Slogan ‘Maluku Utara Bangkit’ dan Harapan yang Terkikis

Dalam pemberitaan yang lain oleh beberapa media online, PT. IWIP di Halmahera Tengah kini menjadi sorotan karena mencetak kecelakaan kerja paling banyak (baca Tivanusantara/NMG), sampai pada statement gurih dari Gubernur Malut yang meminta agar iklim investasi pertambangan harus dijaga (baca Haliyora.id).

Pertambangan di Maluku Utara ini sering disebut sebagai lokomotif pembangunan. Angka-angka pertumbuhan ekonomi yang melesat, geliat investasi, hingga janji-janji kesejahteraan, seolah menjadi bukti bahwa “Maluku Utara Bangkit” bukan sekadar slogan kosong. Namun, ketika kita menengok lebih dekat ke desa-desa di sekitar tambang, yang kita jumpai justru cerita-cerita tentang lahan yang hilang, pencemaran sungai hingga hilangnya mata pencaharian nelayan serta petani lokal.

Fenomena diatas seakan menjadi wajah baru bobroknya kepemimpinan Sherly Tjoanda dan Sarbin Sebe dalam 100 hari kerja. Mengapa tidak, kita bisa menelisik gelombang demonstrasi yang berlangsung dalam pekan terakhir ini, masa aksi terus berhadapan dengan anggota kepolisian tanpa sedikitpun suara dari Pemimpin Negeri. Hal ini dapat disimpulkan bahwa Sherly Tjoanda seolah berlindung dibalik instansi yang tidak sedikit anggotanya yang berlaga ‘preman’.

Saya meminjam pandangan James Hutton, seorang tokoh Geologi asal Skotlandia, dalam bukunya yang paling terkenal, “Theory of the Earth” (Teori Bumi). Menurutnya, bumi tidak mengenal awal dan akhir dalam skala waktu geologi. Tetapi kehidupan manusia yang memiliki batas, dan masa depan anak cucu kita bergantung pada pilihan yang kita buat hari ini.

Hal ini mengindikasikan bahwa pembangunan yang bergantung pada sektor pertambangan acapkali memakan konflik yang sulit berkesudahan, terjadinya kegaduhan di sektor Perikanan dan Kelautan menjadi bukti konkret kebiadaban elit korporasi.

Narasi “Bangkit” yang digaungkan pemerintah sering kali terjebak pada logika pembangunan top-down, di mana keputusan-keputusan strategis diambil tanpa partisipasi bermakna dari masyarakat terdampak. Ini mencerminkan kritik klasik terhadap model pembangunan yang bias kapitalis, di mana keuntungan diutamakan sementara kerugian sosial-ekologis diabaikan.

BACA JUGA   Erwin-Zulkifli Junjung Demokrasi & Good Governance

Janji-janji pembangunan dan kemakmuran yang dilontarkan di mimbar politik seolah menjadi mantra yang meninabobokan, sementara tambang-tambang terus menggempur tanah-tanah adat, hutan-hutan yang dulu menjadi sumber penghidupan, dan sungai-sungai yang menjadi urat nadi kehidupan.

Dalam perspektif teori keadilan sosial, pembangunan seharusnya tidak hanya mengejar pertumbuhan ekonomi, tetapi juga memastikan distribusi manfaat yang adil, keberlanjutan ekologi, dan penghormatan terhadap hak-hak komunitas masyarakat.

Pembangunan yang tidak melirik terhadap keberlangsungan hidup lingkungan yang aman dan layak, hanya akan merugikan masyarakat lokal secara terbuka dan menganga.

Maka slogan “Maluku Utara Bangkit” tampaknya lebih condong menjadi mitos ketimbang fakta. Mitos ini dibangun melalui narasi resmi pemerintah, diperkuat oleh pemberitaan media yang bias, dan didukung oleh kepentingan oligarki ekonomi-politik yang menguasai sektor tambang. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa yang “bangkit” hanyalah grafik PDB dan keuntungan korporasi, sementara rakyat kecil justru terjerat dalam lingkaran kemiskinan, kehilangan ruang hidup, dan terpapar bencana ekologis.

Just a moment...