Dua Belas Tahun dan ‘Taliabu Masih Gelap’

Padahal, tahun 2022, anggaran sebesar Rp16,03 miliar dialokasikan melalui APBD untuk peningkatan jalan rabat beton pada ruas Nggele-Lede. Namun proyek tersebut mangkrak, hanya meninggalkan jalan yang tak kunjung selesai dan menyisakan kerugian bagi daerah. Hal serupa terjadi pada pembangunan ruas jalan Beringin-Nggele, dengan anggaran Rp6,6 miliar yang hanya cukup untuk membuka badan jalan tanpa tindak lanjut yang memadai. Alih-alih memperbaiki akses masyarakat, proyek-proyek ini justru mempertegas jurang antara anggaran dan hasil nyata di lapangan.

Bahkan di beberapa titik, jalan bukanlah hasil dari intervensi daerah ataupun negara, melainkan jerih payah masyarakat sendiri. Ruas Sofan, Kabuno hingga Tabona adalah contohnya, hanya sebatas jalan tanah dan berbatu, jalan ini dibangun secara swadaya. Sementara itu, di sisi lain, jalan dari Desa Loseng ke Kawadang hanya mengalami perbaikan minimalis atau sekadar penimbunan tanah. Saat musim hujan datang, jalan tersebut berubah menjadi kubangan lumpur, sulit dilalui bahkan oleh kendaraan roda dua.

Kondisi serupa dapat ditemukan di ruas antara Desa Pancadu dan Desa Tabona. Memang ruas ini sudah mendapatkan sentuhan anggaran dari APBD melalui lapisan lapen. Namun, kenyataan di lapangan berbicara lain. Sebuah sungai tanpa jembatan memutus kesinambungan infrastruktur yang telah dibangun. Masyarakat harus menyeberang dengan segala keterbatasan, mempertaruhkan keselamatan di musim hujan, dan menunda aktivitas harian yang semestinya berjalan lancar.

Fenomena ketimpangan pembangunan di Kabupaten Pulau Taliabu dapat dilihat dari berbagai indikator, salah satunya adalah belum optimalnya pemanfaatan potensi wilayah. Kabupaten ini memiliki luas wilayah lebih dari 15.000 kilometer persegi yang terbagi dalam delapan kecamatan dan 71 desa, serta menyimpan sumber daya alam dan sosial yang signifikan. Namun, sejauh ini potensi tersebut belum diiringi oleh perhatian dan kebijakan pembangunan yang proporsional. Akibatnya, potensi yang tercatat secara administratif hanya menjadi angka dalam laporan statistik tanpa penerjemahan nyata dalam bentuk kesejahteraan masyarakat. Hal ini mencerminkan adanya kesenjangan antara perencanaan dan realisasi kebijakan, serta menunjukkan lemahnya tata kelola pembangunan yang berbasis kebutuhan lokal.

BACA JUGA   Mencegah Bukan Memaklumi Tindakan Bullying Anak

Jika melihat statistik jumlah ruas jalan yang rusak, maka setidaknya terdapat 15 ruas jalan yang tersebar di empat kecamatan. Jalan-jalan ini bukan hanya sekadar akses, melainkan sarana vital bagi mobilitas warga, distribusi barang, dan pelayanan dasar lainnya. Namun, kenyataannya banyak dari jalan tersebut yang berada dalam kondisi memprihatinkan, terutama saat musim hujan.

Di Kecamatan Taliabu Barat Laut, terdapat ruas jalan yang menghubungkan Desa Salati dan Desa Beringin, serta Desa Salati dan Desa Nggele. Ruas jalan ini menjadi penghubung utama antara beberapa desa yang tergolong terpencil, namun kondisinya sering berubah menjadi lumpur saat hujan. Tak jauh dari sana, ruas jalan yang menghubungkan Kecamatan Taliabu Barat Laut dan Kecamatan Lede, melalui Desa Nggele dan Desa Balohang, juga mengalami kerusakan serupa, yang menghambat aksesibilitas warga antar kecamatan.

Just a moment...