Tidore,- Pernah beberapa kali bertemu, siang itu di Universitas Nuku Tidore, kami kembali berjumpa. Seusai diskusi yang digelar teman-teman pengurus HMI Cabang Tidore, saya berkesempatan mengenal lebih dalam Mashur Tomagola, seorang aktivis literasi di Maluku Utara.
Bermula dari ngobrol biasa seputar dunia pergerakan, diskusi berlanjut menjadi sebuah wawancara, kami sepakat berpindah ke lokasi yang lebih tenang. Pukul 15.00, sepeda motor kami pacu menuju markas Nuka; Clean Your Shoes, di Gamtufkange Tidore, Sabtu 4 September 2021.
Tiba di markas Nuka, diskusi kami lanjutkan, perlahan pengalaman demi pengalaman Mashur berhasil saya gali dari ingatannya. Mashur Tomagola adalah sosok yang enerjik dan selalu ceria, demikian kesan yang pertama saya tangkap sejak mengenalnya. Candaannya selalu “berisi”, tipikal seorang intelektual.
Ia adalah salah seorang pendiri perpustakaan NBCL (National Building Corner Library), sebuah perpustakaan di kelurahan Sasa, Kota Ternate. Bagi mereka yang sering ke kampus UMMU Ternate, tentu pernah melihat gedung unik di sebelah barat kampus, gedung dua lantai dengan arsitektur berbentuk Tuala Lipa –penutup kepala khas Ternate– adalah salah satu hasil perjuangan Mashur dan rekan-rekannya.

Aroma wangi mulai menyeruak, sejurus waktu kemudian beberapa gelas kopi hitam dengan endapan susu kental di dasarnya telah siap, kopi racikan Bos Nuka tersebut pun tersaji, diskusi sejenak berhenti, fokus kami teralih. Setelah seruput pertama, diskusi kami lanjutkan.
Kepada kami ia bercerita, bahwa gerakan literasi pertama ia kenal di Makassar sewaktu kuliah, langkahnya sebagai aktivis literasi bermula dengan mengikuti kajian filsafat dan pemikiran di komunitas Lentera (Lembaga Pengembangan Intelektual dan Kerisalahan), sebuah lembaga yang rutin melakukan kegiatan di kampusnya saat itu. Mashur mengaku, di Lentera ini lah, roh literasinya pertama kali disuntik. Berbagai aliran filsafat dan pemikiran ia pelajari di sini.
“Sejak semester satu saya terlibat dalam diskusi filsafat di komunitas Lentera, sajak itu saya juga sudah belajar soal pluralisme, baik dalam agama maupun pikiran, boleh dikatakan, di Lentera inilah awal mula Roh literasi itu disuntikkan ke saya,” cerita Mashur.
Selain rutin melakukan kajian dan membina para mahasiswa seperti dia dan teman-temannya, Lentera juga aktif mendorong kegiatan literasi ke masyarakat, salah satu kegiatan yang bagi Mashur memiliki kesan tersendiri adalah ketika ia terlibat menjadi relawan sekolah rakyat yang digagas oleh komunitas Lentera bersama yayasan Semesta, di sebuah pemukiman yang terkenal bronx di kota Makassar.
Tak beberapa lama ruangan yang tadinya sepi berubah jadi ramai. Mendengar kedatangan Mashur, beberapa teman pun datang, merapat ke markas Nuka. Oches, Founder GoodDaddy dan Aison, Founder Syukurdofu ikut bergabung. Setelah saling bertanya kabar, wawancara diteruskan.
Bersama Lentera, Mashur tumbuh dan berkembang menjadi seorang pegiat literasi yang aktif. Dua tahun menimba ilmu dan pengalaman di Lentera. Mashur kemudian terjun lebih dalam menjadi aktivis literasi, ketika masuk menjadi pengurus HMI Cabang Makassar.

