Seperti pernah diingatkan oleh sastrawan besar Pramoedya Ananta Toer, “sebesar apa pun penderitaan rakyat kecil, ia akan tetap dipikul dengan diam, kecuali bila nurani kolektif tergugah.” Malifut hari ini mencerminkan kalimat itu. Aroma pala, cengkeh, dan getir kopra bukan hanya sekadar cerita komoditas, tetapi menjadi simbol luka dan ketahanan sebuah kampung yang tertatih.
Mereka bersuara di jalur paling sunyi, lewat keringat, lewat harga jatuh, lewat jalan rusak, yang jika diabaikan terus-menerus akan menjelma menjadi dendam sejarah. Persimpangan harapan yang mereka pijak bukan sekadar menanti pembangunan fisik, melainkan menanti pengakuan sebagai anak negeri, bagian sah dari cita-cita keadilan sosial. Protes mereka, meski sederhana, menagih janji konstitusi agar pembangunan menjemput pinggiran dan merawat akar.
Tak jarang orang bertanya: mengapa tetap bertahan di kampung terpencil, kalau kondisinya seberat itu? Bagi anak-anak Malifut, jawabnya sederhana: di sanalah mereka berpijak, di sanalah akar mereka. Aroma pala, cengkeh, dan kopra bukan sekadar komoditas, tetapi bagian dari jati diri, dari sejarah panjang perdagangan rempah Nusantara yang menghubungkan Malifut dengan dunia.
Jika mereka pergi, siapa yang akan merawat cerita itu? Siapa yang akan menjaga kebun, agar negeri ini tidak sepenuhnya bergantung pada pangan impor? Itulah sebabnya mereka bertahan, meski harapan kadang nyaris padam.
Pemerintah sering menepuk dada, mengaku membangun dari pinggiran. Namun Malifut membuktikan bahwa pembangunan di atas kertas belum tentu berakar di tanah. Janji program selalu datang, namun hanya sebentar hinggap, lalu hilang tertiup musim politik berikutnya. Sementara itu, petani menunggu perbaikan listrik, menanti pupuk subsidi yang layak, memohon harga yang stabil.
Mereka tidak minta lebih, hanya ingin diakui sebagai warga negara setara, sebagai anak negeri yang berhak mendapatkan fasilitas dasar dan perlindungan harga wajar. Jika itu masih terlalu sulit, maka jangan salahkan jika protes mereka terus tumbuh, diam-diam, seperti akar kelapa yang tak terlihat tapi kuat merusak fondasi ketidakadilan.
Di bawah terik matahari, petani menurunkan buah kelapa satu per satu, memecahnya, menjemur kopra di halaman seadanya. Bau asap kayu bakar meresap di sela pakaian, menempel di kulit, menua bersama keriput mereka. Anak-anak berlarian tanpa alas kaki, menyusuri jalan berlumpur, menjemput mimpi yang entah akan tersampaikan atau sekadar terhenti di pagar ketidakpedulian. Mereka adalah bagian dari bangsa ini, meski langkah mereka sering tersandung kebijakan yang tak berpihak.
Suara Malifut adalah suara puluhan desa lain yang senasib. Dari barat sampai timur, banyak kampung yang bergantung pada pala, cengkeh, dan kopra, namun tertatih oleh harga yang tak menentu, transportasi yang mahal, dan infrastruktur yang setengah jadi.
Bila negara sungguh ingin menegakkan keadilan sosial, kampung seperti Malifut harus menjadi prioritas, bukan sekadar catatan pinggiran. Jangan menunggu mereka meninggalkan kampung demi kota, lalu kita baru sadar bahwa lahan subur telah berubah menjadi semak belukar yang tak terurus.