Oleh:
Asmar Hi Daud (Dosen Unkhair Ternate)
Pencemaran Teluk Weda bukan sekadar alarm lingkungan, tetapi peringatan keras atas krisis kemanusiaan yang dibungkus rapi dalam narasi investasi. Laut yang dulu menjadi ruang hidup, kini berubah menjadi perairan beracun yang perlahan mencabut nyawa dari tubuh manusia dan ekosistem.
Riset Nexus3 Foundation bersama Universitas Tadulako menunjukkan bahwa 47% warga sekitar Teluk Weda telah terpapar merkuri, dan 32% lainnya menyimpan kadar arsenik di atas ambang batas kesehatan. Tak kalah mengkhawatirkan, penelitian Universitas Khairun Ternate dan WALHI Maluku Utara—di bawah arahan Prof. Aris, ahli kesehatan ikan dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Unkhair—menemukan kerusakan serius pada organ vital ikan: hati, ginjal, insang, dan otot. Analisis histopatologi menunjukkan kontaminasi logam berat seperti besi, nikel, kromium, dan merkuri pada tubuh ikan di Teluk Weda dan sekitarnya.
“Ini bukan hanya kerusakan fisiologis, tapi penanda rusaknya sistem rantai makanan laut secara menyeluruh,” tegas Prof. Aris. Artinya, ikan-ikan itu tak lagi layak dikonsumsi. Namun ketika masyarakat pesisir tetap memakannya karena tak punya pilihan lain, racun itu pun berpindah perlahan namun pasti ke tubuh manusia—menggerogoti ginjal, merusak sistem saraf, dan memicu penyakit kronis dalam jangka panjang.
Ironisnya, di ruang statistik nasional, Maluku Utara justru dielu-elukan sebagai bintang ekspor. Pada November 2024, nikel menyumbang hampir separuh total ekspor provinsi, mencapai USD 1,48 miliar, menurut data RRI dan InfoPublik. Sebagian besar dikirim ke Cina. Dalam narasi ekonomi makro, angka ini tampak menjanjikan. Tapi di balik tabel ekspor dan pertumbuhan, tersembunyi kisah nelayan Teluk Weda yang kehilangan tangkapan, ibu-ibu yang memasak ikan tercemar, dan anak-anak yang minum air beracun—semuanya tak tercatat dalam laporan resmi.
“Cina membawa pedang kematian bagi warga Malut atas nama investasi,” ujar Dr. Mukhtar Adam dengan satire getir dalam sebuah diskusi publik. Pernyataan ini bukan semata kritik emosional, melainkan cerminan dari ekspansi modal global yang menjanjikan kemakmuran, namun menyisakan penderitaan ekologis dan sosial.
Nikel dari Halmahera kini menjadi “penari lalayon”, lanjut Dr. Mukhtar, bergerak anggun menembus Samudra Pasifik, berakhir di pabrik-pabrik megateknologi Cina sebagai bahan baku kendaraan listrik dan pembangunan hijau global. Tragisnya, dalam tarian ekspor itu, Halmahera justru tertinggal. Ia hanya menabuh tifa dalam sepi, menari cakalele bukan untuk menang, tapi untuk melawan takdir kolonialisme gaya baru.
Mereka tidak datang membawa meriam atau senapan, tetapi dokumen AMDAL yang disusun terburu-buru, tidak diimplementasikan, janji lapangan kerja yang semu, dan bahasa “hilirisasi” yang menipu. Sumber daya alam diangkut keluar, racun ditinggalkan, dan masyarakat lokal dikurung dalam kemiskinan struktural dan penyakit kronis.
Yang lebih menyedihkan, sebagian cendekia malah memilih diam. Pantun intelektual terbungkam oleh proposal riset. Adab ilmiah dikorbankan di altar kompromi dengan kekuasaan dan modal. Mereka yang semestinya menjadi penjaga akal sehat, justru ikut dalam barisan pembenaran.