Sikapi Putusan Praperadilan 11 Warga Maba Sangaji, Akademisi UNAS: Kekerasan Struktural Atas Nama Pembangunan

Jakarta – Apa yang dikemukakan Bung Karno, mengingatkan kita bahwa perjuangan melawan “bangsa sendiri” lebih sulit karena lawan tidak tampak sebagai musuh langsung, tetapi sering kali membungkus kepentingannya dalam narasi pembangunan dan modernisasi.

Hal ini disampaikan Akademisi UNAS, Mochdar Soleman saat menanggapi putusan Praperadilan 11 Warga Maba Sangaji di Pengadilan Negeri Soasio pada Senin (16/6) kemarin.

Menurutnya, dalam konteks perjuangan warga Maba Sangaji, perjuangan mereka tidak hanya soal tanah, tetapi juga tentang kedaulatan atas lingkungan hidup dan keberlanjutan.

“Dengan pendekatan otonomi relatif, kita dapat menegaskan bahwa negara seharusnya menciptakan ruang bagi keputusan-keputusan lokal yang mempertahankan hak masyarakat adat atas wilayah mereka,” ujar Mochdar saat dihubungi via Smartphone. Selasa (17/6).

Namun, kata Mochdar, ketika kebijakan pusat lebih berpihak pada korporasi seperti PT. Position. Maka, ruang tersebut hilang, dan masyarakat dipaksa untuk berjuang melawan sistem yang semestinya menjadi pelindung mereka.

“Kriminalisasi 11 Warga Sangaji, Halamhera Tikur, adalah bentuk kekerasan struktural atas nama pembangunan,” katanya.

Lebih lanjut ia mengatakan, jika putusan Pengadilan Negeri Soasio kemarin mengabulkan gugatan praperadilan 11 warga Maba Sangaji, seharusnya itu menjadi akhir dari jerat hukum yang menimpa mereka.

Namun, status hukum sebagai tersangka tersebut memperkuat stigma mereka sebagai pelaku kriminal akan terus melekat dalam ruang publik dan narasi negara.

Sebagaimana diketahui, kasus ini mencuat sejak warga menuntut ganti rugi atas perampasan lahan adat oleh perusahaan tambang. Namun, mereka justru dituduh melakukan pemerasan, membawa senjata tajam, dan menghalangi investasi.

Aparat menggunakan pasal-pasal darurat untuk menjerat warga yang sejatinya sedang mempertahankan ruang hidup mereka.

Dalam keterangan, Mochdar, yang juga pengamat politik lingkungan, Universitas Nasional tersebut mengatakan bahwa kasus ini mencerminkan praktik “psikologi terbalik” dalam kebijakan negara. Warga yang membela tanah leluhurnya dianggap sebagai ancaman, sementara korporasi yang menyerobot hutan adat justru dilindungi.

BACA JUGA   Pemkot Tidore Dukung Pelaksanaan Pengobatan Gratis di Puskesmas Payahe dari IBI 24 Mei Mendatang

“Ini bukan sekadar kesalahan hukum prosedural. Ini adalah kekerasan struktural yang dilakukan secara sah melalui aparatus hukum negara,” tegas Mochdar.

Mengacu pada Bryant dan Bailey, Mochdar menegaskan bahwa lingkungan hidup adalah arena konflik antara negara, kapital, dan komunitas lokal. Negara, dalam banyak kasus, justru bertindak sebagai agen kepentingan ekstraktif melalui aparat hukum dan regulasi.

Warga adat Sangaji, lanjut Mochdar, berada di posisi yang tidak menguntungkan, karena tidak memiliki kekuatan legal formal atas tanah, namun memiliki legitimasi sosial dan ekologis yang kuat. Alih-alih dilindungi, mereka dihadapkan pada hukum yang berpihak pada modal.

Tercatat, kasus ini bukan satu-satunya. Tren kriminalisasi warga yang menolak tambang, perkebunan sawit, hingga proyek infrastruktur menunjukkan bahwa hukum lingkungan di Indonesia belum berpihak pada rakyat dan ekologi. Pendekatan berbasis keadilan ekologis bukan semata prosedur administratif, tapi harus segera dikedepankan.

Just a moment...