Selain itu, penulisan ini dikaji juga dari prespektif clientelisme sebagaimana dijelaskan oleh Abente Brun dan Diamond (2014), dalam sistem ini juga masih sangat relevan, kebijakan publik dijalankan berdasarkan hubungan timbal balik antara patron dan klien “pengusaha memberikan dukungan politik atau logistik, dan negara membalas dengan akses terhadap sumber daya.” Rakyat, terutama masyarakat adat, didegradasi menjadi penonton yang hanya bisa berharap pada belas kasih elite.
Di Papua, masyarakat adat yang hidup secara turun-temurun di sekitar Pulau Gag seolah tidak dianggap sebagai pemilik sah ruang hidup mereka. Mereka tidak dilibatkan secara penuh dalam proses perizinan, tidak mendapatkan jaminan ekologis, dan lebih sering menjadi korban dari klaim pembangunan. Ini bukan sekadar pengabaian, melainkan perampasan hak secara struktural.
Inilah bentuk krisis demokrasi yang mendalam—ketika representasi politik dibajak oleh kekuatan modal, dan suara masyarakat adat dipinggirkan oleh relasi patronase. Demokrasi menjadi prosedural belaka, tanpa substansi partisipasi dan keadilan sosial.
Lalu bagaimana kita bisa membongkar kepalsuan dan membangun jalan keluar?
Pada dasarnya, krisis ini tidak akan selesai dengan pencitraan semu atau retorika lingkungan yang kosong. Yang dibutuhkan adalah keberanian untuk membongkar struktur negara bayangan yang menyandera kebijakan publik. Untuk itu, evaluasi terhadap seluruh izin tambang di kawasan sensitif ekologis harus dilakukan secara menyeluruh, transparan, dan partisipatif—terutama dengan melibatkan masyarakat adat sebagai subjek, bukan objek.
Kebijakan sumber daya alam harus kembali pada prinsip keadilan ekologis, keberlanjutan jangka panjang, dan penghormatan terhadap hak kolektif warga. Tanpa ini, setiap langkah yang tampak hijau hanya akan menjadi daur ulang dari kekuasaan lama yang berwajah baru.
Kasus Raja Ampat adalah cermin dari penyakit lama yang belum sembuh “selektivitas kekuasaan, dominasi modal, dan pengabaian terhadap masyarakat lokal.” Jika negara ingin menyelamatkan wajahnya di mata publik, ia harus membuktikan bahwa hukum berlaku untuk semua, dan bahwa lingkungan bukan hanya alat retoris, tetapi komitmen yang dijalankan tanpa kompromi.
Tanpa itu, kita tidak sedang menuju keadilan ekologis—kita sedang berjalan mundur, kembali ke masa ketika kekuasaan lebih peduli pada kekayaan daripada kehidupan.