Penulis : Ardiansyah Fauzi
Seperti janji Ser Putin, hari ini Kota Kiev mungkin jatuh, mungkin juga masih panjang nan terjal penalukkannya
Tadi malam seorang Junior mengirim sebuah artikel The Guardian yang ditulis oleh lelaki hebat Yuval Harari, judulnya cukup provokatif “Why Vladimir Putin has already lost this War” berkali-kali dalam tulisannya Harari memanggil Putin sebagai lalim Rusia, dalam prespektif Harari, Putin berambisi membangun kembali impian kekaisaran Rusia. Putin bisa saja memenangkan setiap pertempuran, tapi ia tak akan memenangkan perang ini, karena syarat menang perang adalah menguasai sepenuhnya sebuah bangsa. Bagi Harari, nafsu Putin itu telah mencederai kemanusiaan, meninggalkan kebencian dan dendam pada rakyat Ukraina terhadap Rusia, karena itu Putin menghindari korban sipil. Meskipun sedari awal Putin telah tegaskan bahwa ini bukan sebuah perang dengan maksud penjajahan.
Harari cukup emosional menguraikannya.
Harari merupakan penulis yang sangat Saya kagumi, hampir seluruh bukunya jadi koleksi pribadi, dan wajib ada. Harari memang bagus menulis sejarah peradaban manusia dan sains, tapi tidak dalam perang Rusia vs Ukraina ini, kemarahan Harari meninggalkan bolong terlalu banyak untuk dibantah. Sebagai penulis keturunan Yahudi, Harari sepertinya lupa dengan okupasi Israel pada Palestina selama ini. Harari abai pada kejahatan perang beberapa dekade terakhir, baik hancurnya Irak, Afganistan Libya hingga Suriah karena invasi. Bahkan dunia sepertinya tak peduli pada derita perang yang dialami negara-negara tersebut. Standar ganda, HAM sepertinya memiliki warna kulit jadi terlihat jelas mana yang mesti dibela mana yang hanya perlu didiamkan saja. Harari mungkin pikir segala derita perang itu akan menguap begitu saja, hilang tak membekas di kepala, tak abadi sebagai sejarah ummat manusia, sehingga saat Rusia menghantam Ukraina yang sebelumnya sudah diperingatkan, Harari bicara soal kejahatan perang dan kemanusiaan, rasanya
hambar.
Sejak Viktor Yanukovych dilengserkan pada 2014 lewat protes besar berbulan-bulan, Putin sepertinya kehilangan seorang kawang setia. Rusia kehilangan kendali dan langsung membalas perlakuan itu dengan menguasai Krimea bagian selatan Ukraina. Gesekan kian kuat ketika presiden baru Ukraina Volodymr Zelensky hendak bergabung dengan NATO, sebuah langkah berani, mengabaikan Pakta Warsawa dan semacam usaha melupakan masa lalu Ukraina sebagai negara pernah menjadi bagian dari Uni Soviet. Jelas keputusan itu membuat Ser Putin marah, sederhananya merasa terancam, bagaimana tidak, keputusan bergabung dengan NATO sama hal nya Ukraina membiarkan moncong senjata dan rudal musuh berada tepat di depan pintu rumah Putin.
Setelah Ukraina dibawah pimpinan seorang mantan Komedian. Pemberontakan terjadi dimana-mana, banyak etnis Rusia yang menjadi sasaran kebencian rasial dan pembunuhan. Etnonasionalisme dan Islamphobia merupaka penyakit akut Ukraina dan negara-negara eropa timur dan barat lainnya yang memang susah diobati. Berbeda dengan Rusia, merupakan salah satu negara yang paling bersih dari perilaku Rasisme white supremacist dan Islamphobia. Moskow (ibukota Rusia) merupakan kota dengan jumlah penduduk muslim terbanyak di Eropa.
Ketegangan makin memburuk ketika pihak barat menyuplai senjata kepada kelompok-kelompok milisi neo nazi Ukraina guna menebar ancaman anti Rusia. Danini membuat Putin murka, salah satu alasan paling kuat Putin untuk melakukan invasi ke Ukraina saat ini guna de-nazifikasi Ukraina demi melindungi etnis Rusia yang berada diseluruh wilayah Zelensky.
