Oleh:

Mochdar Soleman, S.IP., M.Si (Pengamat Politik Lingkungan, Universitas Nasional)

Raja Ampat adalah simbol keindahan dan kekayaan hayati laut Indonesia. Terletak di ujung barat Papua, wilayah ini dikenal sebagai pusat keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia, rumah bagi lebih dari 1.500 spesies ikan dan lebih dari 600 jenis karang. Namun, keindahan ini kini berada di ujung tanduk akibat rencana dan praktik penambangan nikel di wilayah tersebut.

Penambangan ini bertentangan langsung dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Dalam Pasal 35A, secara tegas dinyatakan bahwa pulau kecil dengan luas kurang dari 2.000 kilometer persegi tidak boleh digunakan untuk kegiatan pertambangan. Dengan kata lain, aktivitas tambang nikel di Raja Ampat tidak hanya merusak secara ekologis, tetapi juga melanggar hukum.

Namun, hukum tidak selalu menjadi panglima. Dalam praktiknya, kekuatan investasi, kepentingan politik, dan logika ekonomi ekstraktif kerap menyingkirkan asas legalitas dan keberlanjutan. Ini menunjukkan apa yang disebut para akademisi sebagai ekologi politik—suatu pendekatan yang memahami persoalan lingkungan sebagai persoalan kekuasaan dan ketimpangan. Negara dan korporasi kerap berselingkuh atas nama pembangunan, sementara masyarakat lokal dikesampingkan dari ruang pengambilan keputusan.

Di Raja Ampat, masyarakat adat hidup dalam hubungan yang sangat bergantung pada laut dan hutan. Penambangan nikel, yang membawa deforestasi, sedimentasi laut, dan kerusakan terumbu karang, mengancam sumber kehidupan mereka. Kerugian ekologis dan sosial ini akan jauh lebih besar daripada manfaat ekonomis jangka pendek yang dijanjikan.

Lebih jauh, pendekatan pembangunan semacam ini mencerminkan warisan ekonomi-politik era Orde Baru: pertumbuhan ekonomi dikejar tanpa mempertimbangkan daya dukung lingkungan dan keadilan sosial. Padahal, reformasi seharusnya membawa arah baru pembangunan Indonesia—yang lebih adil, partisipatif, dan berkelanjutan.

BACA JUGA   Kemuliaan Al-Quran dan Kisah Izzah

Alih-alih memperluas tambang, sudah saatnya pemerintah memberlakukan moratorium permanen terhadap segala bentuk aktivitas tambang di pulau-pulau kecil seperti Raja Ampat. Pemerintah juga perlu memperkuat posisi masyarakat adat dalam tata kelola sumber daya alam serta mendorong pengembangan ekowisata berbasis komunitas sebagai alternatif pembangunan yang lestari.

Raja Ampat bukan hanya milik hari ini. Ia adalah warisan generasi mendatang. Keindahan dan kekayaannya tidak terletak di dalam tanah yang ingin ditambang, tetapi pada lautnya yang jernih, masyarakatnya yang bijak, dan keseimbangan ekologis yang rapuh namun berharga. Pulau kecil itu tidak dibuat untuk ditambang. Ia dibuat untuk dijaga.