Oleh : Arifin Muhammad Ade
Penulis Buku “Narasi Ekologi”
Mulanya ketika manusia mulai meninggalkan kehidupan dari berburu dan meramu (nomaden) ke kehidupan yang menetap di suatu tempat, serta mulai menerapkan aktivitas bercocok tanam dan mengolah tanah. Pada saat itu, cikal bakal di mulailah eksploitasi manusia terhadap alam, walaupun masih dalam skala yang dapat ditolerir. Artinya, kemerosotan lingkungan hidup bukan hal baru bagi dunia saat ini saja, tetapi telah terjadi sepanjang catatan sejarah dengan catatan-catatan negatif yang mendalam bagi sejumlah peradaban kuno.
Bukti sejarah menunjukan bahwa runtuhnya peradaban-peradaban dunia seperti Mesopotamia dan Maya tak terlepas dari faktor-faktor yang diyakini adalah faktor ekologis. Mereka menghancurkan banyak sumber daya yang diperlukan bagi mereka sendiri. Mereka juga mengeksploitasi sumber daya alam secara berlebihan.
Memasuki era modern, persoalan terus berlanjut dan menjadi semakin rumit, terutama sejak bergulirnya revolusi industri di Inggris pada abad ke-18. Eksploitasi terhadap sumber daya alam dilakukan dalam skala yang lebih besar dan terjadi secara masif. Hingga saat ini dengan semakin meningkatnya populasi masyarakat dunia, eksploitasi pun semakin tak terbendung.
Terjadinya pengerukan kekayaan sumber daya alam secara masif dengan alasan pertumbuhan ekonomi, kemudian menjadi sebuah dalil yang berhasil meloloskan berbagai korporasi-korporasi untuk mengekstraksi sebanyak mungkin kekayaan alam yang tersedia. Bahkan kerap kita berbagai argumen yang berkembang di masyarakat bahwa “jika bisa mengambil sebanyaknya, mengapa tidak?”.
Hal ini tentunya bertentangan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs), dimana kesepakatan bersama masyarakat global untuk berusaha mencapai keberhasilan pembangunan secara berkelanjutan di bidang sosial, ekonomi, dan lingkungan. Artinya, pemanfaatan kekayaan sumber daya alam dengan tujuan ekonomi jangan sampai melebihi daya dukung lingkungan. Hal ini akan berakibat pada rusaknya tatanan sosial masyarakat, alih-alih mengharapkan kemajuan yang terjadi justru kemunduran.
Khususnya dalam pengembangan taraf hidup dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Bila dicermati, mimpi membangun sebuah masyarakat yang berkelanjutan pada dasarnya adalah menekankan pengembangan dan pembangunan ekonomi berdasarkan kondisi alam setempat. Sebuah model yang ingin menyatukan kembali ekonomi dan ekologi (ekonomi hijau), karena kesadaran bahwa baik ekonomi dan ekologi sama-sama sesungguhnya berurusan dengan rumah tangga (oikos), alam, tempat tinggal, habitat hidup.
Pada tataran teoritis, konsep tentang ekonomi hijau itu sendiri telah diperkenalkan sejak awal tahun 1970-an. Saat itu, Allen van Newkirk memperkenalkan istilah bioregionalisme, yaitu sebuah proses teknis mengidentifikasi wilayah budaya yang ditafsirkan secara biogeografi. Di dalam batas-batas wilayah budaya ini, manusia memelihara dan menjaga beragam tanaman dan binatang, membantu konservasi dan restorasi ekosistem liar, sambil menggali kembali model-model aktivitas manusia yang selaras dengan kenyataan biologis bentang alam yang ada.
Konsep bioregionalisme sendiri hadir sebagai jawaban atas adanya pro dan kontra yang berkembang di kalangan akademisi yang kerap mempertentangkan antara ekonomi dan ekologi. Di satu sisi, pihak yang mendukung pertumbuhan ekonomi berpendapat bahwa eksploitasi atas sumber daya alam dapat dibenarkan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat. Di sisi yang lain, pihak yang peduli pada kelestarian lingkungan (aliran ekologi) mencoba mempertahankan kondisi lingkungan demi generasi akan datang sebagai basis argumen yang mereka bangun.
