Perjalanan ini tidak hanya tentang pengetahuan intelektual, tetapi juga melibatkan pengalaman mistis, introspeksi, dan transformasi pribadi. Konsep ini telah berpengaruh dalam tradisi mistisisme Islam dan telah menjadi dasar pemikiran dalam filsafat dan spiritualitas Islam kontemporer. Mulla Sadra menulis bahwa sifat yang tidak akhlaki menjadi penghalang manusia dalam melakukan penjalanan spiritual.
Pandangan ini membawa kepada kemestian regulasi bagi masyarakat untuk melangsungkan kehidupan yang harmoni penuh dengan ketentraman, keadilan melalui otoritas Tuhan, sekaligus bahwa segala sesuatu tunduk terhadap Tuhan. Tunduk pada Tuhan berarti tunduk pada aturan-aturan dan tradisi-tradisi sunnah, termasuk keniscayaan kenabian (risalah) merupakan esensi politik Mulla Shadra.
Karenanya Mulla Shadra memahami bahwa tujuan misi dari para nabi adalah sebagai perbaikan agama dan dunia manusia melalui manajemen filosofis dan politik. Tasawuf (Irfan) Mulla Shadra bersesuaian dengan watak sosial manusia, dalam perjalanan pertama yakni, perjalanan makhluk ke al-Haqq (min al khalq ila al Haqq). Dalam perjalanan ruhani, manusia niscaya membutuhkan suatu kebijakan untuk memperbaiki kehidupaan sosialnya, sebab manusia dalam menjalani kehidupan sosialnya diikat oleh norma-norma kerja sama dan aktivitas sosial.
Karenanya dapat disimpulkan bahwa manusia tidak bisa hidup tanpa ambil bagian dalam aktivitas bersama dan kehidupan kolektif untuk tetap bertahan. Tasawuf pada intinya mengajak keseimbangan antara hidup dunia dan akhirat, atau melakukan zikir dan doa sekaligus tetap melakukan aktifitas transformasi sosial. Dalam perspektif ini tasawuf dijadikan sebagai jalan bagi perubahan sosial-politik. Pada saat yang sama Said aqil Siraj juga memberi asumsi, bahwa tasawuf merupakan sebuah misi kemanusian yang menyempurnakan misi Islam secara holistik.
Mulai dari dimensi iman, Islam hingga ihsan, di mana tasawuf menempati posisinya sebagai aktualisasi dimensi ihsan dalam Islam. Dalam praktek umat Islam sehari-hari, dimensi ihsan ini diwujudkan dalam bentuk dan pola beragama yang tawassuth (moderat), tawazun (keseimbangan), i’itidal (jalan tengah), dan tasamuh (toleran).
Setelah manusia dalam perjalanan sufistiknya mencapaai kesempurnaan dan telah mengalami kesirnaan dalam Tuhan (fana’) maka perjalanan politik manusia akan dimulai. Pesuluk yang telah kembali dari perjalanan ini akan pantas memperoleh predikat khalifah Tuhan dan pemimpin politik masyarakat.
Konsep Politik Mulla Shadra
Mulla Sadra memberikan dasar bagi pemahaman bahwa politik yang ideal adalah kepemimpinan dan visi politik yang bergerak mencapai kesempurnaan spiritual dan menggunakan pengetahuan serta kebijaksanaannya untuk kepentingan bersama. Politik seharusnya bukan hanya tentang kekuasaan, tetapi juga tentang pelayanan kepada masyarakat dan upaya untuk menciptakan kebaikan bersama.
Muhsin Muhajir mengutip bahwa Mulla Shadra membagi politik menjadi dua yakni: Politik insani dan politik Ilahi. Mulla Shadra juga menyandarkan politik Ilahi kepada sekumpulan aturan yang telah diformulasikan oleh pemberi hukum suci, demi kebaikaan kehidupan sosial manusia.