Perdamaian dalam Nalar Manusia

Seperti yang kita ketahui, masa depan dunia hari ini sangat bergantung pada keputusan segelintir orang—pemimpin negara-negara besar yang mengendalikan pengaruh politik, militer, dan ekonomi global. Demikian yang pernah diungkapkan oleh mantan Presiden Indonesia, SBY beberapa waktu lalu.

SBY secara terang-terangan mengatakan bahwa, dunia akan menuju perdamaian atau kembali tenggelam dalam konflik, sangat mungkin ditentukan oleh lima sosok ini: Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, Pemimpin Tertinggi Iran Ali Khamenei, Presiden Amerika Serikat Donald Trump, Presiden Rusia Vladimir Putin, dan Presiden Tiongkok Xi Jinping.

Di tangan merekalah terletak pilihan antara dialog atau kekerasan, antara akal sehat atau ambisi hegemonik.

Inilah realitas keras yang harus kita hadapi: Dunia ibarat papan catur raksasa, tempat para pemimpin besar memainkan bidak-bidaknya—bukan dengan tangan, tapi dengan kebijakan, senjata, dan propaganda.

Dalam permainan ini, rakyat dan pasukan perang di lapangan sering kali tak lebih dari pion yang bisa dikorbankan demi menjaga posisi atau mengancam lawan. Perjanjian damai bisa dibatalkan hanya karena perubahan rezim; gencatan senjata bisa runtuh oleh satu ledakan atau satu pidato provokatif di antara mereka.

Uniknya adalah, dalam wacana peperangan yang akhir-akhir menghiasi dinding media sosial, ada juga segelintir manusia yang berharap perang terjadi—bukan karena alasan strategis, tapi karena penasaran!

Mereka membaca sejarah Perang Dunia I dan II, lalu merasa ingin “merasakan sensasinya.” Seolah-olah perang adalah wahana wisata ekstrem yang seru untuk dicoba. Ajaib memang, keingintahuan manusia bisa sampai ke ranah yang seharusnya dihindari oleh akal sehat.

BACA JUGA   Air Putih di Malam Jumat: Analisis Antropologis Tradisi di Maluku Utara
Just a moment...