Beranda blog Halaman 29

Menghijaukan Ekonomi

0

Oleh : Arifin Muhammad Ade

Penulis Buku “Narasi Ekologi”

Mulanya ketika manusia mulai meninggalkan kehidupan dari berburu dan meramu (nomaden) ke kehidupan yang menetap di suatu tempat, serta mulai menerapkan aktivitas bercocok tanam dan mengolah tanah. Pada saat itu, cikal bakal di mulailah eksploitasi manusia terhadap alam, walaupun masih dalam skala yang dapat ditolerir. Artinya, kemerosotan lingkungan hidup bukan hal baru bagi dunia saat ini saja, tetapi telah terjadi sepanjang catatan sejarah dengan catatan-catatan negatif yang mendalam bagi sejumlah peradaban kuno.

Bukti sejarah menunjukan bahwa runtuhnya peradaban-peradaban dunia seperti Mesopotamia dan Maya tak terlepas dari faktor-faktor yang diyakini adalah faktor ekologis. Mereka menghancurkan banyak sumber daya yang diperlukan bagi mereka sendiri. Mereka juga mengeksploitasi sumber daya alam secara berlebihan.

Memasuki era modern, persoalan terus berlanjut dan menjadi semakin rumit, terutama sejak bergulirnya revolusi industri di Inggris pada abad ke-18. Eksploitasi terhadap sumber daya alam dilakukan dalam skala yang lebih besar dan terjadi secara masif. Hingga saat ini dengan semakin meningkatnya populasi masyarakat dunia, eksploitasi pun semakin tak terbendung.

Terjadinya pengerukan kekayaan sumber daya alam secara masif dengan alasan pertumbuhan ekonomi, kemudian menjadi sebuah dalil yang berhasil meloloskan berbagai korporasi-korporasi untuk mengekstraksi sebanyak mungkin kekayaan alam yang tersedia. Bahkan kerap kita berbagai argumen yang berkembang di masyarakat bahwa “jika bisa mengambil sebanyaknya, mengapa tidak?”.

Hal ini tentunya bertentangan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs), dimana kesepakatan bersama masyarakat global untuk berusaha mencapai keberhasilan pembangunan secara berkelanjutan di bidang sosial, ekonomi, dan lingkungan. Artinya, pemanfaatan kekayaan sumber daya alam dengan tujuan ekonomi jangan sampai melebihi daya dukung lingkungan. Hal ini akan berakibat pada rusaknya tatanan sosial masyarakat, alih-alih mengharapkan kemajuan yang terjadi justru kemunduran.

Khususnya dalam pengembangan taraf hidup dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Bila dicermati, mimpi membangun sebuah masyarakat yang berkelanjutan pada dasarnya adalah menekankan pengembangan dan pembangunan ekonomi berdasarkan kondisi alam setempat. Sebuah model yang ingin menyatukan kembali ekonomi dan ekologi (ekonomi hijau), karena kesadaran bahwa baik ekonomi dan ekologi sama-sama sesungguhnya berurusan dengan rumah tangga (oikos), alam, tempat tinggal, habitat hidup.

Pada tataran teoritis, konsep tentang ekonomi hijau itu sendiri telah diperkenalkan sejak awal tahun 1970-an. Saat itu, Allen van Newkirk memperkenalkan istilah bioregionalisme, yaitu sebuah proses teknis mengidentifikasi wilayah budaya yang ditafsirkan secara biogeografi. Di dalam batas-batas wilayah budaya ini, manusia memelihara dan menjaga beragam tanaman dan binatang, membantu konservasi dan restorasi ekosistem liar, sambil menggali kembali model-model aktivitas manusia yang selaras dengan kenyataan biologis bentang alam yang ada.

Konsep bioregionalisme sendiri hadir sebagai jawaban atas adanya pro dan kontra yang berkembang di kalangan akademisi yang kerap mempertentangkan antara ekonomi dan ekologi. Di satu sisi, pihak yang mendukung pertumbuhan ekonomi berpendapat bahwa eksploitasi atas sumber daya alam dapat dibenarkan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat. Di sisi yang lain, pihak yang peduli pada kelestarian lingkungan (aliran ekologi) mencoba mempertahankan kondisi lingkungan demi generasi akan datang sebagai basis argumen yang mereka bangun.

