Oleh:

Nadhir Wardhana Salama (Alumni FKM UI)

Dalam sistem pemerintahan demokratis, keberadaan lembaga legislatif, termasuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), memegang peran vital sebagai pilar utama checks and balances terhadap kekuasaan eksekutif. Di Provinsi Maluku Utara, fungsi ini semakin mendesak ketika masyarakat menyaksikan berbagai kebijakan kontroversial dan dinamika kepemimpinan Gubernur Sherly yang kerap menimbulkan pro dan kontra.

Dalam konteks ini, apresiasi layak diberikan kepada sejumlah anggota DPRD yang tetap vokal mengkritisi kinerja gubernur. Sikap kritis ini menandakan bahwa sebagian dari fungsi pengawasan legislatif masih bekerja sesuai semangat konstitusi, yaitu menjaga agar jalannya pemerintahan tidak menyimpang dari prinsip akuntabilitas dan kepentingan publik.

DPRD Maluku Utara terdiri dari 45 anggota yang mewakili lebih dari 1,37 juta penduduk. Artinya, satu anggota DPRD memikul tanggung jawab representasi terhadap lebih dari 30 ribu warga. Ini bukan beban kecil, melainkan amanat konstitusional yang mengharuskan anggota legislatif tidak hanya hadir secara fisik, tetapi juga aktif secara politik terutama dalam menjalankan fungsi legislasi, pengawasan, dan penganggaran.

Dalam teori Montesquieu mengenai pemisahan kekuasaan, kekuasaan yang tidak diawasi akan cenderung menyimpang. Karena itulah, keberanian anggota DPRD dalam menyuarakan kritik, mengawasi kebijakan, dan mempertanyakan langkah-langkah eksekutif bukan hanya diperbolehkan, melainkan menjadi sebuah kewajiban demokratis.

Namun demikian, fungsi pengawasan ini hanya bermakna apabila disuarakan secara terbuka. Dalam filsafat politik representatif, anggota parlemen adalah representasi rakyat yang tugas utamanya adalah bicara, menyampaikan sikap, kritik, dan aspirasi. Tidak ada ruang dalam demokrasi untuk konsep kerja senyap yang kerap dibungkus dengan dalih “kerja diam-diam.”

Kalimat seperti “saya babadiam, tapi saya kerja” atau “saya langsung sampaikan secara personal, bukan di publik atau media sosial” adalah logika yang menyesatkan dan bertentangan dengan prinsip transparansi publik. Sebaliknya, kerja politik yang senyap justru membuka ruang gelap bagi penyimpangan karena minimnya pengawasan publik.

BACA JUGA   Resmi! Zakat Fitrah Idul Fitri Tahun ini di Tidore, Tiap Orang Rp40 ribu

Saat ini, masyarakat Maluku Utara harus mulai lebih kritis menilai siapa anggota DPRD yang benar-benar menjalankan fungsinya dan siapa yang hanya numpang nama. Penilaian sederhana bisa dimulai dari mengamati sejauh mana seorang anggota aktif bersuara dalam isu-isu pengawasan terhadap Gubernur Maluku Utara.

Mereka yang secara konsisten menjalankan checks and balances, mengkritisi kebijakan yang bermasalah, dan menyuarakan aspirasi rakyat secara terbuka, adalah representasi yang layak untuk dipertimbangkan kembali dalam pemilu mendatang. Sebaliknya, mereka yang memilih diam, anti terhadap ruang publik, dan tidak transparan, layak untuk dieliminasi dari kursi parlemen.

Dalam konteks good governance, dua prinsip yang tak bisa dinegosiasikan adalah transparansi dan akuntabilitas. Tanpa keterbukaan, publik tak akan mampu mengawasi. Karena itu, kehadiran media sosial semestinya menjadi ruang penting bagi anggota dewan untuk menunjukkan kerja dan tanggung jawabnya secara terbuka.