi. Faktanya kesimpulan ini hanya akan menjadi hipotesa apabila mengacu pada praktek koalisi yang terjadi di Indonesia yang justru menelurkan banyak persoalan baru.

BACA JUGA   Tabbayun (Untuk Bung Olis)

Demikian juga permasalahan dalam bentangan sejarah sistem multi partai dan sistem presidensial sepanjang rezim reformasi yang dapat dilacak sebagai berikut; Pertama, Potensi permasalah dalam kabinet multi partai dan sistem presidensial jauh mengarah kepada political interest ketimbang pada kepentingan negara dan bangsa.

Kedua, Pertimbangan spoil system lebih menonjol dibandingkan merit system dalam pengangkatan menteri/pejabat setingkat menteri. Dalam beberapa case ada menteri yang mengaku tidak menguasai bidangnya, namun karena ditunjuk oleh presiden makai ia harus menjalankan tugas kementeriannya. Bayangkan betapa sistem ini telah melahirkan orang yang menjalankan jabatan dan ia tidak mengerti jabatan itu.

Ketiga, Ambivalensi dualisme loyalitas Menteri yaitu, loyalitas kapada ketua parpol atau loyalitas kepada presiden. Bahwa pada fase yang paling buruk apabila presiden terpilih adalah kader partai politik, ia pasti terjebak pada ketaatan pada ketua parpol atau konstitusi (yang merupakan sari pati dari nilai-nilai luhur kemasyarakatan).

Keempat, Conflict of interest, adanya kompetisi yang tidak sehat antara lembaga kepresidenan dan kabinet  kepresidenan dan di lain sisi antara sesama meteri di dalam kabinet kepresidenan. Dalam sistem presidensial menteri adalah pembantu presiden, menteri harus mengkonsolidasikan suksesi visi-misi presiden. Namun pada penerapannya adapun menteri yang justeru mengontrol seluruh tugas kementerian bahkan mengambil keputusan-keputusan strategis yang hanya bisa diambil oleh seorang presiden, pada era Presiden Jokowi periode pertama, ada beberapa Menteri yang didepak dari jabatannya karena berkonflik dengan presiden dan wakil presiden dan ketika berada di luar pemerintahan justru balik menyerang presiden (kebiasaan seperti ini tidak terdapat dalam sistem presidensial).

Di sisi lain, disharmonisasi antara sesama menteri masih diperlihatkan, ini menggambarkan bahwa masih terdapat visi dan ego sektoral kementerian, yang pada dasarnya cukuplah hanya satu visi, yaitu visi presiden.

Kelima, Semakin abstraknya transparansi komitmen pemerintahan dalam bernegara, yang ditandai dengan melemahnya kemampuan masyarakat memahami tertib pemerintahan. Sebab seringkali kebijakan Menteri tidak berkesesuaian dengan presiden, lain yang diusulkan meteri lain juga yang diusulkan presiden. Menteri mengusulkan penambahan masa jabatan presiden dan ide penundaan pemilu namun presiden menolak seluruh usulan tersebut. Ciri ini tidak mencerminkan pola sistem presidensial yang efektif.

Keenam, terganggunya tugas-tugas menteri karena sibuk melakukan “manuver politik” menjelang pemilu. Pada masa Presiden Megawati, presiden pernah menegur dengan keras Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menko Polkam) yang dijabat oleh Susilo Bambang Yudhoyono, karenak melakukan manuver politik yang justru mengarah dan dapat membahayakan kedudukan presiden.

Di lain kasus, Presiden Jokowi justru sebaliknya, melakukan manuver politik untuk mengendorse menteri tertentu sebagai bakal calon presiden, hal ini tentunya dapat menurunkan citra dan marwah presiden sebab tindakan ini tidak lazim dalam tradisi pemilu dengan sistem multi partai terlebih dengan corak strong presidensial sistem.

Ketujuh, Sistem multi partai menciptakan kemacetan dalam mengkosolidasikan kepentingan rakyat dan kebijakan negara, kompetisi partai yang tinggi mengarah pada terciptanya konflik terbuka. Hal itu dapat dilihat diberbagai pemberitaan di berbagai media bahwa faktanya kompetisi di dalam pemilu adalah kompetesi memilih partai politik. Kompetisi di dalam pemilu bukanlah kompetisi memilih paslon sehingga suksesi pemilu itu ditentukan oleh oligarki partai politik.

Tinkering Brain Masa Pendaftaran Capres-Cawapres

Integritas dan kepastian hukum penyelenggara pemilu kembali dipertanyakan usai langkah KPU memajukan pendaftaran capres-cawapres, sebab perlu diingat sebelumnya  Komisi II dan KPU sepakat mengundurkan jadwal perdaftaran dari bulan februari mejadi bulan oktober, maka terdapat range waktu yang jauh. Namun tiba-tiba setelah mundur, kemudian malah dimajukan kembali. Tentunya publik akan mempertanyakan apa motif dibalik tindakan KPU tersebut, dan tentunya kita tidak bisa menghilangkan prasangka political mutualist interest akan menjadi sebuah keniscayaan, suatu praduga bagi publik untuk bertanya demikian, juga untuk memperoleh kepastian hukum terhadap lembaga yang didirikan dengan topangan integritas dan independensi.