Singkatnya, ekonomi bioregional (ekonomi hijau) adalah ekonomi yang menyesuaikan seluruh aktivitasnya dengan kondisi dan potensi alam setempat untuk mewujudkan kesejahteraan penghuninya sambil tetap mempertahankan keseimbangan alamiah ekosistem setempat sebagaimana menjadi inti dari prinsip pembangunan berkelanjutan.

Dengan kata lain, ekonomi hijau merupakan suatu model pendekatan pembangunan ekonomi yang tidak lagi mengandalkan pembangunan ekonomi berbasis eksploitasi sumber daya alam dan lingkungan. Ekonomi hijau merupakan suatu lompatan besar untuk meninggalkan praktik-praktik ekonomi yang mementingkan keuntungan jangka pendek yang telah mewariskan berbagai permasalahan yang mendesak untuk ditangani.

Herman Daly (1991), ahli ekonomi ekologi Amerika Serikat, terkenal dengan penekanannya atas apa yang ia sebut sebagai “Teorema Ketidakmungkinan”: mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak mungkin bisa tumbuh secara tak terbatas dalam lingkungan yang terbatas. Pernyataan ini menegaskan bahwa keberlanjutan sektor perekonomian tidak dapat tercapai jika tidak diimbangi dengan kelestarian lingkungan.

Pada banyak kasus, ekonomi hijau yang seharusnya dapat mendukung pembangunan berkelanjutan menjadi sekedar “kemasan hijau” karena akumulasi kapitalis dan eksplotasi sumber daya alam terus dilakukan.

Sebagai contoh, dilansir dari Tirto.id (19/02/2021), Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dalam sebuah pembahasan terkait pembangunan Bendungan Karian, menyampaikan permintaannya agar aktivitas penebangan hutan dihentikan. Menurut Luhut, hutan merupakan sumber persediaan air dan Indonesia harus mempersiapkan diri menghadapi potensi ancaman kekurangan air yang terjadi di kemudian hari.

Ibarat “termakan omongan sendiri”, Luhut tidak menyadari bahwa ia sendiri berada dibalik beroperasinya perusahan-perusahan raksasa yang hingga saat ini telah memporak-porandakan alam dan hutan Kalimantan. Terungkap dalam berbagai sumber, Luhut adalah seorang pengusaha energi yang memiliki perusahan Toba Sejahtera Group. Berdasarkan laporan dari Coalruption “Elit Politik dalam Pusat Bisnis Batubara” mengungkapkan perusahan tersebut terbagi menjadi enam cabang, yakni batubara dan pertambangan, migas, perindustrian, properti, pembangkit listrik, serta kehutanan dan kelapa sawit.

Dengan kata lain, keberadaan perusahan-perusahan raksasa para elit di negeri ini, secara tidak langsung telah mematikan tumbuh-kembangnya perekonomian masyarakat lokal, praktek ekonomi yang benar-benar selaras dengan alam. Sebagaimana dijalani masyarakat adat yang tersebar di seluruh Indonesia.

Fenomena seperti ini, mengutip pernyataan Daniel Goleman, menyebutkan bahwa “sekian banyak produk yang berlabel hijau (ramah lingkungan), sebenarnya tergolong kehijau-hijauan yaitu dihiasi dengan penampilan yang seakan ramah lingkungan”. Lebih lanjut, Goleman menambahkan bahwa standar kehijauan yang sekarang ada itu mungkin kelak akan dianggap “eco-miophia” atau pandangan yang dangkal terhadap lingkungan.

Dengan demikian, menghijaukan ekonomi sebagai sebuah gerakan mengembangkan sektor perekonomian yang ramah lingkungan. Maka, sudah saatnya rumus ekonomi mengadopsi depresiasi tak hanya aset fisik. Para ekonom mesti memasukkan layanan alam untuk menghitung pertumbuhan ekonomi. Sebab, dampak dan kerugian akibat kerusakan lingkungan selalu bisa dihitung melalui objek fisik.

