Namun, yang paling mendesak adalah kesadaran eksistensial: manusia harus menegaskan kembali bahwa teknologi hanyalah perpanjangan dari visi kemanusiaan. Jika kita menyerahkan arah masa depan sepenuhnya pada logika algoritma, maka kita berisiko kehilangan kendali atas makna. AI dapat menghitung miliaran kemungkinan, tetapi hanya manusia yang dapat bertanya, “Kemungkinan mana yang seharusnya kita wujudkan?”

Era AI bukanlah akhir dari manusia, melainkan undangan untuk mendefinisikan ulang apa artinya menjadi manusia. Paradigma generasi harus dibangun di atas kesadaran bahwa relevansi kita tidak lagi terletak pada seberapa cepat kita menghitung atau mengingat, tetapi pada seberapa dalam kita memahami, memaknai, dan menata masa depan bersama. Dan pada akhirnya, di tengah deru algoritma dan sinyal digital, masa depan akan berpihak bukan pada mesin yang paling cerdas, tetapi pada manusia yang paling bijak. Bukan pada mereka yang hanya mampu menciptakan teknologi, tetapi pada mereka yang mampu menenun visi kemanusiaan ke dalam setiap baris kode. Kita tidak sedang menunggu masa depan datang, kita sedang menulisnya, sekarang.

 

 

BACA JUGA   Kemuliaan Al-Quran dan Kisah Izzah