Teluk Weda, Nikel, dan Pedang Kematian dari Cina

Lantas, apa yang dirayakan hari ini? Pertumbuhan ekspor yang tak mengangkat martabat masyarakat pesisir? Pembangunan smelter yang merampas ruang hidup dan mencemari laut? Atau investasi yang mengunci masa depan generasi dalam tubuh yang sakit dan tanah yang tandus?

Jika tak ada perubahan mendasar dalam tata kelola sumber daya, Maluku Utara sedang diarahkan bukan ke gerbang kemajuan, melainkan ke jurang keruntuhan ekologis dan krisis kemanusiaan. Dan jika suara masyarakat, ilmuwan, dan aktivis hanya dianggap nyanyian sumbang di tengah pesta ekonomi ekstraktif, maka Teluk Weda hanyalah awal dari tragedi yang lebih besar.

Apa arti ekspor miliaran dolar, jika anak-anak pesisir tumbuh dalam tubuh lemah dan sakit? Apa gunanya investasi besar, jika yang tumbuh hanyalah ongkos sosial dan pergeseran zona tangkap nelayan kecil yang makin tak terjangkau? Apa harapan yang tersisa jika konflik ruang hidup dan penghilangan hak masyarakat adat menjadi harga yang harus dibayar?

Kini saatnya berhenti menyembah pertumbuhan ekonomi yang membutakan. Kita butuh tata kelola sumber daya yang adil secara ekologis, yang memulihkan laut, memanusiakan nelayan, dan menjamin masa depan generasi mendatang dalam lingkungan yang sehat dan lestari.

Nikel memang berkilau. Tapi di Teluk Weda, kilaunya adalah pantulan air mata dari mereka yang kehilangan ruang hidup. Dan di balik kilau itu, berdiri pedang kematian yang ditempa jauh di seberang lautan—atas nama investasi dan pembangunan.

BACA JUGA   SPN Polda Malut Akan Dipindahkan ke Gurabati Juni Mendatang
Just a moment...