Hari-hari ini, begitu banyak ungkapan rasisme yang muncul baik oleh media-media barat ketika meliput pengungsi maupun sikap militer diperbatasan Ukraina yang mencegah pengungsi non kulit putih, problem terburuk historis yang tak pernah selesai, seakan memberi pesan kepada dunia bahwa masalah rasisme di Ukraina sudah memasuki stadium akhir, tak mungkin lagi diobati. Bahkan dalam perang yang sedang berkecamuk sekalipun watak rasisme itu tak bisa sedikitpun disembunyikan dalam selimut. Dan itu sedikitnya kebenaran yang mungkin membuat Ser Putin lebih mendapat banyak dukungan dalam invasi ini.
Jika Harari, mengatakan Putin telah kalah dalam perang ini karena keberanian rakyat Ukraina melawan bahkan berani menahan tank baja dan rudal dengan tangan kosong, perlawanan yang mungkin luput dari kalkulasi sang mantan intelejen KGB. Bukan sebaliknya? watak etnonasionalisme (akar rasisme) rakyat, militer jugapejabat-pejabat Ukraina telah mengalahkan mereka sendiri bahkan sebelum Ser Putin tiba di Kiev untuk menaklukannya secara keseluruhan.
Perang ini mungkin akan panjang, jika tarikan ideologis ikut bermain, bahkan mungkin akan berubah dalam wujud ketegangan yang lain. Ketidakmampuan Zelensky membaca realisme politik dan geopolitik membuat kekacauan ini akan semakin memakan korban, terutama korban rakyatnya sendiri. Begitu cepat PBB merespon invasi Rusia, Amerika dan Nato sibuk memberikan sanksi, terbaru negara-negara Asia, Jepang, Singapore dan Malaysia ikut memberikan sanksi. Tapi seberapa berpengaruhi sanksi-sanksi tersebut bagi negara sekelas Rusia? Banyak negara juga bergantung padanya. Ketika Kurs Rubel mulai jeblok 30% akibat sanksi keuangan dan perbankan. Juru bicara Putin menanggapinya dengan santai, bahwa mereka telah mengantisipasi segala kemungkin yang terjadi, bahkan yang terburuk sekalipun skenarionya telah disiapkan. Paling Terkini dunia olahraga ikut terlibat, FIFA mencoret negeri beruang merah dari keikutsertaan pada piala dunia, begitu juga club Sparta Moskow dilarang berkompetisi di Liga Ueropa. Cepat sekali mereka peduli, namun sanksi dan segala kepedulian semacam itu malah membuat masyarakat dunia yang menjadi korban keganasan AS dan sekutunya kian murka, mereka sedang mempertonton sebuah sikap tak adil, sikap yang membuat negeri beruang merah semakin kuat dan akan terus mengempur Ukraina sampai Zelensky mengibarkan bendera putih dan mundur dari tampuk kepemimpinan negaranya.
Berkali-kali Zelensky curhat ke media, setelah sebelumnya tampak berani menantang Putin. Kini dia merasa ditinggalkan sendiri, panggung utama yang biasanya ramai oleh tepuk tangan AS dan NATO mulai sepi, ia kena ghosting. Lawakannya kian ambyar, tanpa ada plot yang menyenangkan untuk ditonton, tanpa callback, kehilangan punchline disetiap materinya, sehingga endingnya hanya menyisahkan tangis mendalam. Sebuah pertunjukan komedi yang benar benar gagal Mr. Zelensky.
Kita semua menolak perang dengan alasan apapun tidak dibenarkan, tapi rasanya sungguh tak adil, ketika setahun lalu Zelensky secara terbuka mendukung okupasi yang dilakukan Israel terhadap Palestina. Terang-terangan ia mendukung invasi, lalu hari ini meminta dikasihani karena di invasi, sungguh sikap yang memalukan. Sama memalukan dengan keluhan Napoleon kepada Kutusov, panglima Rusia dalam invasi tahun 1812 yang ditulis oleh Leo Tolstoi dalam novel legendanya, Perang dan Damai. Kala itu pasukan Perancis menggunakan pedang sedang pasukan Rusia (tentara rakyat) hanya memakai pemukul untuk membalasnya.