Seperti ditegaskan oleh Cooper (2012) dalam The Responsible Administrator, integritas merupakan jantung dari tata kelola demokratis yang sehat. Ketika masyarakat menyaksikan pelaku korupsi kembali diberi mandat kekuasaan, kepercayaan terhadap negara melemah, begitu pula partisipasi publik dalam pembangunan.

Setiap kepala daerah perlu mengevaluasi kembali keputusan pengangkatan Ketua dan anggota TPP dengan melibatkan mekanisme pengawasan publik dan administratif. Pertimbangan utama seharusnya meliputi rekam jejak integritas, tingkat kepercayaan masyarakat, serta keterbukaan proses. Bila kebijakan tersebut menuai penolakan dari publik, maka pencabutan jabatan merupakan pilihan yang layak demi menjaga legitimasi pemerintahan. Keterlibatan masyarakat sipil, media, akademisi, dan mahasiswa dalam ruang-ruang diskusi seperti forum publik atau dialog interaktif juga menjadi krusial. Dengan cara itu, arah pembangunan menjadi lebih terbuka dan memiliki legitimasi moral yang lebih kuat di mata masyarakat.

Secara legal, pengangkatan Ketua TPP oleh Kepala Daerah memang dimungkinkan, selama mengikuti aturan perundang-undangan. Namun, aspek etika tak bisa dikesampingkan. Etika publik tak hanya menyoroti kepatuhan terhadap norma, tetapi juga membantu pejabat merumuskan kebijakan dengan mempertimbangkan dampak moralnya. Di sinilah pentingnya modalitas etika, yakni jembatan antara ideal moral dan praktik nyata dalam pengambilan kebijakan.

Aspek profesionalitas juga harus jadi acuan. Kepala daerah mesti memastikan bahwa figur yang dipilih memiliki kapasitas yang memadai agar tidak memunculkan persepsi publik tentang nepotisme atau bagi-bagi jabatan.

Meski secara hukum sah, penunjukan figur yang bermasalah atau minim kapasitas bisa menimbulkan kegaduhan politik dan merusak kredibilitas pemerintahan. Di sisi lain, bila dirancang secara tepat, TPP bisa menjadi instrumen strategis yang mendorong percepatan pembangunan dengan biaya efisien. Namun, jika hanya menjadi simbol tanpa kinerja nyata, TPP berisiko menjadi beban anggaran, terlebih di tengah tuntutan efisiensi seperti yang digariskan dalam instruksi Presiden. Maka, evaluasi kinerja TPP perlu berbasis ukuran yang objektif, baik secara kuantitatif maupun kualitatif.

BACA JUGA   Erwin-Zulkifli: Dari Industrilisasi Sampah sampai Mengembalikan Kejayaan Persiter

Akhirnya, kita perlu bertanya: pembangunan macam apa yang hendak dicapai jika dimulai dengan pengabaian terhadap prinsip dasar moralitas? Bila etika dapat dinegosiasikan, yang dibangun bukan kemajuan, melainkan struktur kekuasaan yang rapuh.