Masih Banyak UMKM di Malut Belum Dapat Banpres BLT Rp 2,4 juta

0

Sofifi – Bantuan Presiden (Banpres) bagi usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) yang terdampak Covid-19 di Maluku Utara (Malut) mencapai 45,078 pelaku usaha.

Masing-masing UMKM menerima bantuan produktif senilai Rp2,4 juta, yang disalurkan melalui PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI), PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) dan Bank Syariah Mandiri (BSM).

Jika dijumlahkan, bantuan langsung tunai (BLT) yang masuk ke Maluku Utara pada tahun 2020 sebesar Rp108.187.200.000.

Kepala Dinas Koperasi dan UKM Malut, Wa Zaharia menyampaikan, masih banyak pelaku usaha mikro yang belum menerima bantuan ini. Pihaknya sudah mengusulkan 76,801 pelaku usaha namun yang lolos hingga di SK kan baru 45,078.

Bahkan, dari jumlah tersebut, Pulau Taliabu mengusulkan 105 UMKM yang terdaftar dan di SK kan 152 (47 usulan tidak melalui Pemda), jumlah ini tentu berbeda jauh dengan kabupaten/kota lainnya.
Halmahera Barat usulkan 6,414, yang menerima 2,541, Halmahera Selatan usulkan 15,869, yang terima 10,605, Halmahera Timur usulkan 1,156 yang terima 768, Halmahera Utara usulkan 662 yang terima 2,780.

Kemudian, Halmahera Tengah usulkan 4,086, yang terima 2,792, Kepulauan Sula 7,930, yang terima 2,963, yang terima 1,878, Pulau Morotai 2,551, yang terima 9,825, Ternate 28,404, yang terima 10,774, dan Tidore Kepulauan 9,624, yang terima 1,058.

“Kita berharap jika tahun ini (2021) masih ada program Banpres untuk UMKM, pemerintah daerah bisa mengusulkan lebih banyak pelaku usaha,”kata Wa Zaharia, Senin (22/2).

Lanjut Wa Zaharia, BLT Banpres sangat membantu pelaku usaha dapat bertahan ditengah pandemi Covid-19 yang belum diketahui kapan akan berakhir. Mereka yang sebelumnya tidak lagi berproduksi akhirnya kembali memulai dengan adanya modal sebesar Rp2,4 juta tersebut.
Menurutnya, bantuan Presiden melalui Kementerian Koperasi dan UKM RI itu dimanfaatkan sebaik mungkin para pelaku usaha.

“Supaya usahanya tetap berjalan lancar, saya harap dipergunakan semaksimal mungkin untuk kebutuhan usaha,”katanya.


Dinas Koperasi dan UKM mencatat, jumlah UMKM di Maluku Utara mencapai 105.000 unit usaha, didalamnya termasuk usaha kelas menengah 1.299 unit.

Reporter : Al Fajri

Omnibus Law dan Nasib Pekerja Indonesia

0
OMNIBUS LAW DAN NASIB PEKERJA INDONESIA
OMNIBUS LAW DAN NASIB PEKERJA INDONESIA

Omnibus Law dan Nasib Pekerja Indonesia*

Oleh : Riski Ismail, SE

Pegiat Fola Literasi TOBACCA

Biarlah Pengalaman Masa Lalu Kita Menjadi Tonggak Petunjuk, dan Bukan Tonggak Yang Membelenggu Kita

(Mohammad Hatta)

Penghujung tahun lalu negeri ini dikejutkan dengan pertanyataan Presiden Joko Widodo dalam pidato pertamanya terkait dengan omnibus law setelah dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia 2019-2024. Jokowi menyebutkan bahwa omnibus law bakal menyederhanakan kendala regulasi yang dianggap berbelit dan panjang (tribunjabar.id). Istilah omnibus law berasal dari omnibus bill, yakni UU yang mencakup berbagai isu atau topik (Kamus Hukum Merriam-Webster). Bryan A Garner, dalam bukunya Black law dictionary ninth edition menyebutkan bahwa omnibus law berkaitan atau berurusan dengan berbagai objek atau hal sekaligus. Atau dengan kata lain aturan yang bersifat menyeluruh dan komprehensif, tidak terikat pada satu rezim pengaturan saja.

