Regime of Dispossession: Ironi Tambang di Tanah Halmahera

Namun, saat rombongan warga berupaya melanjutkan aksinya, mereka dihadang oleh puluhan personel Polres Halmahera Timur yang dibantu oleh 20 hingga 30 anggota Brimob. Ketegangan antara warga dan aparat kepolisian kemudian memuncak, dan pada sekitar pukul 16.00 WIT, petugas Brimob melepaskan gas air mata sebanyak sepuluh kali ke arah kerumunan tanpa memberikan peringatan terlebih dahulu.

Saat menelaah berbagai pemberitaan tersebut, saya teringat pada sebuah kisah yang ditulis oleh Chomsky. Dalam cerita itu, Santo Agustinus menceritakan tentang seorang bajak laut yang ditangkap oleh Alexander Agung. Sang Kaisar kemudian mengajukan pertanyaan, “Kenapa kamu mengganggu keamanan di perairan ini?”

Bajak laut yang marah membalas pertanyaan itu dengan pertanyaan serupa, “Lalu kenapa kamu justru mengganggu keamanan di seluruh dunia? Hanya karena menyerang dengan kapal kecil, saya disebut pencuri; sementara kamu, yang mengobarkan perang dengan armada laut yang hebat, disebut sebagai Kaisar.”

Cerita tentang bajak laut yang ditangkap oleh Alexander Agung, sebagaimana disampaikan oleh Santo Agustinus dan dikutip oleh Noam Chomsky dalam konteks perbincangan tentang terorisme, menyimpan kritik tajam terhadap standar ganda kekuasaan.

Dalam konteks konflik pertambangan di Halmahera Timur, kisah tersebut menjadi cermin bagi ketegangan antara warga lokal dan korporasi besar, serta negara yang mendukungnya. Warga adat yang menolak aktivitas tambang yang merusak tanah dan hutan adat mereka seringkali dianggap sebagai pengganggu atau bahkan kriminal, layaknya sang bajak laut.

Mereka dituduh menghalangi ‘keamanan’ dan ‘kemajuan’ yang dibawa oleh perusahaan tambang. Namun, perusahaan dengan dukungan negara yang memiliki kekuatan besar justru yang menjalankan eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya alam, mengabaikan hak dan kelestarian lingkungan masyarakat setempat.

BACA JUGA   Isi Kekosongan Anggota Panwaslu di Lima Kecamatan, Bawaslu Kota Tidore Gelar Tes CAT

Krisis Ekologi

Kerusakan lingkungan akibat aktivitas pertambangan bukan lagi isu spekulatif—ia adalah kenyataan yang dapat diverifikasi dan telah dibuktikan oleh berbagai penelitian dan laporan jurnalistik. Dampak ekologis yang ditimbulkan, terutama pencemaran logam berat, telah menjadi ancaman nyata bagi ekosistem laut dan kesehatan masyarakat setempat.

Sejumlah temuan menunjukkan bahwa pencemaran yang terjadi bukan hanya bersifat lokal, melainkan sistemik dan melibatkan degradasi lingkungan dalam skala luas yang berlangsung terus-menerus. Sebagai contoh, di Teluk Weda dan Teluk Buli, kandungan kromium heksavalen, nikel, dan tembaga dalam air laut ditemukan jauh melampaui ambang batas yang ditetapkan dalam regulasi nasional. Perubahan warna air menjadi kecoklatan dan munculnya endapan sedimen tebal di kawasan hutan bakau menandakan rusaknya ekosistem pesisir.

Penelitian lebih lanjut oleh Nexus3 Foundation dan Universitas Tadulako bahkan menunjukkan bahwa logam berat seperti merkuri dan arsenik telah masuk ke rantai makanan—terbukti dari kandungan logam tersebut yang ditemukan dalam ikan dan darah warga. Tak hanya itu, studi Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) mengungkapkan bahwa ekspansi tambang telah meminggirkan warga dari mata pencaharian tradisional mereka, memperburuk kondisi kesehatan akibat polusi udara, dan mengganggu tatanan sosial desa.

Just a moment...