Oleh:

M. Rizki A. Karim (Aktivis HMI Ternate)

Di balik gegap gempita pembangunan dan jargon “Maluku Utara Bangkit” tersimpan kisah suram yang tak pernah benar-benar diangkat dalam narasi resmi negara. Smelter-smelter berdiri megah, mengepul siang dan malam, seolah menjadi simbol kemajuan dan industrialisasi.

Namun bagi rakyat kecil, buruh tambang, dan masyarakat lokal, yang lahir dari rahim kemajuan ini bukanlah kesejahteraan, melainkan luka ekologis, penderitaan sosial, dan pengabaian hak hidup.

Kolusi antara penguasa yang semestinya menjadi penjaga kepentingan rakyat, dengan pengusaha yang haus eksploitasi, telah melahirkan generasi smelter yang mematikan. Bukan hanya tanah dan hutan yang dihancurkan, tetapi tubuh manusia dan kedaulatan komunitas lokal turut dilindas.

Sejak 2020 hingga 2025, Maluku Utara menjadi panggung eksploitasi brutal atas nama investasi. Dalam bayang-bayang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan proyek strategis nasional, rakyat disuguhi ilusi tentang lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi. Padahal yang terjadi adalah tragedi ekologis dan sosial yang sistematis.

Salah satu kasus paling menyayat adalah temuan logam berat seperti merkuri dan nikel dalam darah manusia dan ikan di perairan Halmahera Tengah. Studi ini menunjukkan bagaimana kontaminasi tambang tidak hanya menghancurkan tanah, tapi juga meracuni tubuh warga yang menggantungkan hidupnya dari laut.

Belum cukup sampai di situ, kita juga menyaksikan kriminalisasi terhadap warga yang mempertahankan ruang hidupnya.

Sebanyak 11 warga Halmahera Timur ditetapkan sebagai tersangka, hanya karena memperjuangkan hak mereka atas tanah dan lingkungan. Sementara para pelaku perusakan skala besar yang bermodal dan punya akses kekuasaan, terus berlindung di balik legalitas investasi. Inilah wajah timpang hukum dan keadilan di negeri tambang. Hukum menjadi alat kekuasaan, bukan lagi penjaga kebenaran.

BACA JUGA   Pesan Politik untuk Generasi Z

Kasus banjir di Kawasi, yang sebelumnya merupakan kawasan hijau dan hutan lindung, kini menjadi simbol dari kekacauan tata ruang. Alih fungsi kawasan secara masif, pembabatan hutan, dan reklamasi tanpa kajian lingkungan, telah mengubah ekosistem menjadi bencana.

Air tak lagi mengalir seperti biasa. Sungai-sungai meluap, dan lumpur tambang menghancurkan kebun dan rumah warga. Namun suara mereka tenggelam di balik data ekonomi yang gemerlap.

Sikap arogan para pelaku industri juga terlihat ketika salah satu perusahaan besar menolak menghadiri panggilan resmi dari Kementerian Ketenagakerjaan. Ini bukan sekadar pelanggaran administratif, tetapi penghinaan terhadap otoritas negara dan rakyat.

Di sisi lain, kasus Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal yang direncanakan pada 2025 oleh salah satu perusahaan tambang terbesar di kawasan industri menunjukkan bahwa janji kesejahteraan buruh tak lebih dari fatamorgana. Buruh diperas, lalu dibuang.

Rangkaian peristiwa ini seharusnya cukup menjadi alarm kolektif bagi rakyat Maluku Utara. Kita sedang menuju krisis multidimensi yang bukan hanya soal lingkungan, tapi menyangkut masa depan generasi.