Singkatnya, ekonomi bioregional (ekonomi hijau) adalah ekonomi yang menyesuaikan seluruh aktivitasnya dengan kondisi dan potensi alam setempat untuk mewujudkan kesejahteraan penghuninya sambil tetap mempertahankan keseimbangan alamiah ekosistem setempat sebagaimana menjadi inti dari prinsip pembangunan berkelanjutan.
Dengan kata lain, ekonomi hijau merupakan suatu model pendekatan pembangunan ekonomi yang tidak lagi mengandalkan pembangunan ekonomi berbasis eksploitasi sumber daya alam dan lingkungan. Ekonomi hijau merupakan suatu lompatan besar untuk meninggalkan praktik-praktik ekonomi yang mementingkan keuntungan jangka pendek yang telah mewariskan berbagai permasalahan yang mendesak untuk ditangani.
Herman Daly (1991), ahli ekonomi ekologi Amerika Serikat, terkenal dengan penekanannya atas apa yang ia sebut sebagai “Teorema Ketidakmungkinan”: mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak mungkin bisa tumbuh secara tak terbatas dalam lingkungan yang terbatas. Pernyataan ini menegaskan bahwa keberlanjutan sektor perekonomian tidak dapat tercapai jika tidak diimbangi dengan kelestarian lingkungan.
Pada banyak kasus, ekonomi hijau yang seharusnya dapat mendukung pembangunan berkelanjutan menjadi sekedar “kemasan hijau” karena akumulasi kapitalis dan eksplotasi sumber daya alam terus dilakukan.
Sebagai contoh, dilansir dari Tirto.id (19/02/2021), Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dalam sebuah pembahasan terkait pembangunan Bendungan Karian, menyampaikan permintaannya agar aktivitas penebangan hutan dihentikan. Menurut Luhut, hutan merupakan sumber persediaan air dan Indonesia harus mempersiapkan diri menghadapi potensi ancaman kekurangan air yang terjadi di kemudian hari.
Ibarat “termakan omongan sendiri”, Luhut tidak menyadari bahwa ia sendiri berada dibalik beroperasinya perusahan-perusahan raksasa yang hingga saat ini telah memporak-porandakan alam dan hutan Kalimantan. Terungkap dalam berbagai sumber, Luhut adalah seorang pengusaha energi yang memiliki perusahan Toba Sejahtera Group. Berdasarkan laporan dari Coalruption “Elit Politik dalam Pusat Bisnis Batubara” mengungkapkan perusahan tersebut terbagi menjadi enam cabang, yakni batubara dan pertambangan, migas, perindustrian, properti, pembangkit listrik, serta kehutanan dan kelapa sawit.
Dengan kata lain, keberadaan perusahan-perusahan raksasa para elit di negeri ini, secara tidak langsung telah mematikan tumbuh-kembangnya perekonomian masyarakat lokal, praktek ekonomi yang benar-benar selaras dengan alam. Sebagaimana dijalani masyarakat adat yang tersebar di seluruh Indonesia.
Fenomena seperti ini, mengutip pernyataan Daniel Goleman, menyebutkan bahwa “sekian banyak produk yang berlabel hijau (ramah lingkungan), sebenarnya tergolong kehijau-hijauan yaitu dihiasi dengan penampilan yang seakan ramah lingkungan”. Lebih lanjut, Goleman menambahkan bahwa standar kehijauan yang sekarang ada itu mungkin kelak akan dianggap “eco-miophia” atau pandangan yang dangkal terhadap lingkungan.
Dengan demikian, menghijaukan ekonomi sebagai sebuah gerakan mengembangkan sektor perekonomian yang ramah lingkungan. Maka, sudah saatnya rumus ekonomi mengadopsi depresiasi tak hanya aset fisik. Para ekonom mesti memasukkan layanan alam untuk menghitung pertumbuhan ekonomi. Sebab, dampak dan kerugian akibat kerusakan lingkungan selalu bisa dihitung melalui objek fisik.