Oleh : Tata Nan Pranata
Penulis adalah Anggota Pejuang Tanpa Akhir (PETA)
Awal abad 20 saat rakyat Indonesia masih terjajah dan belum bersatu. Pers tampil dengan gagah perkasa di antara dua kekuatan pergerakan yang memiliki cita-cita yang sama, yakni antara rakyat dan para pemimpin pergerakan. Pergerakan kebangsaan saat itu kemudian menemukan instrument baru yaitu media massa, yang kemudian tumbuh menjadi alat perjuangan, propaganda, penyambung lidah pemuda pergerakan, serta sebagai pencatat fakta sejarah.
1 Januari 1907, ketika seorang ningrat bernama Raden Mas Tirtoadisuryo, pertama kali menerbitkan “Medan Prijaji”. Surat kabar terbitan Bandung yang merupakan media massa pertama kala itu yang menyuarakan “kita” Bangsa Indonesia. Untuk menghormati jasanya, Raden Mas Tirto Adisuryo kemudian dikukuhkan sebagai bapak pejuang pers nasional. Di luar negeri, tepatnya di negeri Belanda, Ki Hajar Dewantara yang diasingkan karena menulis “Andai Aku Anak Belanda”, mendirikan Indonesische Persbureau di Den Haag pada 1913. Melalui terbitan di pengasingan inilah, ia semakin berani menentang kolonialisme Belanda.
Beberapa tahun berikut, 1921 seorang pemikir anti-kolonial yang cemerlang bernama Mohammad Hatta berangkat ke Belanda. Di Rotterdam, kota tempatnya melanjutkan studi, ia kemudian dipercaya memimpin Perhimpunan Indonesia (organisasi pergerakan yang berpusat di Belanda). Tulisan-tulisan Hatta kemudian banyak bersebaran di koran-koran pergerakan; Jong Sumatra, Indonesia Merdeka, Daulat Rakjat, Neratja dan Utusan Indonesia misalnya.
Pergerakan di luar negeri sedikit berbeda dengan pergerakan di Hindia Belanda (sebelum bernama Indonesia). Krisis ekonomi akibat kecamuk perang dunia pertama 1914 – 1918, semakin memperparah kehidupan rakyat jajahan, akhirnya pada 21 Januari 1922, terjadi aksi mogok para buruh di Semarang yg dipicu oleh kenaikan harga-harga barang dan menurunnya upah buruh. Momentum tersebut di manfaatkan oleh Samaun, Alimin, Darsono dkk. Tokoh-tokoh Syarikat Islam beraliran marxis itu mulai melancarkan propaganda melalui biro pers. Aksi mogok buruh di Semarang, pada akhirnya tersiar dan terdengar oleh Tan Malaka. Dua hari berikutnya atau setelah mogok itu terjadi, yaitu pada 23 Januari 1922 Tan Malaka memberi kritik keras seperti yang dikutip dari surat kabar Sinar Hindia. Dengan tegas ia menyatakan;
“Orang-orang Belanda yang datang di sini, meskipun di sana mereka hanya menjadi tukang menggosok sepatu saja, di sini juga tidak suka mengangkat barang sedikit saja. Jika mengangkat barang yang berat, minta pertolongan jongos, babu, koki. Begitupun nyonya-nyonya besarnya, anak-anaknya yang masih kecil juga telah dididik panggil jongos, babu, koki. Boleh jadi anak masih dalam kandungan telah dididik adat itu,” tulis Tan Malaka (Sinar Hinda,1922).
Buntut dari tulisan tersebut, di tahun yang sama, Tan Malaka kemudian diasingkan ke Amsterdam atas tuduhan memprovokasi kaum buruh. Menyusul Bung Hatta dan Ki Hajar yang sebelumnya lebih dulu ke Belanda. Pola gerak Tan Malaka memang tidak seperti tokoh lain, sosok yang terkenal misterius ini di kemudian hari menjadi buronan internasional, tidak hanya Belanda, juga negara-negara lain.
Walau raganya misterius, “penanya” tetap tajam, hampir tiap minggu di koran-koran Hindia Belanda maupun negara lain, ia terus menyuarakan anti-kolonialisme. Saat itu, orang tidak membicarakan koruptor atau politisi partai yang buron. Di mimbar-mimbar dan diskusi-diskusi, orang ramai membahas sosok Tan Malaka sebagai buron pejuang. Buronan yang sedang berjuang bagi tanah airnya, namanya di sebut di seantero negeri.
Waktu itu, stok tokoh nasional seperti tiada habisnya. Di tanah air, juga ada “putra sang fajar” yang tak kalah garang, Soekarno, tokoh pemimpin pemuda pergerakan yang dipastikan menjadi incaran berikutnya. Berbagai pamflet dan selebaran serta terbitan-terbitan di tanah air ramai oleh propaganda Soekarno, rencana di digul-kan (diasingkan) pun seperti tinggal menunggu waktu. Soekarno muda tumbuh dengan menghayati perjuangan organisasi pergerakan-pergerakan rakyat. Mulai dari Budi Utomo (1908), Muhammadiyah (1912), Syarikat Islam (1912), ESDV (1914), Taman Siswa (1920) hingga Partai Komunis Indonesia (1926), dimana kemudian ia pun tampil memimpin PNI.
