Oleh:

Abd. Wahab A. Rahim (Pembelajar Sosiologi)

Apakah membela tanah, hutan, dan sumber kehidupan dari eksploitasi industri dapat dianggap sebagai tindakan kriminal?

Pada pertengahan April 2025, masyarakat Maba di Halmahera Timur turun ke jalan dalam aksi protes selama dua hari. Mereka menyuarakan penolakan keras terhadap aktivitas pertambangan PT Position yang dianggap telah menyerobot lahan perkebunan warga serta merusak kawasan hutan adat yang selama ini menjadi ruang hidup bagi masyarakat setempat.

Menanggapi aksi tersebut, Polda Maluku Utara kemudian menetapkan 11 warga Maba Sangaji sebagai tersangka terkait unjuk rasa penolakan operasi tambang PT Position yang berlangsung pada 16-17 April 2025. Penetapan ini dilakukan setelah aparat melakukan penyelidikan terhadap 27 orang yang ditangkap dalam penangkapan massal pada Minggu, 17 Mei 2025.

Kepala Bidang Humas Polda Maluku Utara, Komisaris Besar Bambang Suharyono, menyatakan bahwa 11 warga tersebut diduga melakukan tindakan premanisme yang mengganggu ketertiban masyarakat, serta membawa senjata tajam selama aksi berlangsung. Aparat menyebut tindakan warga sebagai bentuk premanisme.

Padahal, warga yang dituduh melakukan tindakan “premanisme” merupakan petani yang sehari-harinya bergantung pada lahan dan hutan untuk bertani dan berkebun. Masyarakat agraris seperti di Halmahera, membawa alat tajam seperti parang, bukanlah tindakan luar biasa, apalagi bermaksud mengancam. Alat-alat tersebut adalah bagian dari kelengkapan kerja harian yang wajar dimiliki oleh petani untuk membuka lahan, memanen hasil kebun, atau sekadar membersihkan semak.

Menyematkan label “premanisme” hanya karena keberadaan alat-alat tersebut adalah bentuk penyederhanaan yang mengabaikan realitas sosial-ekonomi masyarakat setempat. Tuduhan tersebut tidak hanya mencederai nalar keadilan, tetapi juga menutup ruang bagi pemahaman yang lebih substansial terhadap konteks konflik.

BACA JUGA   Pekerja Berkualitas Untuk Perekonomian Maluku Utara

Warga yang dituding justru tengah memperjuangkan ruang hidup mereka yang terancam oleh ekspansi tambang, dan kehadiran mereka dalam aksi adalah bentuk ekspresi penolakan atas ketidakadilan struktural, bukan tindakan kriminal. Maka, ketimbang mempersoalkan alat kerja petani sebagai senjata, seharusnya negara lebih jujur dan terbuka dalam menanggapi substansi tuntutan masyarakat.

Ketika menelursui berbagai pemberitaan dan unggahan di media sosial mengenai persoalan pertambangan di Halmahera Timur, perlu diperhatikan bahwa konflik tidak hanya melibatkan PT Position. Salah satu peristiwa penting terjadi pada 28 April 2025, ketika sekitar 300 warga dari Desa Wayamli dan Yawanli, Kecamatan Maba Tengah, mengadakan aksi berjalan kaki menuju kantor perwakilan PT Sambaki Tambang Sentosa (STS) yang berlokasi di Desa Baburino, Maba.

Masyarakat tersebut menggelar unjuk rasa untuk menuntut penghentian aktivitas penambangan nikel yang dilakukan PT STS di wilayah tanah adat mereka. Aktivitas pertambangan ini dianggap telah menyebabkan kerusakan lingkungan yang signifikan, sehingga warga juga menuntut pemulihan hak-hak mereka yang dirugikan oleh operasi perusahaan tersebut.