Slogan ‘Maluku Utara Bangkit’ dan Harapan yang Terkikis

Oleh :

Gusti Ramli (Ketua Umum SEMAHABAR Kota Ternate)

Sambil menyeruput secangkir kopi panas di bawah rindangnya pohon mangga di pojok basecamp, saya dan seorang teman larut dalam obrolan santai yang awalnya hanya tentang rutinitas harian: harga rokok yang semakin melangit, nelayan yang mengeluh soal cuaca, hingga mata kuliah yang tak kunjung tuntas.

Di sela tawa kecil dan hembusan asap rokok, teman saya ini menatap sebuah gedung tua dengan wajah yang lesu, lalu berkata dengan nada setengah serius, “Katanya Maluku Utara bangkit, tapi bkiapa masyarakat masih dapa dampak dari Tambang?”. Pertanyaan itu menghentak, terbesik dalam ingatan saya. Diam sesaat, lalu obrolan mengalir ke arah yang lebih serius.

Di titik inilah, saya mulai menyusun catatan reflektif ini sebagai bahan perenungan sekaligus mempertanyakan tentang kata ‘Bangkit’ bagi Maluku Utara dan masyarakat yang digaungkan Gubernur Maluku Utara, Sherly Tjoanda pada kontestasi Politik baru-baru ini.

Slogan “Maluku Utara Bangkit” milik Sherly Tjoanda sebagai sebuah representasi kemajuan provinsi. Baik kemajuan pada aspek ekonomi, infrastruktur, pendidikan, kesehatan, bahkan di sektor pertambangan, menyimpan kontradiksi mendasar antara narasi pembangunan dan realitas sosial-ekologis yang dihadapi masyarakat lokal.

Sebuah slogan yang mencitrakan optimisme pembangunan yang progresif, namun di baliknya, justru tersingkap berbagai persoalan: perampasan ruang hidup, kerusakan lingkungan, dan marjinalisasi masyarakat adat. Pertanyaannya, apakah “Maluku Utara Bangkit” merupakan fakta yang dapat diverifikasi secara objektif, atau sekadar mitos yang dibangun untuk menutupi realitas krisis?.

Berdasarkan data WALHI Maluku Utara, hingga tahun 2023, lebih dari 40 persen wilayah daratan Maluku Utara telah dikuasai oleh izin usaha pertambangan (IUP). Ini berarti hampir separuh ruang hidup masyarakat kini telah berubah menjadi tapak industri ekstraktif, dengan konsekuensi sosial dan ekologis yang tidak kecil.

BACA JUGA   Tuduh Pimpinan PT Babang Raya Lakukan Konspirasi Jahat, Seorang Pria di Bacan Bakal Dipolisikan

Kajian kritis terhadap model pembangunan ekstraktif di Maluku Utara menunjukkan adanya pola yang mengkhawatirkan: eksploitasi secara besar-besaran terhadap sumber daya alam tidak diimbangi dengan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat lokal dan keberlanjutan ekosistem.

Alih-alih menjadi ruang perbaikan ekonomi rakyat, tambang justru menjadi sumber konflik agraria, penggusuran, dan pencemaran lingkungan. Sungai-sungai yang dulunya menjadi sumber air bersih kini tercemar, hutan-hutan gundul, dan lahan-lahan pertanian serta kawasan pesisir tergerus menjadi kawasan industri tambang. Sementara itu, masyarakat adat dan nelayan harus rela kehilangan akses terhadap sumber-sumber penghidupan tradisional mereka.

Di penghujung bulan Mei ini, terjadi berbagai macam dinamika konflik yang bahkan tidak berkesudahan. Mulai dari penangkapan oleh aparat Kepolisian terhadap 27 warga Maba Sangaji yang berusaha mempertahankan ruang hidupnya dari ancaman PT. Position, ancaman logam berat yang terdapat dalam tubuh ikan dan darah manusia.

Just a moment...