Omnibus law yang tengah dibuat Pemerintah Indonesia, terdiri dari dua Undang-Undang (UU), yakni UU Cipta Lapangan Kerja dan UU Perpajakan. Omnibus law rencananya akan menyelaraskan 82 UU dan 1.194 pasal. Alasan pemerintah membuat omnibus law lantaran sudah terlalu banyak regulasi yang dibuat. Tak jarang, satu regulasi dengan regulasi lainnya saling tumpang tindih dan menghambat akses pelayanan publik, serta kemudahan berusaha. Sehingga membuat program percepatan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat sulit tercapai. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia mencatat, dalam periode 2014 hingga Oktober 2018, pemerintah telah menerbitkan 8.945 regulasi. Terdiri dari 107 Undang-Undang, 765 Peraturan Presiden, 7.621 Peraturan Menteri, 452 Peraturan Pemerintah.

Bank Dunia mencatat, posisi skor Indonesia di sepanjang 1996-2017 selalu minus atau di bawah nol. Menurut rumusan skala indeks regulasi Bank Dunia, skor 2,5 poin menunjukkan kualitas regulasi terbaik, sementara skor paling rendah adalah -2,5 poin. Pada 2017, skor Indonesia menunjukkan angka -0,11 poin dan berada di peringkat ke-92 dari 193 negara. Tak hanya membuat indeks regulasi Indonesia rendah, banyaknya regulasi juga telah memunculkan fenomena hyper regulation. Oleh karena itu, penyelenggara pemerintah merevisi aturan perundang-undangan yang saling berbenturan. Jika dilakukan secara konvensional, revisi undang-undang secara satu per satu diperkirakan akan memakan waktu lebih dari 50 tahun. Dengan begitu pemerintah berpikir bahwa skema omnibus law adalah jalan satu-satunya yang bisa menyederhanakan regulasi dengan cepat.

Menteri Keuangan, Sri Mulyani mengatakan bahwa pemerintah menyusun RUU omnibus law dalam rangka untuk membuat rezim perpajakan sesuai prioritas pemerintahan dalam mentransformasi ekonomi. Selain itu, untuk mengantisipasi perubahan terutama di digital ekonomi dan untuk membuat sistem pajak Indonesia kompetitif dengan perpajakan global (cnbcindonesia.com). Akan tetapi dalam hal kebijakan yang di jalankan pemerintah tak menampik mendapat respon pro dan kontra dari kalangan masyarakat terutama dari kalangan buruh dan mahasiswa. Dalam waktu singkat omnibus law telah mencuri perhatian, pasalnya dalam waktu 100 hari penyusunan draf omnibus law haruslah selesai untuk diserahkan kepada DPR.

Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauzi menjelaskan bahwa poin-poin terkait rancangan Undang-Undang omnibus law cipta lapangan kerja yang menjadi polemik untuk kesejahteraan buruh kedepannya. Dewasa ini rancangan omnibus law mengatur mengenai jam kerja dimana buruh diupah perjam bukan lagi perhari serta mengatur mengenai upah minimum pekerja. Apabila pekerja dalam seminggu bekerja kurang dari 40 jam maka akan mendapat upah dibawah minimum. Dapat diketahui bahwasanya upah minimum diterapkan di Indonesia untuk menjadi dobrakan peningkatan kesejahteraan pekerja dimana upah minimum antar pulau yang satu dengan yang lainnya sangatlah berbeda, hal tersebut telah disesuaikan dengan tingkat sumber daya alam yang terkandung dan ekonomi tiap daerah.

Lantas bagaimanakah bila upah minimum tersebut tidak sesuai standar yang telah diatur sebelumnya, maka akan sangat menguntungkan pihak pengusaha atau perusahaan. Pada daerah pelosok ditetapkan upah minimum tinggi dikarenakan untuk mencapai akses transportasi dan fasilitas sangatlah susah, bila upah minimum tersebut dihilangkan maka pihak pekerja sangatlah terasa dampak tersebut. Harmonisasi dan sinkronisasi dalam penerapan peraturan perundang-undangan sangat dibutuhkan agar tidak terulang kembali tumpang tindihnya suatu peraturan serta menghindari terjadinya obesitas peraturan negara, yang dampaknya akan mempengaruhi perekonomian negara. Akan tetapi dalam hal membuat peraturan tersebut sangatlah penting untuk memperhatikan kesejahteraan rakyat.