BACA JUGA   Sub Marcos dari Chiapas

Di sisi yang berkaitan juga perlu diingat bahwa tidakan KPU ini sulit dihindarkan dari tafsiran orkestrasi politik pihak yang berkepentingan. Mengingat sedang dilakukannya uji materi di Mahkamah Konstitusi terhadap ambang batas usia minimal capres-cawapres, sebut saja gugatan yang diajukan partai solidaritas Indonesia yang ingin memastikan kepentingan demokratisasi Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming, tentunya mereka menjadi pihak yang sangat dirugikan dibalik Langkah KPU tersebut.

Sudah barang tentu juga di lain hal terdapat pihak yang diuntungkan bagi mereka yang tidak ingin menunggu keputusan MK, juga mereka yang telah kompak mengusung bakal capres-cawapres ketimbang mereka yang belum, sebut saja PDIP dan Gerindra. Dalam range waktu pemilu yang mepet ini maka konsekuensi irasional yang rakyat dapatkan ialah kita kehilangan durasi untuk mengenal kualitas program dan kualitas mutu isi kepala bakal calon presiden dan wakil presidenn, dan di kemudian hari jua, pemilu 2024 hanyalah residu yang berjarak jauh dari kualitas demokrasi yang mengakar lagi berbudaya.

Apabila kita mengacu pada konstitusi Pasal 22E yang dimaksud dengan azas pemilu ialah Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur dan, Adil, maka pertanyaannya kemudian apakah proses dimajukan pendaftaran capres-cawapres tersebut adil bagi seluruh pererta pemilu?,adil bagi pemilih?, dan adil juga bagi penyelengara pemilu?, tidak hanya di pusat namun juga di daerah.

Bukankah prinsip pemilu itu “pasti prosesnya, tak pasti hasilnya?” dan tidak mesti dibalikkan pasti hasilnya namun tak pasti prosesnya “sudah ditentukan siapakah pemenangnya,” hal inilah yang perlu dijawab oleh Komisi Pemilihan Umum serta dimaknai sebagai suatu prinsip pemilu yang universal lagi berkeadilan. Karena pada akhirnya gagal merencanakan suatu proses pemilu yang berkepastian sama saja merencanakan untuk gagal mendapatkan suatu sistem presidensial yang stabil juga efektif.

Beranjak dari uraian permasalahan tersebut, tentu alasan mengenai penataan sistem pemilu sebagai suatu upaya untuk memperkuat sistem pemerintahan perlu menjadi sebuah perhatian khusus. Memperkuat suatu sistem pemerintahan yang efektif sudah barang tentu akan ekuivalen dengan permasalahan-permasalahan baru misalnya konstruksi kelembagaan, struktur organisasi politik, kesiapan sistem pemilu serta sarana prasana dan lain-lain.

Konklusi

Melemahnya check and balance dari lembaga perwakilan karena mayoraitas partai politik di pembaga perwakilan mempunyai “wakil” di kabinet. Salah satu semangat dari ajaran konstitusionalisme ialah kekuasaan pemerintah haruslah dibatasi. Di antara berbagai macam pembatas itu, lembaga legislatif merupakan filter wakil rakyat di dalam kukasaan negara, DPR memegang fungsi kontrol yang sangat vital di dalam menjaga stabilitas pemerintahan. Namun lihatlah, sistem multi partai kemudian melahirkan kabinet multipartai dan koalisi mayoritas parlemen pendukung pemerintah yang tidak efektif menjalankan fungsi check and balance, namun secara incheck and inbalance.

Semua persoalan itu hanya bisa diatasi apabila para pemangku kebijakan pada setiap level lembaga negara mampu menjalankan sistem pemerintahan presidensial secara konsisten sesuai amanat UUD 1945 serta tidak mendahulukan lobying politik (Political Interedi dalam setiap pengambilan kebijakan. Kebutuhan akan suatu perubahan konstitusi sudah merupakan suatu keniscayaan, bisa dikatakan terlalu benyak persoalan yang belum sempat diatur dalam amandemen UUD 1945 yang ke-4 (empat), yaitu; persoalan kejelasan UUD 1945 mengatur mengenai sistem pemerintahan yang dianut oleh Negara Republik Indonesia, persoalan arah kebijakan pembangunan negara hingga persoalan penataan lembaga-lembaga negara politik dan non-politik dalam mengartikulasi kewenangannya, kesemuanya itu perlu kiranya menjadi perhatian para pembelajar hukum, terutama bagi mereka yang menggeluti Hukum Tatanegara dan Hukum Pemilu. Wallahu a’lam bishawab.