Namun, pemanfaatannya harus diiringi dengan pengelolaan yang berkelanjutan, regulasi yang jelas, serta edukasi bagi masyarakat pesisir agar tidak menimbulkan dampak negatif jangka panjang. Pemerintah dan pemangku kepentingan perlu mendorong tata kelola rumpon berbasis data, keadilan sosial dan konservasi ekosistem laut.
Terlepas daripada itu, krisis iklim juga memperburuk situasi. Perubahan musim, cuaca ekstrem, dan pencemaran laut mengganggu siklus tangkap. Padahal, nelayan tradisional punya pengetahuan ekologis yang telah teruji lintas generasi. Sayangnya, pengetahuan ini jarang diakui dalam perumusan kebijakan kelautan.
Hal ini menunjukkan bahwa meskipun berbasis pada praktik sederhana, sektor ini tetap mampu menghasilkan output ekonomi yang signifikan. Bahkan, berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS), sektor perikanan menyumbang sekitar 12,4% terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).
Lebih dari sekadar angka, pertumbuhan ini membawa dampak nyata bagi kesejahteraan masyarakat. Rumah tangga nelayan di Desa Saria mulai mengalami peningkatan pendapatan, terutama setelah pengembangan usaha mikro seperti pengolahan hasil laut dan budidaya rumput laut.
Desa nelayan seharusnya tidak sekadar dipandang sebagai penghasil ikan, tetapi sebagai simpul strategis maritim lokal: pusat distribusi hasil laut, ruang produksi pangan, bahkan destinasi wisata berbasis komunitas.
Dikutip dari pendapat Prof. Rokhmin Dahuri, pakar kelautan dari IPB University, “Pembangunan sektor kelautan harus berbasis pada pemberdayaan masyarakat pesisir agar tercipta kemandirian dan distribusi ekonomi yang adil.” Konsep ini tercermin jelas di desa Saria, di mana nelayan tidak lagi bergantung sepenuhnya pada subsidi atau bantuan pemerintah daerah.
Dalam sebuah dialog interaktif penulis dengan seorang pendamping dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Masyarakat dan Perikanan Indonesia (MDPI) yang biasa saya sapa Kak Uni.
Menurutnya, keterbatasan fasilitas pendukung masyarakat nelayan Saria adalah tidak tersedianya sarana seperti pabrik es batu untuk menjamin kualitas hasil tangkapan dari nelayan. Pada sisi yang lain, masyarakat nelayan Saria terkadang kesusahan dalam mendapatkan Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Minyak Tanah, sehingga menjadi salah satu indikator para kelompok nelayan harus melakukan operasi penangkapan ikan dengan jangkauan wilayah yang jauh.
Dalam konteks pembangunan daerah, desa Saria memberikan pelajaran penting bahwa pertumbuhan tidak harus bersandar pada infrastruktur megah atau intervensi besar-besaran dari pemerintah.
Jika dirancang dengan visi inklusif oleh Pemerintah Daerah, desa nelayan seperti di Saria bisa menjadi poros maritim yang memperkuat kedaulatan laut dari pinggiran. Seperti kelurahan Tomalou yang ada di Kota Tidore Kepulauan, negeri yang makmur dan memiliki potensi Sumberdaya Alam pada sektor Perikanan dan Kelautan yang mampu dikelola dengan baik dan maksimal.
Meskipun demikian, ulasan yang objektif mengharuskan kita mengakui bahwa tantangan struktural masih besar. Akses terhadap modal usaha yang terbatas, rendahnya literasi keuangan dan pasar, serta ketiadaan fasilitas pelabuhan yang memadai masih menjadi hambatan nyata.