Berada di iklim intelektual yang sama, baik di Lentera maupun HMI. Kemampuannya mengelola organisasi, mampu mengantar Mashur menjadi Sekertaris LAPMI (Lembaga Pers Mahasiswa Islam) HMI Cabang Makassar. Jabatannya di LAPMI mendorong Mashur untuk sering melakukan investigasi dan juga membangun jejaring gerakan literasi. Tahun 2005 ia juga menggagas berdirinya Sekolah Sosiologi Kritis di kampus UVRI dan terus konsisten di gerakan literasi, hingga kini.
Membangun Perpustakaan NBCL
Di tahun 2006, setelah menyelesaikan kuliahnya, Mashur kemudian kembali ke Ternate. Kondisi Ternate yang saat itu kekurangan buku bacaan, mendorong ia dan rekannya sesama alumnus makassar, Siti Gormawati, untuk mendirikan rumah baca, tepat setahun setelah kepulangan mereka. Berlokasi di Gambesi Ternate, rumah baca tersebut mereka beri nama Karabala, yang berarti sesuatu yang baru, dengan jumlah koleksi sebanyak 2000 judul buku saat itu. Dari rumah baca inilah proses menuju pembangunan perpustakaan NBCL dimulai.
“Tahun 2006 kami pulang, saya dan teman saya, Siti Gormawati, banyak sekali bawa pulang buku dari makassar. Torang mulai rumuskan harus bikin apa, buku kita waktu itu sekitar 2000 judul,” jelas Mashur.
Pria yang juga biasa dipanggil Cecep ini menceritakan, bahwa kegemarannya membaca buku, terutama buku-buku yang bermuatan kritik sosial, memang awalnya hanya gagah-gagahan. Namun ia akui kegemarannya tersebut, sedikit banyak telah mengubah caranya melihat dunia dan membentuk daya kritisnya. Walaupun situasi yang berbeda akhirnya harus ia hadapi seusai menyandang gelar sarjana, ia mengaku sempat berhitung soal karir, pekerjaan dan dari mana ia bisa memperoleh pendapatan. Sementara aktivitasnya di dunia literasi sudah tidak mungkin ia tinggalkan, rumah baca yang ia dirikan tentu membutuhkan waktu dan perhatian.

Sempat diberi nama Epistem, rumah baca tersebut lalu berubah nama menjadi Karabala, demi memasukkan unsur lokal, mengingat kata Karabala yang berasal dari bahasa Ternate. Hampir semua tokoh penting di Ternate ia datangi, guna meminta dukungan pembangunan rumah baca Karabala.
“Awalnya torang kase nama Epistem, agar relevan dengan konteks lokal, kemudian sempat kase nama Karapoto, tapi untung tra jadi, kemudian torang sepakat namanya menjadi Karabala, selain berasal dari bahasa lokal, juga terinspirasi dari kisah Imam Husein di Karbala,” lanjut Mashur sambil tertawa.
Waktu berjalan, Mashur kemudian bergabung di LML (Lembaga Mitra Lingkungan), sebuah lembaga yang mengurusi persoalan ekologi. Sedang rekannya bergabung dalam program PNPM Mandiri saat itu. Dari aktivitas mereka inilah, biaya sewa tanah dan biaya listrik rumah baca dapat tertangani.

