Bumi Gamrange tidak anti pembangunan. Warga di sana tidak menolak kemajuan. Tapi mereka menolak dilangkahi, diabaikan, dan dikhianati. Mereka hanya meminta satu hal: didengar. Mereka hanya menuntut hak untuk hidup di tanah yang telah mereka jaga jauh sebelum negara ini lahir. Janji kemerdekaan yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 menyebutkan dengan lantang: “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.” Tapi kenyataan hari ini sungguh bertolak belakang.

Di bumi Gamrange, warga harus melindungi diri dari negara yang seharusnya melindungi mereka. Kriminalisasi, intimidasi, bahkan kekerasan fisik menjadi jawaban atas protes warga. Aparat turun bukan sebagai pelindung, melainkan sebagai alat represi. Sementara ruang hukum mengecil, dan suara rakyat disamakan dengan gangguan investasi.

Pertanyaannya sederhana: siapa sebenarnya yang berdaulat atas tanah ini? Rakyat, atau modal?

Sudah saatnya kita mengingatkan negara bahwa janji kemerdekaan bukan slogan kosong. Keadilan sosial bukan jargon kampanye. Ia harus diwujudkan, dimulai dari tanah, dari pengakuan terhadap hak rakyat kecil, dan dari kesediaan negara untuk tidak hanya membangun, tapi juga mendengarkan.

Bumi Gamrange berdiri sebagai saksi bahwa pembangunan yang tidak berpihak pada rakyat hanya akan melahirkan luka. Maka dari itu, tuntutan warga Gamrange bukanlah bentuk perlawanan terhadap negara melainkan pengingat: bahwa rakyat belum lupa janji kemerdekaan, dan mereka akan terus menagihnya. Semoga bermanfaat.***

 

 

 

 

 

BACA JUGA   Bali United Sapu Bersih Kemenangan, Lawan Malut United di Semua Level Usia