Benarkah dengan adanya omnibus law bisa menjadi solusi bagi masuknya investor dan menciptakan lapangan kerja? ini rumus lama, deregulsi dan debirokratisasi dilakukan untuk mengahadapi situasi ekonomi yang labil. Secara makro, strategi pembangunan pertumbuhan ekonomi dengan cara mengundang investor untuk melakukan relokasi industri ke sebuah negara lain bukan barang baru. Kajian yang memperlihatkan beberapa kemajuan atas model tersebut seperti China, Korea Selatan, Malaysia, Thailand dan Vietnam, ada terserak. Meskipun detail kenapa berhasil tidak banyak diulas selain sisi memberi karpet merah pada investor.

Evaluasi terhadap persoalan yang belum tuntas, dimulai lagi proyek baru infrastruktur seperti pindah ibukota dan sejumlah pembangkit energi kotor juga terus dibangun. Ketika infrastruktur dibangun gencar, tanda-tanda invesrtor datang belum berhasil. Karena itu dicari dalih baru, yakni kebijakan pasar tenaga kerja, lingkungan dan pertanahan yang tak ramah investor adalah penyebab perlu kebijakan yang makin ultra liberal. Strategi mengundang investor dengan intensif upah murah dan pengabaian lingkungan hidup yang ternyata hendak diberlakukan melalui omnisbus law.

Kebijakan upah murah semacam ini, selain harus seiring dengan penerapan hukum yang keras terhadap serikat buruh, juga harus bersandar kepada pangan murah, yang biasanya dijawab dengan impor pangan yang besar. Kita tentu bertanya-tanya mengapa konsep pembangunan tanpa keadilan tersebut diulang kembali di 2020? Ironisnya konsep ini membutuhkan omnibus law dalam sejumlah pidato diungkapkan bahwa omnibus law adalah paket deregulasi memanggil investor untuk menciptakan lapangan kerja. Ekonom Universitas Indonesia (UI) Faisal Basri, menilai RUU Cipta Lapangan Kerja melemahkan posisi pemerintah daerah dan buruh. Justru menguntungkan pemerintah pusat dan pebisnis. Tujuan omnibus law untuk menciptakan lapangan kerja kurang relevan karena angka pengangguran terus menurun. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebut isi omnibus law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja, khususnya dalam bab ketenagakerjaan jelas-jelas merugikan pekerja (kompas.com). Oleh karena itu, sebuah kebijakan ekonomi yang ditopang upah murah, anti serikat buruh, anti kerja tetap (buruh kontrak), anti pesangon dan anti keberlanjutan lingkungan hidup yang tengah didorong jangan sampai terjadi dikemudian hari.