Semesta sepertinya berpihak kepada Mashur dan kegiatannya. Selang beberapa waktu sejak rumah baca berdiri, datanglah telpon dari seorang dosen di Ternate, sang dosen menyatakan bahwa ada seseorang yang tertarik dengan kegiatan mereka. Seorang mahasiswa lulusan AS tertarik dan coba mencarikan sponsor untuk kegiatan literasi di Rumah Baca Karabala. Mashur pun diperkenalkan dengan Sosiolog terkenal, Imam Prasodjo.
Tidak kurang dari Rp 50 juta, dana yang disumbangkan Imam melalui yayasannya untuk Karabala. Dana yang rencananya digunakan untuk menambah koleksi buku, atas saran Imam, kemudian dialihkan untuk membeli sebidang tanah yang saat ini berdiri gedung NBCL. Sang donatur khawatir jika sewaktu-waktu pemilik lahan yang disewa untuk rumah baca berubah pikiran.
“Tiba-tiba Pak Imam tanya, rumah baca ini status lahannya gimana, bagaimana kalau pemilik lahan ini mau tarik lagi, nanti nasib rumah baca ini bagaimana. Pak Imam lalu minta saya mulai cari tanah disekitar Gambesi, dapatlah tanah yang sekarang berdiri gedung NBCL, dari dana 50 juta waktu itu, torang berhasil beli tanah seharga 35 juta,” terang Mashur.
Sekitar tahun 2008, tanah sudah dibeli, proses selanjutnya ialah mendirikan bangunannya. Imam Prasodjo melalui yayasan Rumah Dunia, banyak membantu pembangunan NBCL. Dimulai dari desain arsitekturnya hingga proses konstruksi bangunan perpustakaan. Desain bangunan NBCL sendiri dirancang oleh Arsitek Ivy Hume, putra dari Cameroon Hume, Dubes AS untuk RI saat itu. Dimana bentuk bangunannya terinspirasi dari pakaian adat Ternate, yaitu Tuala Lipa.
Proses konstruksi NBCL sendiri, melibatkan banyak pihak, mulai dari pengerukan tanah hingga pemasangan atap. Banyak aktivis literasi yang ikut terlibat dalam pembangunan gedung tersebut. Beberapa kementerian dan perusahaan BUMN melalui CSR nya ikut membantu, antara lain; PT. PLN membantu biaya sebesar Rp. 600 juta dan Bank Indonesia sebesar Rp. 300 juta. Selain BUMN, pihak swasta juga ikut berkontribusi, yaitu Metro TV melalui program Kick Andy dan juga yayasan Rumah Dunia.

Mashur menyadari bahwa setiap usaha pasti selalu terdapat rintangan, ia sempat menjadi gunjingan beberapa pihak ketika mendorong pembangunan NBCL, terutama mengenai keterlibatan Yayasan Keluarga Prabowo Subianto dalam proses pembangunan tersebut, apalagi dengan kehadiran Dubes AS di prosesi peletakan batu pertama. Bahkan nada sumbang juga datang dari beberapa tokoh penting di Maluku Utara.
“Beberapa teman-teman aktivis disini curiga kalau NBCL ini antek Amerika. Karena Dubes Amerika hadir saat peletakan batu pertama, dorang tra tau kalo banyak pihak yang membantu, torang juga lobi CSR PLN deng Bank Indonesia,” jelasnya.
Setelah semua rancangan dan kebutuhan anggaran selesai dirampungkan, tahun 2009 pembangunan gedung pun dimulai dan baru rampung dan mulai beroperasi pada 2010. Setelah selesai proses pembangunan fisik, Mashur dan teman-teman mulai mempersiapkan program, berbagai kegiatan pun coba diinisiasi.
Satu jam sudah diskusi kami sore itu, bergelas kopi sudah kami habiskan, namun Mashur tampak masih bersemangat menceritakan seluk beluk perjalanan NBCL. Sudah banyak program yang ia dan rekan-rekannya gulirkan di NBCL, diantaranya; membina komunitas-komunitas literasi di Ternate, menjalin kerjasama dengan berbagai organisasi mahasiswa, juga menyelenggarakan kegiatan voluntary dengan kurikulum pembinaan voluntary yang ia kembangkan bersama rekan-rekannya.
Pengelolaan NBCL sendiri dikerjakan secara kolektif dan egaliter, di NBCL tidak mengenal bawahan atau atasan, semua dikerjakan bersama. Namun untuk kebutuhan administrasi maka perlu dibuatkan badan hukum, sebagai syarat memperoleh bantuan dari pemerintah, adapun susunan pengurus NBCL yang ada saat ini yaitu, Mashur, Imam Prasodjo dan Siti Gormawati dari unsur pendiri, sementara untuk pembina, diantaranya ada Sahrani Somadayo dan beberapa senior lainnya.
Di Tahun 2013, aktivitas Mashur dan rekan-rekannya mulai mendapat apresiasi. Metro Tv melalui program Kick Andy memberi penghargaan Kick Andy Hero’s untuk Mashur dan NBCL. Sejak saat itu, langkah Mashur dan NBCL semakin dikenal secara nasional. Ia mulai berkenalan dengan beberapa tokoh nasional setelah penghargaan Kick Andy Hero’s tersebut. Selain itu, di tahun yang sama, NBCL mendapat kunjungan dari Wadah Foundation, yang dikelola oleh istri Hasjim Djojohadikusumo. Undangan untuk NBCL pun berdatangan dari berbagai daerah Indonesia.
Pandangan Soal Politik
Diskusi dengan seorang aktivis memang selalu menarik, wawasan yang luas dan energi pengetahuan yang kuat membuat suasana diskusi semakin seru dan menyenangkan, sesekali ledak suara tawa kami memecah sore hari itu. Saya pun sedikit menyentil soal pandangan Mashur mengenai politik dan bagaimana dia sebagai seorang pegiat literasi seharusnya bersikap, ditengah tarik menarik kepentingan politik.

