Jakarta – Anggota Baleg DPR RI, Firman Soebagyo menilai Pemerintah terkesan lambat dan tutup mata dalam menjaga keberlangsungan Industri Pertekstilan di Indonesia.
Bagaimana tidak, Firman menyebut bahwa DPR telah berulangkali mengingatkan ke Pemerintah agar cepat mengambil langkah untuk mencegah terjadinya kemunduran Instdustri tekstil tanah air.
“Mengenai pertekstilan ini sebenarnya kami sudah sampaikan cukup lama kepada pemerintah, tetapi pemerintah cukup lamban untuk merespoon ini sehingga banyak kehancuran-kehancuran di pertekstilan kita, padahal perstektilan pernah menjadi andalan ekspor kita dan kebutuhan di dalam negeri,” ujar Firman dalam RDPU Baleg DPR RI, dengan Ketum DPP IKATSI, Asosiasi Pertekstilan Nasional, APSyFI, dan Asosiasi Pengrajin dan Pengusaha Batik Indonesia yang berlangsung di Ruang Sidang DPR RI pada Senin (26/5).
Menurutnya, keterlambatan pemerintah itulah menjadi penyebab kehancuran dunia usaha di Indonesia terutama di bidang tekstil. Padalah kata dia, masa depan perindustrian Indonesia, masih memiliki peluang, namun tantangannya juga luar biasa. Tentu tantangan terbesarnya adalah persaingan dengan produk impor yang murah dan berkualitas. Selain itu, juga terjadi penurunan ekspor akibat melemahnya permintaan global. Terlebih lagi, masalah paling mendasar yang selalu di ingatkan ke Pemerintah adalah impor ilegal yang merugikan produsen lokal dan menyebabkan kerugian ekonomi.
“Ini ada Pembiaran dari negara. Dan ini fakta kebijakan yang paling menyakitkan,”
Firman juga menjelaskan bahwa terdapat peluang yang dihadapi dalam industri Indonesia, dimna terjadi pertumbuhan positif dari beberapa segmen seperti tekstil bagian jadi dan alas kaki. Kontribusi industri tekstil terhadap pertumbuhan ekonomi bahkan signifikan, yaitu mencapai 19,28 persen di triwulan pertama 2024.
“Tapi kita liat apa yang terjadi? Yang ada adalah pembiaran dari pemerintah. Negara tidak adil melihat pertekstilan ini,” tegasnya.
Politisi senior Partai Golkar ini meminta kepada stakelholder yang hadir dalam RDPU itu, terutama di bidang tekstil untuk meningkatkan daya saing pelaku industri tekstil dalam melakukan sejumlah upaya seperti meningkatkan efisiensi produksi, melalui opsi teknologi modern dan otomatisasi.
Kata dia, Buruh tidak bisa terus menuntut kenaikan gaji saja, tidak bisa juga terus melakukan demonstrasi karena menurutnya tantangan kedepan itu bukan terletak pada pengusaha melainkan pada buruh.
“Buruh tidak mungkin ada kalau tidak ada pengusaha dan investasi. Saya pernah sampaikan ke Menteri Tenaga Kerja adalah bagaimana buruh ini bisa beradaptasi dengan teknologi karena kedepan, seribu manusia bisa digantukan dengan dua orang untuk meriset komputer, selebihnya dilaksanakan oleh mesin. Itu tantangan kita yang sebenarnya, sehingga buruh harus di didik untuk adaptasi dengan teknologi seperti yang dilakukan di Cina,” jelasnya.
Dirinya juga menyentil soal pengembangan untuk menciptakan produk induk harus memiliki nilai tambah yang dimana berkaitan dengan teknologi, karena dalam produksi didesain menggunakan computer, bahwa kedepan harus ada perbedaan produksi dan juga perlu perlindungan tentang batik Heritage.