Negara, yang seharusnya menjadi penyeimbang kepentingan publik, justru terperangkap dalam logika akumulasi kapital. Akibatnya, konflik ekologis tak lagi sekadar soal tambang, tapi juga krisis keadilan dan demokrasi di akar rumput.

Simbiotik Korporat-Elit Lokal

Relasi simbiotik antara korporasi tambang dan elite lokal di Maluku Utara kian kasatmata. Dimana hubungan antara pejabat daerah dan industri tambang bukan sekadar spekulasi. Transparency International Indonesia (2024) mengungkap pola korupsi multidimensi dalam industri nikel, melibatkan aparat desa hingga elite nasional. Legalitas menjadi instrumen legitimasi ekspansi, bukan mekanisme keadilan.

Ketika kita melihat dalam konteks Maluku Utara, hal ini menunjukkan pemerintah daerah sering menjadi mitra strategis korporasi yang memuluskan izin, bukan sebagai pengawas dimana izin tambang diterbitkan tanpa kajian lingkungan yang memadai, sanksi administratif diabaikan, meminimalkan sanksi, dan mengendalikan narasi publik.

Hasilnya, penegakan hukum terhadap pelanggaran lingkungan yang dilakukan perusahaan jarang tersentuh juga bersifat selektif, sementara kriminalisasi warga berjalan cepat, dimana perlawanan warga segera dijerat pasal. Simbiosis ini menciptakan lingkaran kekuasaan yang menguntungkan segelintir pihak, namun mengorbankan ruang hidup masyarakat.

Dalam iklim seperti ini, demokrasi lokal tereduksi menjadi transaksi, dan regulasi lingkungan kehilangan makna sebagai instrumen keadilan. Muncul pertanyaan sampai kapan kita membiarkan hukum tunduk pada aliansi modal dan kekuasaan?

DOB dan Ekspansi Korporasi

Wacana pemekaran Daerah Otonomi Baru (DOB) Sofifi, yang digaungkan Gubernur Sherly Tjoanda—figur yang memiliki relasi ekonomi kuat dengan industri tambang—membawa implikasi serius.

DOB di Maluku Utara kerap dibingkai sebagai strategi pemerataan pembangunan. Namun, data perizinan menunjukkan korelasi mencolok antara pembentukan DOB dan lonjakan izin usaha pertambangan (IUP), terutama di sektor nikel.

Setelah pemekaran Halmahera Tengah dan Halmahera Timur, misalnya, luas konsesi tambang meningkat signifikan, menggerus kawasan hutan dan meminggirkan ruang hidup masyarakat adat.

BACA JUGA   GOT: Sepak Bola dan Keakraban Sosial

DOB membuka akses politik baru bagi korporasi melalui elit lokal yang lebih mudah dilobi dibanding struktur provinsi induk. Proses legislasi DOB di tingkat pusat pun sarat kompromi politik yang mengabaikan analisis daya dukung lingkungan.

Akibatnya, DOB bukan sekadar entitas administratif, melainkan pintu masuk sistematis bagi ekspansi ekstraktif. Fenomena ini memperlihatkan bagaimana politik teritorial menjadi instrumen kapitalisme sumber daya, di mana kepentingan warga kalah oleh kalkulasi keuntungan korporasi.

Sehingga pemekaran ini tampak lebih sebagai pembukaan koridor baru bagi eksploitasi SDA ketimbang memperluas partisipasi politik rakyat. Tanpa mekanisme pengawasan publik, DOB akan mempercepat penetrasi modal, memperluas wilayah konsesi, dan mengukuhkan dominasi korporasi.

Kolonialisme Legal di Abad Kini

Kasus Kali Sangaji mencerminkan bentuk baru kolonialisme legal secara administratif, namun brutal terhadap ekosistem dan masyarakat adat. Pertambangan ilegal bisa dilegalkan melalui revisi izin, sementara pembela lingkungan dikriminalisasi dengan pasal-pasal karet.