*Tulisan ini pernah dimuat oleh Malutpost

Coronavirus dan Dampaknya pada Perekonomian Indonesia

0
CORONAVIRUS DAN DAMPAKNYA PADA PEREKONOMIAN INDONESIA
CORONAVIRUS DAN DAMPAKNYA PADA PEREKONOMIAN INDONESIA

Coronavirus dan Dampaknya pada Perekonomian Indonesia*

Oleh : Riski Ismail

Pegiat Fola Literasi TOBACCA

Baru-baru ini kita dihebohkan dengan fenomena luar biasa yang beredar dijagad maya terjadi di negeri tirai bambu, tepatnya pada Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China. Coronavirus (CoV) yang merebak akhir-akhir ini menimbulkan kecemasan di seluruh dunia. Pasalnya, penyebaran virus ini tak hanya menelan korban jiwa, namun berdampak pada persoalan ekonomi. Sebagai catatan, Coronavirus (CoV) atau virus Corona adalah zoonosis (ditularkan antara hewan dan manusia), beberapa virus Corona yang dikenal beredar pada hewan tetapi belum terbukti menginfeksi manusia. Tanda dan gejala umum infeksi virus Corona antara lain gejala gangguan pernapasan akut seperti demam, batuk, flu dan sesak napas hingga penyakit yang lebih parah, sehingga perlu adanya penanganan serius dalam menyikapi virus ini. Berdasarkan laporan resmi WHO terkait perkembangan situasi virus Corona yang dirilis per tanggal 28 Januari 2020, sebanyak 4.537 kasus positif terpapar virus Corona yang terjadi di China dengan 976 di antaranya dalam kondisi kritis, 106 meninggal dunia, dan 6.973 orang lainnya diduga terjangkit virus tersebut.

Penyebaran virus Corona bahkan menambah ketidakpastian perekonomian pada kwartal pertama tahun ini. Sikap optimistis akan terjadinya pemulihan perekonomian akibat eskalasi perang dagang kontra Amerikat Serikat, berbanding terbalik ketika virus Corona menyerang sehingga menimbulkan pesimisme bagi para pelaku pasar. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Deputi Gubernur Bank Indonesia yang menyatakan bahwa penyebaran virus Corona dari China berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi global apabila terus berlanjut, bahkan bukan tanpa alasan jika investor hingga pelaku pasar merasa cemas lantaran berdampak terhadap perdagangan global. Pasalnya ekonomi China selama bertahun-tahun menjadi salah satu mesin pertumbuhan paling kuat di dunia. Pada tahun 2019, Dana Moneter Internasional (IMF) menempatkan China sebagai negara dengan perekonomian terbesar kedua setelah Amerika Serikat (AS) dengan produk domestik bruto (PDB) sebesar 14,14 triliun dollar AS, sedangkan Amerika Serikat (AS) senilai 21,43 triliun dollar AS. Sehingga menurunnya pertumbuhan ekonomi di negara tersebut berdampak pada menghambatnya laju pertumbuhan di negara lain, termasuk Indonesia.

Menyikapi dampak dari persoalan virus Corona bahkan bisa sampai ke Indonesia dan mengancam pertumbuhan ekonomi bahkan di bawah 5%. Riset perusahaan pemeringkat atas saham dan obligasi, yang merupakan salah satu dari 3 perusahaan besar dalam industri pemeringkatan (S&P) menyebutkan, virus Corona akan memangkas pertumbuhan ekonomi China sekitar 1,2 poin persentase. Jadi kalau pertumbuhan ekonomi China tahun ini diperkirakan 6%, maka virus Corona akan membuatnya melambat menjadi 4,8%. Sehingga dengan melambatnya perekonomian China sebagai dampak virus Corona, maka sangat rentan terhadap perekonomian yang ada di dalam negeri. Sebab, hubungan persahabatan antara Indonesia dengan China yang begitu erat.

Data dari Trade map, pada tahun 2018 nilai ekspor Indonesia ke China mencapai US$ 17,126 miliar dari total nilai ekspor Indonesia senilai US$ 180,215 miliar. Nilai ekspor Indonesia ke China terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2016 dan 2017, nilai ekspor Indonesia ke China masing-masing senilai US$ 16,785 miliar dan US$ 23,049 miliar. Berdasarkan kajian Bank Dunia, setiap perlambatan ekonomi China sebesar 1 poin persentase akan mengurangi pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 0,3 poin persentase. Sehingga sangat jelas terlihat bahwa indonesia sangat rentan terhadap gejolak ekonomi global, terlebih pada China yang saat ini di landa virus Corona. Oleh karena itu, Ada beberapa langkah alternatif yang harus diambil pemerintah untuk mengurangi dampak ekonomi dari penyebaran virus Corona bagi Indonesia. Industri harus siap untuk menyesuaikan kondisi pasar yang artinya mencari substitusi atau alternatif negara tujuan ekspor dan negara asal impor sehingga kegiatan produksi dapat terus berjalan. Salah satunya dengan mempertimbangkan negara–negara non-tradisional yang berpotensi besar untuk menyerap produk–produk ekspornya seperti Arab, Turki, Bangladesh dan Afrika. Hal ini bukan tanpa alasan, karena negara-negara non-tradisional saat ini mengalami pertumbuhan ekonomi yang menggiurkan dan ini tepat bagi Indonesia untuk menggenjot ekspor ke negara tersebut.