Soekarno seperti berusaha mencari cara untuk mempersatukan organisasi pergerakan yang terbelah dengan ideologi yang berbeda-beda. Tulisan yang bertajuk “Nasionalisme, Islamisme, Marxisme (Nasismar)” pada 1926, menggambarkan cita-cita Sukarno akan persatuan. Tulisan tersebut terbit melalui biro pers Suluh Indonesia Muda. Melalui tulisannya dapat kita telusuri bahwa ia memang menghendaki persatuan Indonesia. Ia terus berjuang mempersatukan ideologi-ideologi yang menurutnya berpengaruh di Asia. Hingga bertahun berikutnya ia berhasil menggali formula persatuan yang kini kita kenal dengan Pancasila.
“Akan berhasil atau tidaknya kita menjalankan kewajiban yang seberat dan semulia itu, bukanlah kita yang menentukan. Akan tetapi, kita tidak boleh putus-putus berdaya-upaya, tidak boleh habis-habis ikhtiar menjalankan kewajiban ikut mempersatukan gelombang-gelombang tahadi itu! Sebab kita yakin, bahwa persatuanlah yang kelak kemudian hari membawa kita ke arah terkabulnya impian kita, Indonesia-Merdeka!,” tulis Soekarno dalam Suluh Indonesia Muda, 1926.
Setelah tulisan “nasismar” yang terbit 1926 bersamaan dengan berdirinya PNI, Soekarno lalu dianggap berbahaya oleh otoritas Belanda. Pada akhir desember tahun 1929 ia ditangkap akibat pemikiran dan pergerakannya yang dianggap mengganggu penguasa. Ia pun dijebloskan ke penjara Banceuy di Bandung, tidak di digul-kan, tidak juga diasingkan ke Belanda seperti halnya Ki Hajar, Mohammad Hatta dan Tan Malaka. Setelah setahun menunggu sidang pengadilan Hindia Belanda, ia pun menyampaikan pledoi di Gedung Landraad dengan pidato puluhan lembar, yang ia beri judul “Indonesia Menggugat”. Pidato yang terbit dan dicetak berulang-ulang hingga saat ini.
Di pengadilan, di atas mimbar keadilan ia mengurai secara utuh model kolonalisme dan imperialisme barat. Menurutnya, Indonesia sedang mencari “isme-nya” sendiri dan melepaskan diri dari belenggu keterjajahan. Melalui naskah pledoi tersebut, alih-alih ia membela diri, mimbar pengadilan justru dijadikannya sebagai panggung perlawanan politik.
Peran pers waktu itu sepertinya sulit untuk dicari relevansinya dengan situasi kekinian. Pers yang lahir sebagai sarana perlawanan masa itu hadir menampilkan para pemimpin pergerakan di kancah nasional. Meskipun di pihak lain terdapat juga pers yang cenderung mempromosikan kemuliaan penguasa. Terbitan pidato-pidato Soekarno, brosur-brosur Tan Malaka, tulisan Hatta, koran hingga naskah drama dan karya sastra semua ditampilkan dalam nuansa perjuangan revolusi Indonesia. Lantas, bagaimana keadaan pers hari ini? Lalu bagaimana keadaan pergerakan hari ini?
Yang bisa kita petik dari riwayat perjuangan pergerakan adalah, betapa para tokoh pergerakan berbagi tugas, baik secara sadar maupun tidak, direncanakan atau tidak direncanakan. Mohammad Hatta, Sutan Syahrir dan lainnya berjuang di luar negeri membangun jejaring internasional, Soekarno di dalam negeri mempersatukan rakyat yang ribuan tahun berkhidmat kepada kesultanan-kesultanan dan Tan malaka yang berbaris bersama rakyat, buruh-tani dan laskar-laskar juang. Menggerakkan indoktrinasi dan propaaksi (aksi mogok, boikot dan blokade). Kombinasi yang luar biasa antara para tokoh pergerakan, saling melengkapi meski berbeda pandangan, irisannya masih tetap sama, yaitu kemerdekaan. Pers pun tumbuh menjadi senjata perjuangan yang efektif, yang benar-benar tidak disia-siakan oleh para pemimpin pergerakan, mengingat kondisi geografis yang terpisah-pisah dan solidaritas yang masih kedaerahan.
Andai pers tidak turut serta dalam revolusi, boleh jadi informasi tentang Hirosima dan Nagasaki yang di bombardir Amerika Serikat tentu tidak diketahui oleh kaum pergerakan, untuk kemudian berhitung dan mengkonsolidasi diri guna mendorong proklamasi kemerdekaan. Jika tidak ada radio misalnya, maka mungkin yang merdeka hanya Jalan Pegangsaan Timur No. 56 dan sekitarnya, bukan segenap Bangsa Indonesia.
Insan pers pada dasarnya adalah bagian dari kaum pergerakan yang berfungsi menjaga akal sehat publik. Pers mencatat dan menyajikan informasi untuk pergerakan, juga menginformasikan keadaan rakyat dan perkembangan pergerakan ke seluruh penjuru negeri. Pers berperan mengontrol arah kebijakan penguasa agar tetap berpihak pada terangkatnya harkat dan martabat rakyat demi terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Semoga melalui momentum kemerdekaan ini, insan pers tanah air benar-benar merdeka dan selalu berada pada porosnya, yaitu sebagai pembuluh darah rakyat, sementara kepada mereka yang saat ini sedang tersesat menjadi public relation oligarki, semoga segera kembali kepada khitah-nya.