Oleh:
Gusti Ramli (Ketua Umum SEMAHABAR Ternate)
Desa nelayan bukan hanya lanskap romantik tentang perahu kayu dan jaring tua. Ia adalah denyut kehidupan pesisir yang memadukan kearifan lokal, ekonomi rakyat, hingga identitas budaya maritim. Sayangnya, dalam narasi besar pembangunan nasional, desa nelayan kerap menjadi kaki-kaki yang dilupakan dari tubuh Indonesia sebagai negara kepulauan.
Di tengah gempuran modernisasi, banyak desa nelayan berhadapan dengan dilema: mempertahankan tradisi atau mengikuti arus perubahan. Teknologi tangkap dan digitalisasi pasar memang menawarkan efisiensi, tetapi juga memicu ketimpangan.
Nelayan kecil sulit bersaing dengan kapal-kapal industri dan korporasi perikanan yang menguasai akses logistik dan pasar.
Lebih dari itu, desa nelayan menyimpan peran vital dalam mewujudkan ketahanan pangan nasional. Laut menyediakan lebih dari 50% kebutuhan protein hewani bagi masyarakat Indonesia.
Sayangnya, kebijakan masih cenderung eksploitatif dan sentralistik, dengan minimnya keberpihakan terhadap nelayan tradisional.
Hal serupa terjadi di desa Saria, sebuah desa pesisir di wilayah Halmahera, menyimpan potensi besar dalam sektor perikanan dan kelautan. Laut yang membentang luas, berlimpahnya sumber daya ikan, serta tradisi melaut yang telah berlangsung turun-temurun, menjadikan desa ini sangat bergantung pada laut sebagai sumber ekonomi utama.
Saria kadang dikenal dengan lumbung ikan di Halmahera Barat itu, sesuai hasil penangkapan yang tercatat mendekati angka 20 hingga 25 ton per Bulan.
Jangan heran jika anak dengan usia yang masih remaja seringkali harus melaut, bukan hanya sekadar nominal rupiah yang didapat setiap harinya. Namun, kebiasaan melaut sudah terpatri di dalam diri pemuda Saria.
Perahu yang digunakan nelayan Saria untuk aktivitas melaut disebut ‘Giop’, giop sendiri bagi kami bukan sekadar sarana operasional melaut, giop memiliki keterkaitan akademis yang memiliki kepanjangan Gerakan Inovasi Pemuda (GIOP).
Selain itu, seiring berkembangnya zaman dan lajunya teknologi. Bentuk giop yang dulunya hanya bisa menampung beberapa orang dengan kapasitas muatan yang sedikit, kini berubah ukuran menjadi lebih besar dan mampu menampung hasil tangkapan dengan jumlah yang berkisar 5 sampai 7 ton sekali melaut.
Selain giop sebagai sarana utama nelayan dalam melakukan aktivitasnya, ada juga sarana pendukung yaitu Rumpon, biasanya nelayan Saria menyebutnya ‘Rompong’.
Rumpon/rompong merupakan alat bantu penangkapan ikan yang berfungsi sebagai alat pemikat ikan (fish aggregating device/FAD). Biasanya, rumpon dipasang di laut dengan sistem pelampung yang terhubung ke jangkar dasar laut. Di bawah pelampung itu digantungkan tali-tali yang menyerupai akar atau rumput laut untuk menciptakan tempat berlindung dan berkumpulnya ikan.
Rumpon sangat membantu nelayan mengurangi waktu dan bahan bakar yang dibutuhkan untuk mencari ikan. Ikan pelagis seperti tuna, tongkol, dan cakalang biasanya tertarik pada rumpon karena menyerupai habitat alami mereka.
Dengan konsentrasi ikan di sekitar rumpon, hasil tangkapan nelayan cenderung meningkat. Ini penting bagi nelayan skala kecil yang sangat bergantung pada hasil harian. Rumpon juga membantu menciptakan wilayah-wilayah penangkapan ikan yang lebih terlokalisasi, memungkinkan pengelolaan sumber daya laut secara lebih sistematis.