Oleh:
Harun Gafur (Pegiat literasi TERAS SAGU)
Gamrange pernah dikenal sebagai tanah yang damai dengan semboyan fagogoru (ngaku rasi, sopan re hormat). Di sanalah kehidupan tumbuh dari kerja keras petani, nelayan, dan masyarakat adat yang menjaga alam seperti menjaga tubuh mereka sendiri. Tapi itu dulu sebelum investor datang dengan surat konsesi, sebelum aparat mengepung dengan senjata, dan sebelum negara memalingkan muka dari penderitaan rakyatnya.
Hari ini, Bumi Gamrange berdarah. Tanah-tanah adat yang diwariskan turun-temurun tiba-tiba dinyatakan “milik negara” atau “lahan investasi strategis”. Tanpa persetujuan yang sah, tanpa musyawarah, tanpa penghormatan terhadap hak-hak warga, alat berat berdatangan, menumbangkan pepohonan, menggusur rumah, merobohkan kehidupan. Tanah yang dulunya sumber hidup, kini menjadi alat perampasan terselubung.
Mereka yang berani menolak dibungkam bahkan dibunuh dan dipenjarah. Tak sedikit warga yang bunuh ditembak dalam konflik agraria yang dibingkai seolah-olah bentrok keamanan. Mereka bukan penjahat, mereka hanya mempertahankan ruang hidup mereka. Tapi narasi yang dibentuk selalu sama: rakyat dijadikan ancaman, sementara kepentingan modal dilindungi mati-matian.
Bagi yang masih hidup dan bersuara, penjara menanti. Aktivis, ibu rumah tangga, bahkan remaja yang hanya menyampaikan kritik dijerat dengan pasal karet, dikriminalisasi, dihukum. Hukum kehilangan nuraninya. Ia dipakai untuk menakut-nakuti, bukan untuk melindungi.
Pertanyaannya: sampai kapan kita membiarkan ini terjadi?
Negara mestinya berpihak pada rakyat. Pembangunan seharusnya berarti kehidupan yang lebih baik bagi semua, bukan hanya bagi segelintir elite dan korporasi. Tapi di Bumi Gamrange tempat hidup dan menghidupkan manusia tiga negeri bersaudara (weda, patani dan maba), pembangunan justru berubah menjadi proyek penindasan. Dan ketika keadilan tidak hadir lewat hukum, maka suara rakyat harus menjadi kekuatannya.
Bumi Gamrange bukan hanya soal satu daerah yang disebut Gamrange atas dasar gogoru yang sebut fagogoru. Ia cermin dari persoalan agraria di banyak penjuru negeri. Selama tanah masih dipandang sebagai komoditas dan bukan sebagai ruang hidup, selama rakyat masih dianggap penghalang bagi keuntungan, tragedi Gamrange dari penjara ke penjara akan terus berulang.
Ini saatnya kita bersolidaritas. Membela Bumi Gamrange bukan sekadar membela satu wilayah itu membela hak asasi manusia, membela tanah air, dan membela masa depan generasi yang dititipak oleh para tetua di bumi gamrange bahkan bumi Kie Raha.
Menagih Janji Kemerdekaan
Bumi Gamrange sedang digempur. Bukan oleh perang antarbangsa, bukan pula oleh bencana alam. Tapi oleh kebijakan negara sendiri yang menjelma menjadi mesin perampas hak atas nama Proyek Strategis Nasional (PSN). Di atas kertas, PSN dijanjikan sebagai jalan menuju kemajuan: menciptakan lapangan kerja, membuka akses, dan mengangkat kesejahteraan. Namun di Bumi Gamrange, yang terjadi justru sebaliknya. Lahan-lahan produktif dikuasai tanpa persetujuan rakyat, ruang hidup dihancurkan, dan komunitas-komunitas adat dipaksa pergi dari tanah leluhurnya. Semua demi satu kata yang diulang-ulang tanpa pernah dipertanyakan: “pembangunan”. Apa arti pembangunan jika rakyat justru dikorbankan? Apa makna strategis jika yang dikesampingkan adalah kehidupan? Dan lebih jauh lagi, bagaimana mungkin negara yang katanya merdeka justru menindas rakyatnya sendiri?