Sufisme Politis Ala Mulla Shadra

Dalam semua tindakan ini, Nabi Muhammad mengedepankan prinsip-prinsip keadilan dan kebijaksanaan dalam mengatasi heterogensi politik. Penggabungan dimensi politik dan spiritual (sufisme) dalam kepemimpinan Nabi Muhammad di Madinah menunjukkan bahwa politik yang dijalankan dengan moralitas, keadilan, dan komitmen pada prinsip-prinsip agama dapat menjadi bagian integral dari perjalanan rohani seseorang. Beliau memberikan contoh tentang bagaimana kepemimpinan politik yang kuat dapat digunakan untuk mempromosikan nilai-nilai kemanusiaan dan moralitas dalam masyarakat spritualis yang bertujuan pada ketuhanan.

Kesimpulan

Hubungan antara sufisme dan politik dalam Islam sangat kompleks dan beragam. Sufisme, yang menekankan penyucian jiwa dan kedekatan dengan Tuhan, dapat menjadi landasan moral bagi praktik politik yang adil dan bijaksana. Sebaliknya, politik yang berlandaskan nilai-nilai sufistik dapat menghasilkan pemerintahan yang lebih beretika dan berorientasi pada kesejahteraan masyarakat.

Adapun Mulla Shadra menempatkan perjalanan ruhani keempat, yakni perjalanan ‘dari’ dan dengan Tuhan menuju makhluk (Sayr min Al-Haq Ila al khalq bi Al-Haq) sebagai perjalanan politik, di mana substansi politik dimaknai sebagai upaya sadar dan rasional guna menyingkapkan realitas-realitas dan regulasi-regulasi yang mendominasi aktivitas sadar dan menggiring kehidupan kolektif manusia sekarang kepada takdir yang diinginkan.

Pandangan ini membawa kepada kemestian regulasi bagi masyarakat untuk melangsungkan kehidupan yang harmoni penuh dengan ketentraman, keadilan melalui otoritas Tuhan, sekaligus bahwa segala sesuatu tunduk terhadap Tuhan. Tunduk pada Tuhan berarti tunduk pada aturan-aturan dan tradisi-tradisi sunnah, termasuk keniscayaan kenabian (risalah) merupakan esensi politik Mulla Shadra.

Karenanya Mulla Shadra memahami bahwa tujuan misi sufistik dari para nabi adalah sebagai perbaikan agama dan dunia manusia melalui manajemen filosofis dan politik. Tasawuf (Irfan) Mulla Shadra bersesuaian dengan watak sosial manusia, dalam perjalanan pertama yakni: perjalanan makhluk menuju Tuhan (min al-khalq ila al-Haqq).

BACA JUGA   Penaklukan-Perampokan Halmahera: IWIP Sebagai Etalase Kejahatan Strategis Nasional Negara-Korporasi

Dalam perjalanan ruhani ini niscaya manusia membutuhkan suatu kebijakan untuk memperbaiki kehidupaan sosialnya, sebab manusia dalam menjalani kehidupan sosialnya diikat oleh norma-norma kerja sama dan aktivitas sosial. Karenanya dapat disimpulakan bahwa manusia tidak bisa hidup tanpa ambil bagian dalam aktivitas politik bersama dan kehidupan kolektif untuk tetap bertahan.

Shadra menggambarkan manusia sebagai khalifah Allah yang dari perjalanan makhluk ke al-haq memiliki power untuk membuat pengaruh terhadap dunia melalui inovasi ke revolusi, perkembangan, dan pengendalian. Pemerintahan yang kuat dan politik yang berdaya menjadi modal pengendalian dalam menghidari kekacauan sosial, dan menjadi jalan menciptakan kehidupan yang harmoni. Manusia juga yang punya hasrat individual tentu butuh pengendalian dari luar yakni melalui pemerintahan sebagai kontrol terhadap kepentingan-kepentingan individual.

Just a moment...