Oleh:

Ijan Sileleng (Ketua Umum HMI Komisariat (P) FEBI IAIN Ternate

Bagaimanakah kondisi manusia sekarang? Hanna Arendt mengajak kita berpikir kembali,  apa artinya menjadi manusia dan apa makna hidup?

Pertanyaan filosofis ini menggugat dan membangunkan manusia untuk merenung dan merefleksikan secara kedirian dan kemanusiaan tentang kondisi manusia. Fenomena yang terjadi sekarang ini tentang manusia tidak lagi dilihat dari status kemanusiaannya, tapi dari status kedudukan antara orang miskin dan pejabat.

Pejabat memiliki kuasa, jutaan uang dan ratusan kekayaan. Orang lemah atau miskin adalah yang tidak memilik relasi kekuasaan. Miskin secara ekonomi, tidak berpendidikan, hidup mereka begitu perih. Kadang sehari makan hanya sekali dan mengguyur kesedihan di meja panjang.

Siapa yang akan dihargai, dipuji dan dihormati? Tentu orang akan lebih memuji para pejabat, dan dari sinilah jurang pemisah antara orang miskin dengan pejabat.

Lebih naif ketika manusia sudah terbiasa memuji bahkan menjilat, kemudian hanya mereka yang akan menikmati kekuasaan tersebut.

Arendt melihat fenomena seperti ini terjadi akibat pergeseran pandangan hidup yang sangat mendalam. Manusia moderen ingin “melepaskan diri dari kondisi manusiawinya sendiri”.

Lalu melenyapkan hati nurani yang menimbulkan gaya hidup yang mewah, kemudian merusak alam. Ketidakadilan juga tidak lagi menghargai bumi dan sesama manusia sehingga kita akan kehilangan makna hidup tentang siapa kita sebenarnya.

Budi Hardiman dalam bukunya mengatakan “Aku klik maka aku ada”, manusia di era sekarang melalui perkembangan teknologi seperti handphone disebut sebagai manusia digital. Perkembangan digital ini telah merubah cara pandang moral dan merubah pola hidup yang hanya terpasung individualistik.

Dari pola hidup yang tidak memiliki makna yang berarti, bagaimana hidup yang berarti dan bermakna dalam keseharian itu. Dari makna hidup itu kita semua mendulang nilai-nilai kehidupan manusiawi. Milai-nilai manusiawi itu yang menjadi jalan hidup yang harus kita hayati dan pegang teguh.

BACA JUGA   Dihadiri Wali Kota dan Wakil Wali Kota, Sultan Tidore Pimpin Upacara Peringatan Hari Jadi Tidore 

Oleh karena itu, nilai-nilai kehidupan dan nilai-nilai kemanusiaan yang terkait dengan makna hidup atau yang sejenisnya tidak datang dari langit atau dari pedoman etika penguasa siapa pun. Melainkan datang dari dirinya dalam bentuk kepedulian, cinta, kepekaan sosial terhadap kaum yang lemah.

Bukankah istri baginda Rasulullah S.A.W, yakni Siti Khadijah saat keluar rumah melihat seorang pria tua mengadu nasib di atas penderitaan dan kelaparan. Istri Rasulullah menyapa sambil meneteskan air mata, kemudian ia rela memberi emas berharganya yang diberikan oleh Rasulullah.

Pada sebuah kisah yang lain, sahabat Rasulullah, Umar bin Khattab saat melakukan perjalanan malam hari untuk melihat kondisi rakyatnya. Ia menemukan seorang ibu dan bertanya, “ibu, apa yang kau masak?, seorang perempuan tua itu menjawabnya dengan nada yang rendah “aku memasak batu untuk menenangkan anak-anak ku yang menangis karena kelaparan.” Di saat itu, hati Ummar bin Khattab menangis, Umar lalu bergegas pergi ke gudang negara mengambil gandum beras. Hal demikian sebagai bentuk sederhana dari kasih sayang dan kepedulian terhadap ummatnya.