Sufisme Politis Ala Mulla Shadra

Al-Gazali menganggap politik sebagai cara untuk mencapai keadilan sosial, yang menurutnya merupakan tujuan utama hukum Islam. Al-Ghazali menekankan pentingnya pemimpin politik yang bertaqwa dan beretika tinggi. Dia percaya bahwa tugas pemimpin adalah untuk memastikan kesejahteraan dan keadilan bagi rakyatnya, juga dikatakan bahwa politik lebih bertujuan untuk mengatur jiwa dalam mencapai manfaat dan mencegah mudarat. Ibn Khaldun, seorang sejarawan, filosof, dan politikus, mengembangkan pemikiran politiknya dalam karyanya yang terkenal Muqaddimah.

Meskipun dia tidak dikenal sebagai seorang sufi, konsep asabiyah yang dikembangkannya memiliki implikasi politik dan sosial yang relevan. Konsep ini mengacu pada semangat kelompok atau solidaritas sosial yang jika dikelola dengan baik dapat membantu menciptakan masyarakat yang adil. Politik yang baik dalam pandangan Ibn Khaldun adalah yang mempromosikan asabiyah yang sehat untuk mencapai tujuan sosial yang baik. Selain itu, Nabi Muhammad Saw.

Sebagai aktor politik dan sufi sejati dalam membangun kota madinah sebagai praktik perjalanan ruhani kempat yang digambarkan oleh Mulla Shadra, yakni bagaimana membangun tatanan masyarakat yang berperadaban, aksentuasi nilai transenden dalam realitas sosial sebagai sarana atau wasilah dalam perjalanan menuju Tuhan.

Politik sebagai perjalanan rohani yang dijalani oleh Nabi Muhammad di Madinah adalah salah satu aspek penting dalam kehidupan dan kepemimpinan beliau setelah hijrah (migrasi) dari Mekkah ke Madinah. Periode ini mencakup sekitar sepuluh tahun dan mencerminkan transformasi signifikan dalam cara Nabi Muhammad memimpin masyarakat Muslim.

Berikut penjelasan tentang bagaimana politik menjadi perjalanan rohani dalam kepemimpinan Nabi Muhammad di Madinah: Pertama, Migrasi ke Madinah (Hijrah) Kehidupan politik Nabi Muhammad di Madinah dimulai dengan peristiwa hijrah pada tahun 622 Masehi. Hijrah merupakan tindakan politik yang juga memiliki dimensi rohani. Nabi Muhammad dan pengikutnya hijrah dari Mekkah ke Madinah, di mana mereka mendapat perlindungan dan kebebasan untuk mempraktikkan agama Islam di Madinah.

BACA JUGA   Poros Muda Partai Golkar Sebut Sultan Tidore Solusi Kemenangan Golkar di Pilgub Malut

Kedua pembentukan negara Madinah, Nabi Muhammad tidak hanya datang ke Madinah sebagai seorang pemimpin spiritual, tetapi juga sebagai pemimpin politik. Di sini, beliau memainkan peran sentral dalam pembentukan Negara Madinah yang inklusif dan berdasarkan prinsip-prinsip Islam.

Nabi Muhammad menegakkan konstitusi Madinah, yang mengakui hak-hak beragama dan sosial semua warga Madinah, termasuk Muslim dan non-Muslim. Ketiga, Kepemimpinan Politik dan Moralitas Nabi Muhammad di Madinah tidak hanya berfokus pada aspek politik, tetapi juga etis dan moral. Beliau menekankan pentingnya keadilan, persamaan, dan kebijaksanaan dalam pemerintahan.

Tindakan politiknya selalu dipandu oleh nilai-nilai agama Islam, seperti menghormati hak-hak individu, menegakkan keadilan, dan menciptakan perdamaian dalam masyarakat. Keempat, Dialog antaragama Nabi Muhammad yang sangat baik dengan berbagai kelompok agama di Madinah, termasuk Yahudi dan penganut agama Arab kafir. Beliau berusaha menjaga hubungan harmonis antara berbagai komunitas agama dalam kota tersebut, sehingga menciptakan lingkungan sosial yang inklusif walau diantara mereka memiliki tujuan politik yang berbeda-beda.

Just a moment...