Oleh:

Mochdar Soleman (Pengamat Politik Lingkungan, Universitas Nasional)

Ketika negara berbicara tentang investasi, yang terdengar di banyak wilayah justru jeritan warga yang terpaksa angkat kaki dari tanahnya sendiri. Dua episode terbaru—Rempang dan Raja Ampat—menyingkap wajah kelam pembangunan yang dijalankan atas nama “kemajuan,” tapi meninggalkan jejak luka ekologis dan sosial.

Di Rempang, proyek Eco-City dipromosikan sebagai bagian dari strategi nasional menuju transformasi ekonomi. Namun yang terjadi adalah relokasi paksa warga adat Melayu, represi terhadap protes damai, dan pembungkaman suara-suara kritis. Di garis depan proyek ini berdiri Menteri Investasi Bahlil Lahadalia, dengan retorika optimisme pertumbuhan dan penciptaan lapangan kerja.

Tapi, dalam semangat “pembangunan” itu, prinsip Free, Prior and Informed Consent (FPIC)—yang menjadi standar internasional perlindungan hak masyarakat adat—tak terdengar. Apa yang dibingkai sebagai proyek negara justru mengulang watak lama: pembangunan dari atas, tanpa mendengarkan mereka yang akan terdampak langsung.

Di Raja Ampat, wilayah konservasi laut yang selama ini dikenal dunia karena keanekaragaman hayatinya, skenario yang sama mengemuka. Tambang nikel direncanakan masuk ke wilayah yang jelas-jelas dilindungi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014. Celakanya, yang mendorong pembukaan wilayah ini bukan hanya negara, tapi juga seorang menteri yang berasal dari Papua. Representasi identitas tak menjamin keberpihakan, apalagi jika kekuasaan sudah berada di pangkuan.

Dalam dua kasus ini, Bahlil tampil bukan sekadar sebagai menteri, tapi simbol dari sebuah rezim pembangunan yang menjadikan investasi sebagai mantra utama, sekalipun harus mengorbankan ruang hidup komunitas lokal. Alih-alih pelindung rakyat, negara berperan sebagai makelar tanah dan perantara kepentingan modal.

Model pembangunan seperti ini bukan hal baru. Ia berakar dari pola ekonomi ekstraktif Orde Baru, hanya kini dibungkus lebih rapi: dengan istilah hilirisasi, transisi energi, atau smart city. Namun substansinya sama: penguasaan ruang oleh modal, dan penyingkiran warga dari tanah dan laut yang mereka rawat turun-temurun.

BACA JUGA   Operasi Pasar Murah melalui Kapal Inflasi Jangkau Masyarakat Pulau Mare

Pertanyaannya, pembangunan untuk siapa? Jika jawabannya adalah penggusuran, ketimpangan, dan kerusakan ekologis, maka itu bukan pembangunan melainkan bentuk kekerasan yang dilegalkan.

Kita perlu mendobrak logika pembangunan yang menempatkan masyarakat sebagai penghalang investasi. Sudah saatnya negara menempatkan rakyat sebagai subjek utama, bukan korban yang dikorbankan atas nama pertumbuhan.

Tanpa koreksi menyeluruh terhadap arah kebijakan investasi hari ini, konflik seperti Rempang dan Raja Ampat hanya akan jadi bab awal dari serial panjang perampasan ruang hidup. Dan dalam sejarah kelam itu, nama Bahlil akan tercatat sebagai salah satu tokoh sentralnya.