Kopi bon-bon itu manis di awal, seperti narasi tambang yang menjanjikan kemajuan, tetapi terasa getir di akhir, sebagaimana nasib rakyat yang tersingkir dari tanahnya sendiri. Dalam langkahnya yang tegap, sang barista menjadi simbol dari perempuan Halmahera. Ia tak sekadar melayani, tapi membawa pesan, bahwa ada generasi yang tak diam, yang memilih merawat ingatan, menyeduh perlawanan, dan menjaga ruh tanah ini dengan cara yang paling lembut namun penuh makna.
Menariknya, sosok barista perempuan di Story Caffe tidak hanya menjadi simbol emansipasi Wanita, tetapi juga cerminan struktur sosial lokal. Ia mewakili semangat ibu-ibu nelayan di Saria, perempuan petani di Loloda Sahu, hingga penjaja kue di Susupu yang bekerja tanpa sorotan, namun menyimpan keteguhan luar biasa. Dan di Story Caffe, menjadi perempuan juga berarti menjadi penjaga cerita, pelindung rasa.
Dalam perspektif sosiologis, Story Caffe telah melampaui fungsinya sebagai kedai minum. Ia menjadi ruang sosial baru, tempat diskusi seru, debat tentang politik, hingga pengakuan cinta pertama. Ini adalah manifestasi dari konsep “third place” yang dikenalkan oleh sosiolog Ray Oldenburg—ruang perantara antara rumah dan tempat kerja yang menjadi sumber kehidupan demokratis, kebebasan berekspresi, dan toleransi sosial.
Akhirnya, ini hanya tentang Kedai Kopi, bukan omongan seorang James Uang, apalagi soal Tambang. Story Caffe bukan hanya kedai kopi. Ia adalah ruang hidup, galeri rasa, dan taman bermain gagasan. Dalam setiap cangkir kopi Bon-bon yang diseduh oleh tangan-tangan penuh perhatian dengan sepotong senyumnya, kita tahu: Halmahera Barat bukan sekadar tempat, tapi rumah bagi rasa yang tak tergantikan.
Penulis: Gusti