Pemerintah harus segera menganalisis dengan baik seputar keuntungan yang selama ini telah diperoleh dari transaksi perdagangan internasional dengan negara non-tradisional. Selama ini Indonesia sudah lama mengadakan perjanjian dagang, tetapi juga harus melebarkan sayap ekspor ke negara–negara non-tradisional dengan memperhatikan pasar dan kebutuhan di negara tersebut. Perlu adanya upaya untuk membentuk segmentasi pasar dalam negeri yang mampu menyediakan kebutuhan negara non-tradisional. Dengan kata lain, pasar yang memiliki potensi pertumbuhan ekonomi yang baik dan tepat bagi Indonesia akan memberikan peluang untuk surplus pada neraca perdagangan. Setidaknya dengan langkah alternatif yang diambil adalah sebagai bentuk tindakan antisipasif pemerintah dalam menyikapi persoalan yang sedang terjadi saat ini. Tanpa harus mengambil kebijakan disaat persoalan itu benar-benar terjadi. Hal ini penulis teringat dengan salah satu karya dari seorang penulis sekaligus penyair Jerman Johann Wolfgang Von Goethe (1749-1832) yang menyatakan bahwa “pencegahan itu lebih baik daripada mengobati

*Tulisan ini pernah dimuat oleh Malutpost

Ekonomi Kreatif, Ujung Tombak Generasi Emas Indonesia

0
EKONOMI KREATIF, UJUNG TOMBAK GENERASI EMAS INDONESIA
EKONOMI KREATIF, UJUNG TOMBAK GENERASI EMAS INDONESIA

Oleh : Riski Ismail

Pegiat Republik Literasi Tobacca

Istilah ekonomi kreatif berkembang dari konsep modal berbasis kreativitas yang dapat berpotensi meningkatkan pertumbuhan ekonomi disuatu daerah. John Howkins dalam bukunya The Creative Economy: How People Make Money from Ideas pertama kali memperkenalkan istilah ekonomi kreatif sebagai “the creation of value as a result of idea”. Artinya bahwa aktivitas ekonomi yang bertumpu pada eksplorasi dan eksploitasi ide-ide kreatif yang memiliki nilai jual tinggi. Ekonomi kreatif dapat dikatakan sebagai konsep ekonomi di era ekonomi baru yang mengintensifkan informasi dan kreativitas dengan mengandalkan ide dan stock of knowledge dari sumber daya manusia sebagai faktor produksi utama dalam kegiatan ekonominya.

Pada prinsipnya, apapun model ekonomi dan sistemnya termasuk dalam pembangunan infrastruktur sistem ekonomi kreatif berbasis ide, seyogyanya tidak saja menegasikan kehidupan sosial dalam berbagai bentuknya. Dalam usulan tata ekonomi politik masyarakat baru di Indonesia, upaya jalan pintas telah banyak diajukan untuk mengatasi ketidakpastian yang diakibatkan oleh gelombang perubahan global, di antaranya upaya menyandingkan ekonomi kerakyatan dan ekonomi pasar dalam satu tarikan napas, sebagai solusi untuk mengurangi kesenjangan kaya-miskin sekaligus menciptakan distribusi sumber daya yang berkeadilan sosial. Dengan adanya kereta “baru” yang digagas oleh para elit pemerintahan itu, seperti biasa akan berjalan tersendat. Dalam tataran konsep, menyatukan kedua sistem tersebut, sama artinya dengan ambisi ingin menyatukan air dengan minyak. Harus diakui, banyak hal positif yang dapat diambil dari sistem kapitalisme, efisiensi pasar misalnya, begitu juga sebaliknya hal positif dari sistem sosialisme, seperti akses dan kendali semua orang atas sumber daya. Diharapkan buah hasil cangkokan tersebut dapat mewujudkan pasar yang berkeadilan sosial. Sesuai dengan dasar konstitusi yang tertuang dalam Pasal 33 UUD 1945 dimana dikemukakan bahwa sistem perekonomian Indonesia ditujukan untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam bidang ekonomi. Dengan tiga prinsip dasar sering disebut sebagai ekonomi kerakyatan yaitu (1) perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan; (2) cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; dan (3) bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Berdasarkan ketiga prinsip tersebut dapat disaksikan betapa sangat besarnya peran negara dalam menunjang suatu sistem ekonomi yang berbasis pada kegiatan ekonomi masyarakat luas.

