Dugaan tentang peran negara dalam pelemahan status masyrakat adat di indonesia juga di kuatkan dengan tiga kali masuknnya RUU MHA (Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat) dari tahun 2009 hingga kini dalam prolegnas namun tidak kunjung diparipurnakan, karena disinyalir, tidak adanya political will dan dugaan adanya tujuan, resiko, dan tekanan politik yang menghambat jalan disahkanya RUU MHA.
Ini adalah isyarat tentang ketakutan korprasi, oknum ditubuh lembaga negara, dan penegak hukum dalam hal mandeknya investasi diatas hak tanah adat. “Masyarakat adat adalah benteng terakhir melawan krisis ekologis. Tanpa payung hukum, negara justru menghancurkan dirinya sendiri” Prof. Dr. Dra. Sulistyowati Irianto, M.A. akademisi Studi Hukum Masyarakat dan Pembangunan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (Kompas.id 17/9/2019).
Kondisi demikian, mempertegas biasnya status hukum atas masyarakat adat di Maba bahkan indonesia. Polemik ini kian hari dikhawatirkan akan terus menjamur di daerah-daerah yang terdapat konsesi pertambangan didalamnya. Kejelasan RUU MHA di Medan Merdeka dan Senayan dirasa penting, dan tidakan tegas pihak yang berwewenang dilapangan juga menjadi kunci atas ‘keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia’ yang telah dituangkan dalam dasar atau sila ke lima pancasila sebagai haluan bernegara kita.
Peran pemerintah daerah dan kabupaten-kota, serta aparat keamanan juga mesti didasarkan pada amanat konstitusi dalam UU Pokok-Pokok Agraria (UUPA) nomor 5 tahun 1960, dan UU nomor 6 tahun 2014, juga telah mempertegas posisi masyrakat adat dimata hukum, yang statusnya jelas lebih tinggi dari peraturan mentri yang sifatnya hanya sebagai acuan teknis dan verifikasi semata.
Tindakan aparat kepolisian yang beberapa hari kebelakang juga disorot oleh Komnas HAM. Tindakan penembakan selongsong peluru gas air mata yang dinilai tidak sesuai Standar Operasional Prosedur penggunaan gas air mata yang diatur. Tembakan gas air mata ini, menurut Jatam, diarahkan langsung kepada kerumunan warga dengan jarak yang dekat tanpa adanya peringatan terlebih dahulu.
Beberapa warga mengalami luka-luka akibat tembakan gas air mata tersebut, (detiksulsel 29/4/2025). Penembakan gas air mata menggunakan pelontar juga tidak dihalalkan dengan langsung mengarahkankan secara datar ke tubuh demonstran yang dinilai membahayakan nyawa masyarakat dan aparat kepolisian yang telah diatur dalam PERKAP No 1 Tahun 2009.
Dari berbagai persoalan yang terjadi hanya dalam kurung sebulan ini dilokasi yang sama ini, jelas mencoreng citra keharmonisan masyrakat adat dengan alam yang didiaminya, masyrakat dengan negara, dan mempertegas ketidak patuhan hukum lembaga-lembaga negara yang berujung pada meluasnya masyarakat kecil yang termarjinalkan.