Kita tak perlu menunggu sejarah menuliskan penyesalan. Masih ada waktu untuk menoleh, untuk merangkul, untuk mendengar protes sunyi para petani. Malifut hanya satu dari banyak suara yang nyaris padam, menuntut keadilan bukan untuk kaya raya, tetapi agar hidupnya layak. Anak negeri berhak atas tanah yang diperjuangkan leluhurnya, berhak atas pendidikan bermutu, kesehatan yang memadai, dan pasar yang tidak menindas. Mereka berhak merawat rempah kebanggaan dengan martabat, bukan sekadar menadah belas kasih tengkulak atau sekotak program bantuan yang tak menyentuh akar masalah.
Harapan anak negeri ini mungkin seperti pelita kecil di ujung perkampungan. Nyaris padam, tapi tetap berkobar jika disirami perhatian tulus. Pemerintah kabupaten, kota, bahkan provinsi, mestinya menaruh telinga lebih dekat ke kampung-kampung ini, bukan sekadar mendengar laporan di meja rapat berpendingin udara.
Turunlah ke Malifut, rasakan debu jalannya, hirup aroma kopra yang terbakar, dengarkan protes yang tak sempat dilantangkan dengan pengeras suara. Di sana, di simpul-simpul kebun pala dan cengkeh, tertulis pesan anak negeri: kami ingin didengar, kami ingin dibantu, kami ingin dihargai.
Negeri ini terlalu luas untuk diurus dari kota semata. Jika ingin berdiri kokoh, ia harus menumbuhkan akar di desa-desa seperti Malifut. Harapan tidak boleh padam hanya karena malas menoleh. Pala, cengkeh, dan kopra bukan sekadar bahan baku ekspor, tetapi kebanggaan Nusantara, pusaka dunia, warisan budaya dan sejarah yang tak ternilai. Menjaga kampung berarti menjaga Indonesia.
Mungkin protes itu tak sekeras demonstrasi di depan gedung DPR, tetapi justru di sanalah kejujuran dan ketulusan terasa. Protes anak negeri yang diucapkan di bawah pohon kelapa, di beranda rumah kayu, di gubuk pengasapan kopra — jauh lebih tulus daripada retorika kampanye pembangunan.
Jika negeri ini masih mau menegakkan keadilan, maka dengarkan suara mereka, rangkul harapan mereka, biarkan aroma rempah dan kopra menjadi saksi keberpihakan yang nyata, bukan sekadar janji politik musiman.
Hari ini, Malifut berdiri di persimpangan. Di satu sisi, mimpi tentang kemajuan yang terus dijanjikan. Di sisi lain, realitas yang menampar setiap kali hujan merendam jalan rusak atau harga kopra merosot tanpa belas kasihan. Mereka, anak negeri di kampung ini, hanya ingin berjalan bersama, bukan tertinggal di belakang. Sebab mereka pun bagian dari merah putih, bagian dari republik, dan bagian dari cita-cita berkeadilan sosial yang tertulis jelas di pembukaan Undang-Undang Dasar.
Jika tidak sekarang didengar, kapan lagi? Jika bukan negeri ini yang menolong, siapa lagi? Aroma pala, cengkeh, dan kopra telah menembus ratusan tahun sejarah, mencatat kejayaan dan juga air mata. Jangan biarkan catatan itu berakhir dengan putus asa. Biarkan ia tetap harum, tetap kuat, menjadi suluh yang menuntun anak negeri untuk bangga berdiri di tanah sendiri.