Kreativitas merupakan modal utama dalam menghadapi tantangan global. Bentuk-bentuk ekonomi kreatif selalu tampil dengan nilai tambah yang khas, menciptakan pasarnya sendiri dan menyerap tenaga kerja serta pemasukan ekonomis. Untuk mengembangkan ekonomi kreatif, diperlukan sejumlah SDM yang berkualitas dengan daya kreativitas dan inovatif yang tinggi.  Maka menjadi tidak berlebihan bila Howkins menyebutkan ekonomi baru telah muncul seputar ekonomi kreatif yang dikendalikan oleh hukum kekayaan intelektual seperti paten, hak cipta, merek, royalty, dan desain.

Bagi Indonesia, ekonomi kreatif sudah selayaknya menjadi andalan pertumbuhan ekonomi melihat begitu besarnya potensi yang dimiliki. peningkatan kontribusi ekonomi kreatif terhadap total Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia dalam dua tahun terakhir terus meningkat. Berdasarkan laporan dari Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) bahwa kontribusi ekonomi kreatif terhadap PDB pada tahun 2018 berkisar Rp 1105 triliun dan meningkat Rp 1200 triliun pada tahun 2019. Bahkan berkontribusi besar dalam penyediaan lapangan pekerjaan dengan menopang hampir 17 juta pekerja. Mengingat peran ekonomi kreatif yang semakin meningkat bagi perekonomian suatu wilayah, maka tidaklah heran jika semakin banyak kota yang menjadikan ekonomi kreatif sebagai ujung tombak dan katalisator pengembangan ekonomi daerahnya untuk menjadi pemenang di tengah persaingan yang semakin ketat ini. Oleh karena itu, kota yang mampu menciptakan produk-produk baru inovatif tercepat, dapat dipastikan sebagai pemenang kompetisi di era ekonomi kreatif ini. Dengan demikian, ekonomi kreatif merupakan pengembangan konsep yang berlandaskan sumber aset kreatif yang telah berfungsi secara signifikan meningkatkan pertumbuhan potensi ekonomi.

Di negara maju, pembentukan ruang-ruang kreatif tersebut telah mengarah pada kota kreatif (creative city) yang berbasis pada penciptaan suasana yang kondusif bagi komunitas sehingga dapat mengakomodasi kreativitas. Kunci utama pengembangan kota kreatif adalah keterlibatan lintas pelaku, yaitu pemerintah, komunitas, akademisi dan pelaku usaha dalam berbagi tugas dan peran, sehingga menghasilkan upaya yang kolaboratif dan sinergis dalam penumbuhkembangan dan pemanfaatan kreativitas dan inovasi. Tentunya diharapkan komitmen yang tinggi dari pemangku kepentingan ekonomi kreatif di Indonesia dalam memanfaatkan momentum pengembangan ekonomi kreatif, sehingga dapat menjadikan ekonomi kreatif sebagai masa depan mesin pertumbuhan ekonomi baru dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat. Berdasarkan hasil tersebut,  strategi pengembangan yang sebaiknya diterapkan adalah strategi yang mendukung pengembangan potensi industri kreatif, seperti meningkatkan pengembangan sumber daya manusia

Pengembangan SDM dapat dilakukan melalui pendidikan, pelatihan, seminar, literasi digital, studi banding, dan hal-hal yang lain yang dapat meningkatkan inovasi, ide yang kreatif dari sumber daya manusia dalam menciptakan dan menggelola industri kreatif. Oleh karena itu, dengan adanya kolaborasi diharapkan dapat terciptanya hubungan antara industri kreatif yang dapat menyiapkan generasi emas Indonesia.

*Tulisan ini pernah dimuat oleh Malutpost

error: Content is protected !!