Perdamaian dalam Nalar Manusia

Oleh:

Abdul Wahab A. Rahim (Redaktur Sentra)

Perang dan perdamaian merupakan dua kutub ekstrem dalam sejarah peradaban manusia. Keduanya tidak hanya merepresentasikan kondisi fisik suatu wilayah, melainkan juga mencerminkan dinamika nilai, kepentingan, serta rasionalitas kolektif suatu bangsa.

Dalam konteks modern, perdamaian sering kali dijadikan sebagai tujuan bersama oleh berbagai negara. Namun, pencapaian dan pemeliharaannya bukanlah sesuatu yang bersifat alami atau terjadi begitu saja.

Ironisnya, meskipun perdamaian kerap diagungkan sebagai kondisi ideal, realitas sejarah menunjukkan bahwa jalan menuju perdamaian hampir selalu diwarnai oleh konflik dan kekerasan.

Ini menimbulkan pertanyaan penting: apakah manusia benar-benar mendambakan perdamaian, atau hanya memilihnya sebagai opsi yang lebih rasional setelah menyadari mahalnya harga yang harus dibayar dalam perang?

Jika sekilas membaca catatan sejarah, perang tidak berhenti karena manusia tiba-tiba mencintai perdamaian, atau karena mereka menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Semua itu biasanya baru muncul setelah perdamaian tercapai.

Artinya, penghargaan terhadap nilai kemanusiaan dan cinta terhadap kedamaian sering kali merupakan hasil dari proses berdamai, bukan penyebab utama terjadinya perdamaian.

Alasan utama manusia memilih perdamaian karena biaya untuk mempertahankan perdamaian lebih murah dibandingkan dengan biaya yang harus ditanggung akibat perang.

Karena perang memakan banyak korban, menguras sumber daya, dan meninggalkan penderitaan yang panjang. Karena itu, dalam jangka panjang, perdamaian dianggap lebih menguntungkan secara sosial, politik, maupun ekonomi.

Untuk menjaga agar perdamaian tetap bertahan, muncullah berbagai konsep yang mendukung sikap damai itu. Misalnya, hukum internasional, perjanjian damai, kerja sama antarnegara, serta nilai-nilai seperti toleransi, hak asasi manusia, dan berbagai macam konsep lainnya. Semua itu dibentuk agar manusia memiliki alasan dan cara untuk tetap menjaga perdamaian.

BACA JUGA   Audit IRMA terhadap Harita Group: Sorotan atas Permasalahan Lingkungan dan Sosial

Namun, jika perang tetap terjadi, itu menunjukkan bahwa ada sesuatu yang dianggap lebih berharga daripada perdamaian itu sendiri. Nilai tersebut bisa bersifat simbolik, seperti perjuangan membela tanah air, mempertahankan harga diri bangsa, atau keyakinan akan kehidupan yang lebih baik setelah kematian. Dalam konteks ini, orang rela mengorbankan kedamaian demi membela nilai yang mereka anggap paling tinggi.

Selain itu, ada pula pihak-pihak yang justru merawat konflik atau membiarkan perang berlangsung karena mereka memperoleh keuntungan darinya.

Perang menciptakan pasar bagi senjata, membuka peluang kekuasaan, dan kadang digunakan sebagai alat untuk mengalihkan perhatian dari persoalan domestik. Bagi sebagian kelompok, perdamaian justru dianggap “tidak menguntungkan”.

Sehingga perdamaian bukanlah sebuah kondisi yang bisa dijamin hanya dengan niat baik. Ia membutuhkan sistem yang adil, kesepahaman lintas bangsa, serta komitmen kolektif untuk menghindari dominasi kekuasaan semata.

Termasuk di dalamnya adalah kesepahaman yang melampaui kepentingan bangsa masing-masing—sebuah kesadaran bahwa stabilitas global tidak bisa dicapai jika setiap negara hanya memikirkan kelompok masing-masing.

Just a moment...