Regime of Dispossession: Ironi Tambang di Tanah Halmahera

Untuk mendalami lebih jauh mengenai dampak lingkungan dan sosial dari pertambangan nikel di Halmahera. Pembaca dapat mengakses laporan-laporan mendalam yang telah diterbitkan oleh banyak media dan lembaga penelitian.

Relasi Negara dan Tambang

Pertanyaan mendasar yang kemudian muncul adalah: Apakah membela tanah, hutan, dan sumber kehidupan dari eksploitasi industri dapat dianggap sebagai tindakan kriminal?

Dalam konteks pertambangan di Halmahera, negara justru tidak hadir untuk melindungi hak-hak masyarakat terdampak. Sebaliknya, negara kerap tampil sebagai aktor yang membingkai konflik ini dalam narasi “menjaga iklim investasi”, Seolah pertumbuhan ekonomi dan kepastian usaha merupakan prioritas yang lebih tinggi daripada keselamatan ekologis dan keadilan sosial.

Michael James Levien dalam disertasinya mengenalkan sebuah konsep yang disebut sebagai regime of dispossession. Konsep tersebut memiliki dua komponen utama yaitu: Pertama, a state willing to dispossess in pursuit of specific economic goals aligned with particular class interests. Kedua, mechanism for securing compliance with this dispossession.

Dua komponen utama dari konsep regime of dispossession dapat digunakan untuk membaca relasi antara negara dan industri tambang di Halmahera. Komponen pertama menyoroti peran aktif negara dalam proses perampasan, bukan hanya sebagai pemberi izin, tetapi sebagai perancang sistem yang memungkinkan ekspansi industri ekstraktif. Negara tidak bersikap netral dalam relasi ini, melainkan membentuk kerangka hukum dan kebijakan yang berpihak pada kepentingan akumulasi modal.

Peran ini tercermin secara konkret dalam berbagai regulasi dan kebijakan tata ruang yang memberi keleluasaan kepada perusahaan tambang besar. Negara tidak hanya menyediakan izin eksploitasi, tetapi juga mendukung pembangunan infrastruktur yang menunjang operasi perusahaan. Akibatnya, wilayah-wilayah yang dihuni oleh masyarakat adat dan lokal menjadi sasaran ekspansi industri tanpa proses persetujuan yang memadai dan minim perlindungan terhadap hak-hak ekologis dan sosial masyarakat setempat.

BACA JUGA   Ternate Butuh Pemimpin yang Mampu Manfaatkan “FOMO” Olahraga untuk Pembangunan Daerah

Komponen kedua dari konsep ini menyoroti bagaimana negara menjamin kepatuhan terhadap proses perampasan melalui pendekatan represif. Hal ini tampak dari pengerahan aparat keamanan untuk membubarkan aksi protes warga yang menolak tambang. Tindakan ini mencerminkan bagaimana kekuasaan negara dijalankan secara koersif untuk melindungi kepentingan industri, sekaligus membungkam perlawanan yang muncul dari masyarakat terdampak.

Selain represi, negara juga menggunakan pendekatan hegemonik dengan membentuk narasi pembangunan yang menyingkirkan suara-suara kritis. Penolakan terhadap tambang seringkali distigma sebagai bentuk anti-pembangunan atau penghambat pertumbuhan ekonomi nasional. Padahal, masyarakat yang menolak proyek tambang justru tengah memperjuangkan ruang hidup mereka dari ancaman kerusakan ekologis, yang secara ilmiah telah terbukti merugikan keberlanjutan lingkungan dan kehidupan sosial komunitas lokal.

Just a moment...