Oleh : Radius Setiawan
Penulis adalah peneliti di Universitas Muhammadiyah Surabaya
Salah satu hambatan terberat bangsa ini adalah beban sejarah yang tidak selesai. Kita kerap kali tidak sadar bahwa masa lalu yang membentuk bangsa ini. Masa lalulah yang paling berperan dan bahkan saling bersinggungan dengan kondisi hari ini. Apa yang kita alami hari ini bisa jadi semacam dejavu.
Dalam konteks Indonesia, peristiwa 1965, reformasi 1998 dan wabah Covid-19 memiliki kesamaan pola. Ketiganya memakan korban yang tidak sedikit. Selain itu juga, peristiwanya hingga hari ini belum selesai dan menjadi beban sejarah bangsa ini. Ketiga peristiwa diatas layak kita sebut tragedi serius bangsa ini.
Setiap tragedi menyisakan luka mendalam. Besarnya jumlah korban adalah salah satu indikator bahwa suatu peristiwa layak disebut tragedi. Tragedi memiliki karakter serius dan berakhir dengan ketidakbahagiaan.
Meskipun mempunyai latar yang berbeda, ketiga tragedi diatas mempunyai persoalan yang sama, yakni perdebatan tentang berapa angka korban dan gagalnya negara meminimalisir angka kematian. Kegagalan penyelesaian tragedi masa lalu tentunya akan menjadi beban dan menyisakan persoalan.
Perdebatan Soal Angka Korban
Tragedi 1965 adalah peristiwa yang mememiliki banyak versi terkait total korban. Versi Komisi Pencari Fakta bentukan Soekarno pada Desember 1965 menyebutkan bahwa jumlah korban 80 ribu jiwa.
Versi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia pada 23 Juli 2012 menyatakan peristiwa tersebut diduga menewaskan lebih dari 500 ribu jiwa. Belum lagi versi Washington Post yang dikutip John Roosa dalam bukunya memperkirakan ada setengah juta orang telah mati dibunuh. Selain versi diatas tentunya banyak versi yang lainnya.
Selain terkait tragedi 1965, peristiwa reformasi 1998 juga memiliki perbedaan jumlah korban. Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) menemukan variasi data jumlah korban meninggal dan luka-luka.
Pertama, data dari tim relawan yang menyatakan terdapat 1.308 korban dalam kerusuhan ini. Korban meninggal sebanyak 1.217 orang dengan rincian meninggal karena senjata sebanyak 1.190 orang, dibakar sebanyak 564 orang dan korban yang luka-luka sebanyak 91 orang.
Sementara versi Polda Metro Jaya sebanyak 451 korban meninggal sedangkan korban luka tidak tercatat. Versi dari Kodam yang menyatakan terdapat 532 korban, rinciannya: 463 korban meninggal dan 69 orang luka-luka. Terakhir, data dari Pemda DKI Jakarta menyebutkan sebanyak 288 orang meninggal dunia dan 101 orang luka-luka.
Dalam konteks Covid-19 yang hingga hari ini belum berakhir. Total kematian di Indonesia pun jadi perdebatan. KawalCovid-19 mengungkap laporan kematian pemerintah pusat lebih sedikit dibandingkan pemerintah daerah, terdapat selisih hingga 19.000 kasus. Data dari 510 pemerintah kabupaten/kota terdapat 124.790 warga meninggal akibat positif Covid-19 per 7 Agustus 2021.
Ditengah perdebatan tentang jumlah kematian akibat Covid-19, pemerintah memutuskan untuk mengeluarkan indikator angka kematian dari komponen pengamatan terhadap penanganan Covid-19. Sesuatu hal yang cukup memicu kontroversi. Pemerintah dianggap menyembunyikan data dan membahayakan rakyat.
Perdebatan jumlah korban terjadi dalam tiga tragedi tersebut. Versi pemerintah dan versi non pemerintah tidak pernah menemukan titik temu. Hal tersebut akan menambah deretan panjang beban sejarah.
Angka kematian tidak selayaknya dipandang soal jumlah semata. Dari angka akan menegaskan latar sosiologis kejadian, penilaian situasi, tingkat kedaruratan, dampak psikologis hingga siapa yang harus bertanggung jawab.
Kegagalan Negara
Perdebatan tentang angka kematian disetiap tragedi adalah anomali di negara demokrasi ini. Negara lagi-lagi gagal untuk mencegah tingginya korban. Pelaku, soal siapa yang benar dan siapa yang salah tidak jelas batas ujungnya. Suatu kondisi yang memilukan, anarkis dan berlarut-larut.
Tragedi 1965 merupakan bukti kegagalan negara mengelola masyarakat yang majemuk yang bertikai. Dalam konteks aparat yang harusnya menjadi pelindung ditengah pertikaian malah bersikap sebaliknya. Pembunuhan massal terjadi. Ingatan tentang kebencian pada semua hal yang berbau komunis berusaha diawetkan oleh rezim yang berkuasa saat itu.
Selain itu juga, pelanggaram HAM saat reformasi 1998 juga belum tuntas. Salah satu hal yang mengemuka pada saat itu adalah terkait sentiment anti-Tionghoa. Tragedi yang diwarnai dengan pembakaran, perkelaian, perusakan, penjarahan dan bahkan pemerkosaan. Sampai hari ini pun, dalang dibalik kejadian tersebut tidak terungkap. Kasus hukumnya pun seolah tidak berujung dan menguap.
Kondisi aktual yang tidak kalah memilukan adalah tragedi penanganan Covid-19. Rasanya tidak terlalu susah menemukan dimana letak kesalahan pemerintah. Sejak awal kasus Covid-19, pemerintah cenderung abai.
Langkah strategis yang seharusnya diambil untuk membatasi mobilitas malah dibersikap sebaliknya dengan mempromosikan wisata yang jelas malah mendorong mobilitas.
Selain itu juga, dalam penanganannya tidak jarang menjadi ajang berebut panggung antar elit politik. Akibat dari buruknya penanganan tersebut, Indonesia menjadi salah satu negara dengan angka kematian harian tertinggi (Worldometers, 10/8/2021)
Sejarah selalu berulang. Apa yang dialami hari ini terjadi seperti tragedi sebelumnya. Banyak versi dan tidak berujung. Tragedi kemanusiaan yang telah terjadi akan selalu diingat. Ingatan akan tragedi akan masuk dalam memori publik, dan secara terus menerus diwariskan dari generasi-generasi. Kita akan hidup dengan beban sejarah yang tidak selesai.
Seperti apa kata Cicero seorang filsuf Romawi bahwa “Sejarah adalah kesaksian yang mengiringi berjalannya waktu; dia menyoroti kenyataan, menyegarkan ingatan, memberi tuntunan dalam hidup sehari-hari, serta membawakan kita kabar akan zaman dulu”. Kalau sudah demikian, rasanya berat membangun Indonesia dengan beban sejarah kelam yang tak kunjung selesai.
Bagaimana mungkin manyelesaikan persoalan kemanusiaan yang terjadi hari ini, sementara tragedi-tragedi sebelumnya masih menjadi beban. Pelanggaran HAM yang cenderung diabaikan akan menghalangi bangsa ini membangun kesamaan hak bagi semua warga bangsa. Padahal kesamaan hak adalah salah satu dasar penting membangun demokrasi yang bermartabat.
Prospek demokratisasi akan mengarah pada kesuraman, karena tiadanya sejumlah prasyarat yang diperlukan, yakni kesamaan, keadilan dan jaminan rasa aman dari negara. Lagi-lagi kita gagal belajar dari sejarah.*
*artikel ini pernah terbit di qureta.com