Meneropong sikap Sherly Tjoanda dalam kacamata Liddle & Schulte Nordholt
R. William Liddle (1996) menyoroti bahwa negara di dunia berkembang sering kali tidak berfungsi sebagai institusi netral, melainkan sebagai arena patronase politik, tempat elite memainkan peran sentral dalam mendistribusikan sumber daya. Dalam konteks ini, aktor seperti Shrely Tjoanda tidak sekadar figur politik, tetapi juga penghubung antara kapital dan kebijakan.
Sherly Tjoanda sebagai pemimpin daerah memiliki peran strategis dengan sejumlah proyek strategis industri nikel di Maluku Utara. Perannya tidak bisa dilepaskan dari bagaimana izin tambang dikelola, bagaimana proses AMDAL disahkan, dan bagaimana konflik masyarakat disikapi. Ketika pemerintah daerah abai terhadap perlindungan warga dan justru hadir sebagai pelindung investasi, maka yang bekerja bukan lagi “pemerintahan berdasarkan hukum,” melainkan pemerintahan bayangan (shadow state), sebagaimana dikonsepkan Schulte Nordholt dan van Klinken.
Hal ini dapat terlihat dalam berbagai kriminalisasi terhadap warga yang menolak tambang. Di Pulau Gebe dan Halmahera Timur, warga yang mempertanyakan transparansi AMDAL atau menolak ekspansi industri kerap dilabeli sebagai penghambat pembangunan, bahkan dihadapkan pada aparat keamanan.
Dalam konteks ini, elite lokal seperti Sherly Tjoanda dapat memilih memainkan perannya baik sebagai aktor formal dalam pemerintahan dan parlemen, maupun sebagai simpul jaringan informal dalam perizinan dan mobilisasi modal. Jika ini yang dimainkan maka Ini menciptakan asimetris kekuasaan antara rakyat dan elite, antara komunitas lokal dan pemilik modal.
Dan oleh karena itu, Maluku Utara membutuhkan redefinisi atas arah pembangunannya. Pembangunan yang hanya mengejar pertumbuhan tanpa distribusi, yang memihak pada modal dan menyingkirkan masyarakat lokal, hanya akan melanggengkan bentuk baru dari kolonialisme sumber daya.
Sehingga dibutuhkan “Demokrasi ekologis” sebagai sebuah paradigma baru pembangunan daerah yang menempatkan komunitas sebagai subjek pembangunan, mengakui hak ekologis atas tanah, laut, dan udara, serta membangun struktur politik yang tidak terjebak dalam patronase elite.
Peran Sherly Tjoanda sebagai orang nomor satu di Maluku Utara dalam hal ini menjadi penentu. Jika ia menggunakan kewenangannya sebagai Gubernur dan pengaruh politiknya untuk memperjuangkan hak masyarakat terdampak dan meninjau ulang pola investasi ekstraktif, maka ia dapat menjadi agen perubahan.
Namun jika justru memperkuat relasi kuasa yang timpang antara modal dan rakyat, maka ia akan dikenang sebagai simbol kegagalan arah pembangunan Maluku Utara.
Seperti dikatakan Marx, sejarah kapital bukan hanya sejarah produksi, tetapi sejarah perampasan. Kini, Maluku Utara dihadapkan pada pilihan sejarahnya sendiri. Apakah pembangunan untuk Rakyat atau
Pembangunan untuk Pemodal?