Tanggapan atas tulisan Lutfhi Assyaukanie tentang Kebangkrutan Filsafat
Oleh : Haji Misbach
(Alumni Universitas Paramadina)
Tuan Ompi menarik saya pada percakapan media sosial soal kebangkrutan filsafat yang dipicu oleh dosen saya Mr. Lutfi Assyaukanie. Karena ditarik ya saya coba terangkan sedikit saja dari apa yang saya ketahui dan alami selama sekitar 20 tahun ini soal filsafat. Mulai dari ikut diskusi, ikut short course, studi di jurusan filsafat, jual buku dan kaus filsafat, bikin klabbaca filsafat, menerjemah babon filsafat dan mendirikan penerbit khusus buku filsafat.
Sepanjang saya tahu Mr. Lutfhi, dia selalu ada dalam konteks melakukan dekonstruksi teologi historis. Itu pembacaan saya pada pikiran-pikirannya sejak ada Media Isnet, komentar-komentarnya di Mailing List Kahmi Pro Network dan artikel-artikel website pribadinya dan website Islib, juga perjumpaan di kelas saat mengajar.
Oleh sebab itu saya melihat beliau ini kurang lebih sebagai seorang teolog. Karena statusnya sebagai teolog itu pula bisa dimaklumi kalau beliau senang menyerang kelompok manapun dan siapapun. Karena pemikirannya didominasi hasrat melakukan dekonstruksi teologis khas teolog, maka sebenarnya kita tidak perlu marah pada apa yang dikritiknya. Sepanjang saya, bung, nona, tuan dan nyonya tidak seperti yang ditudingnya.
Ok, mari kita masuk ke isi tulisan di FB yang ramai itu, yang bisa saya baca setelah diforward tuan Indra Intisa .
Apakah sebagai disiplin ilmu, filsafat telah bangkrut?
Saya menangkap premis filsafat telah bangkrut ini terkait tegak berdirinya jurusan filsafat di perguruan tinggi. Memang tidak banyak peminat jurusan filsafat itu, karena secara umum di Indonesia ini orang kuliah itu sekedar buat syarat dapat kerja lebih baik dan menumpuk ijazah. Filsafat dianggap tidak terkoneksi dengan kebutuhan industri. Padahal lowongan kerja dunia industri, yang butuh buruh kasar ataupun buruh berdasi banyak tertera pengumuman “menerima sarjana dari jurusan apapun”.
Nampaknya beliau ini lupa pemandangan umum soal kebijakan pendidikan dan kebudayaan serta watak perguruan tinggi Indonesia sejak orde pembangunan dan orde infrastruktur ini. Sekolah secara umum adalah candu dan pabrik manusia.
Jadi sebenarnya yang bangkrut itu bukan disiplin filsafat, tetapi sekolah-sekolah yang mirip pabrik itu. Yang sarjana-sarjananya senang foto memakai toga sebagai tanda kelulusan mereka tapi gak pernah baca dan beli buku.
Premis kedua, sebagai cara manusia bertanya dan mencari kebenaran, filsafat akan terus hidup?
Ya, di sini juga salah lagi beliau ini. Tanda tidak tekunnya beliau mengamati soal pengajaran filsafat di perguruan tinggi.
Jadi begini ya, para guru besar filsafat sekolah tinggi filsafat itu semisal Romo Magnis, membedakan kepentingan orang berfilsafat di jaman kuno yang menjadikan filsafat sebagai kebijaksanaan dan filsafat di jaman modern sebagai ilmu kritik dan kritik ideologi.
Mereka yang di jaman ini mau “berfilsafat” sebagaimana tabiat ilmu-ilmu lainnya haruslah mengerti sejumlah sistematika dan metodologi yang didalamnya juga tentu ada proses riset dan disiplin.
Pada saat bertanya pun orang kebanyakan juga kesulitan membuat pertanyaan. Padahal pertanyaan yang benar adalah setengah dari jawaban. Alih-alih bertanya, membuat pertanyaan pun tidak mampu. Soal ketidakmampuan membuat pertanyaan ini, yang dialamatkan Pramoedya Ananta Toer pada sejumlah wartawan yang mengajukan pertanyaan kepadanya juga bisa jadi contoh.
“Saya sering tidak sabaran kalau menghadapi mereka. Mereka datang ke sini dan menanyakan pertanyaan-pertanyaan bodoh. Mereka tidak tahu apa yang mereka bicarakan, saya benar-benar tidak sabar kalau menghadapi mereka”
(hal xxv, wawancara Andre Vltcek dan Rossie Indira)
Pram juga mengeluhkan keluarganya yang tidak mau belajar dan menambah pengetahuan, yang sebenarnya bisa jadi gambaran umum masyarakat kita;
“Anak cucu saya tidak mau membaca suratkabar. Saya tidak mengerti mengapa hal ini bisa terjadi, mereka tidak lagi punya budaya membaca, mereka lebih senang menonton televisi, tidak punya keinginan menambah ilmu.”
Artinya tanpa anda mau belajar baik itu sekolah formal atau melalui pembelajaran sepanjang hayat, tak ada pikiran. Tak ada manusia, yang ada hanya robot-robot, budak-budak, masyarakat konsumtif, masyarakat penonton yang bodoh dan dibodohi. Sudah tak ada ruang kosong yang tak dikuasai kapitalisme dan kontrol negara sekarang ini, untuk anda bisa menyebut diri manusia bebas yang memungkinkan ruang itu ada seperti di jaman pra-kapitalisme.
Tanpa keseriusan dan ketekunan belajar, sudah tak bisa ditemui mereka yang layak disebut filsuf sekarang ini tanpa pendidikan formal filsafat. Sebab yang terjadi adalah mereka hanya mengeluarkan percikan-percikan filosofis tanpa sistematika, filsuf amatir, filsuf jalanan. Menyebut seseorang filsuf, jika dia hanya mendapatkan skill melalui course, bukan discourse tidak bisa dibenarkan. Nanti juga lama-lama kita akan ketemu fakta dari perbualannya, kalau yang bersangkutan itu lebih banyak ngawurnya dibanding tertib berpikir.
Hal ini sama kiranya terjadi dengan ilmu sastra yang ada fakultas dan ada sarjananya. Karena sejumlah orang senang buat puisi, cerpen dan menulis novel maka oleh sesuatu dan lain hal dia ditahbis jadi sastrawan. Padahal bukan lulusan sastra. Sejumlah sarjana teknik karena berasal dari institut ternama bikin sekolah, bikin kursus dan mengajar, merasa lebih mampu dari mereka yang lulus dari fakultas keguruan.
Jadi sekali lagi saya tegaskan, disiplin filsafat tidak sedang bangkrut, justru makin signifikan karena sarjana filsafat akan bisa memimpin masyarkat dan mengorganisir kritik kritik pada pemikiran-pemikiran palsu, propaganda ideologi anti manusia, keserakahan para politisi dan pemodal, perusakan alam, dan dogmatisme agama, baik agama religi maupun agama saintisme. Pekerjaan sarjana filsafat itu sungguh menantang, cuma satu saja, memanusiakan manusia, dari kecenderungannya untuk jadi robot, jadi tuhan, jadi diktator, jadi sophist.
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=235061838611867&id=100063241567304