Oleh : Firman M. Arifin (Redaktur SENTRA)
Sebelum nama-nama beken macam Nukila Amal, Dino Umahuk, dan Sofyan Daud atau meraka yang mendaulat diri sebagai sastrawan asal tanah Halmahera (Maluku utara) menghiasi jagat sastra Indonesia. Ada satu nama yang barangkali asing di telinga, tapi sosoknya mengendap dalam arus sejarah sastra Indonesia, dia adalah Muhammad Idrus Djonge (MID) – menggunakan nama pena Indonesia O’Galelano. Lahir 17 November 1940 di tanah Galela, Halmahera Utara. MID melakutkan jenjang pendidikan Sekolah Menengah Pertama dan Menengah Atas di Ternate. Kala itu, Ternate menjadi pusat orang-orang di sekitar pulau melanjutkan Pendidikan.
Sejak SMP aura untuk memilih sastra sebagai orientasi hidup mulai terlihat, ketika MID mulai terlibat dalam pentas seni. “Saijab dan Adinda” milik Edward Douwes Dekker dan “Bunga Rumah Makan” karya Utuy Tantang Santani menjadi titik awal MID dengan pentas sastra. Fakultas Publistik Ibn Khaldun di Jakarta menjadi tujuan MID setelah tamat dari sekolah menengah atas. Di tanah ibukota kepakan sayap MID terbilang cukup disegani “saya masih ingat, ketika itu bapak menggendong saya dan membaca puisi di Taman Ismail Marjuki. Disitu kami bertemu Emha Ainun Nadjib, Gus Mus dan sastrawan lainnya” Ujar M. Fahri Djoge, putra bungsu MID.
Menurut catatan Adnal Amal “Borero; Tulisan-tulisan yang Tercecer (2018)” karya-karya MID menghiasi surat kabar yang cukup terbilang ketat dalam proses seleksi karya, seperti Majalah Sastra Horison, Panji Masyarakat dan Harian Pelita. Sastrawan yang dijuluki paus sastra, Hans Baque Jassin menyisihkan MID bagian pelopor sastra angkatan 66 yang termaktub dalam karyanya “Angkatan 66; Prosa dan Puisi, Jilid pertama (1976)”.
Di tahun 60-an, berkarir sebagai seorang seniman menjadi tantangan yang cukup serius. Tatkala konflik yang melibatkan dua kelompok seni antara Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra) dan Manifestasi Kebudayaan (Manikebu) cukup berdampak terhadap karir MID. Lekra yang sering diasosiasikan milik Partai Komunis Indonesia (PKI) didirikan oleh D.N Aidit sebagai Upaya bagian dari instrument partai dan kampanye politik direspon dengan lahirnya kelompok tandingan yang dipimpin oleh Goenawan Mohamad. Secara ideologis kedua kelompok tampak kontras. Lekra menekankan seni sebagai alat propaganda politik dan Manikebu menegaskan bahwa “Seni untuk seni” tanpa ada ikatan politik. MID yang tergabung dalam kelompok manikebu terpaksa menuai jalan buntu, ketika rezim orde lama melarang aktivitas Manikebu yang dianggap mengancam kestabilan politik.
Bubarnya Manikebu memaksa MID mulai konsen untuk mengasuh surat kabar Harian Pelita, dan menjadi pemimpin redaksi. “Seumur hidup, bapak mendedikasikan hidupnya untuk berkarya (menulis puisi, prosa dan esai), kami makan hari-hari dari honor karyanya” tutur M. Fahri Djoge. MID menikah dengan Jaena, perempuan Galela. Memiliki empat orang anak, Aigina O Maeka, M Faisal Dukomarto, Siti Aisyah Bira Miakeri dan M Fahri Djoge.
Walaupun seumur hidup MID tak pernah menerbitkan karyanya dalam bentuk buku. Namun MID menjadi sastrawan asal Maluku yang paling disegani oleh H.B Jassin. “Honor dari karya bapak tak seberapa, bahkan tak cukup untuk kebutuhan makan sehari-hari, maka dari itu ibu juga kerja untuk bisa menghidupi kami” tamba Fahri. Puisi Epos Laut, Kartu Post Hitam, Sajak dari Madura, Sarat Dadlimenthe daru Biak dan dan masih ada lagi yang belum ditemukan, akibat tercecer di surat kabar kala itu. Di beberapa situs marketplace arsip karya MID dipatok mulai dari harga 4-7 jutaan, sebagaimana yang tertera di Warung Arsip dan Perpustakaan Jakarta Kliping.