Semula Mashur adalah orang yang sangat apatis dengan politik, apalagi dalam realitas politik yang ada saat ini. Ia memang tidak terjun ke dalam politik secara langsung, namun pergaulannya dengan beberapa tokoh politik, baik lokal maupun nasional, tentu memberi persepsi tersendiri baginya.
Lebih jauh, pandangan Mashur soal politik mulai berkembang ketika ia diundang oleh Wadah Foundation dalam suatu pertemuan di Bali, dalam pertemuan tersebut hadir seluruh anggota keluarga Prabowo Subianto. Di situlah ia pertama kali berjumpa dengan Prabowo. Apatisme Mashur terhadap politik selama ini, ia sadari karena ke-tidaktahu-an.
“Jadi torang harus meletakkan misi kemanusiaan itu di ujung cita-cita politik,” tegas Mashur.
Selain berjumpa dengan keluarga Prabowo, ia juga mengikuti pelatihan relawan yang diselenggarakan oleh Wadah Foundation. Seusai pelatihan, Mashur kemudian terbang ke Jakarta dan magang di yayasan lain yang bergerak di bidang rehabilitasi anak-anak korban konflik horisontal di Maluku & Maluku Utara saat itu.
Keterlibatannya dalam yayasan rehabilitasi ini yang menggeser pandangan Mashur mengenai politik, terutama terhadap sosok Prabowo Subianto, yang selama ini sering diopinikan negatif oleh media. Ketertarikan Mashur terhadap yayasan keluarga Prabowo ia akui karena kekagumannya, Prabowo dan keluarganya menurut Mashur, sudah berbuat banyak untuk kesejahteraan masyarakat, namun tidak pernah menjadikannya sebagai komoditas politik.
Aktif dalam kegiatan-kegiatan yayasan keluarga Prabowo, membuat Mashur sangat dekat dengan keluarga ini secara personal, terbukti dalam beberapa kali hajatan keluarga, ia selalu diundang. Terakhir kali, ia sempat hadir dalam perayaan ulang tahun Prabowo di Hambalang. Sosoknya kemudian dikait-kaitkan dengan partai Gerindra, sesuatu yang ia tolak karena latarnya yang adalah seorang ASN.
“Kedekatan saya dengan keluarga Prabowo bukan karena saya tim sukses, kedekatan saya sudah seperti keluarga, apalagi dengan ibu Hasjim, saya sudah dianggap anak angkat beliau,” terang Mashur mengenang.

Meskipun begitu, kedekatannya dengan keluarga ini sering kali dimanfaatkan oleh para politisi yang berkepentingan dengan partai yang diasuh Prabowo. Beberapa kali ia pernah diminta untuk menghubungkan berbagai kepentingan tersebut. Di Halmahera Utara, Mashur bahkan pernah meminta salah satu kandidat Bupati, untuk meyiapkan anggaran tersendiri bagi rumah baca dan gerakan literasi di seluruh Halmahera Utara, jika ia berhasil dihubungkan Mashur dengan keluarga Prabowo. Politik bagi Mashur adalah jalan untuk mencapai tujuan literasi.
Tak henti saya dibuat kagum dengan pengalaman literasi Mashur, apalagi karena sosoknya yang bukan seorang perokok. Dalam hati saya bertanya, bagaimana bisa ia berdiskusi sekian jam tanpa merokok? Sesuatu yang tentu tidak mampu saya lakukan. Sebungkus Rokok sudah habis, kopi pun tinggal gelasnya. Pertemuan kami dengan Mashur Tomagola harus kami akhiri, ia pun bersiap pulang ke Ternate. Terima kasih Bung.
Reporter : Mw
Editor : Redaksi