Kemerdekaan?

Bangsa yang benar-benar merdeka adalah bangsa yang tidak takut pada perbedaan, bangsa yang berani menghadapi tantangan global tanpa kehilangan identitas, bangsa yang mampu menciptakan keadilan bagi rakyatnya sendiri. Jika syarat-syarat itu belum terpenuhi, maka pertanyaan besar itu tetap relevan, apakah kita sudah merdeka? Atau bagaimana?

Jawaban atas pertanyaan itu tidak bisa hanya dicari di dalam pidato pejabat, tidak cukup dengan mengibarkan bendera, dan tidak selesai dengan serangkaian lomba rakyat. Jawabannya ada di kehidupan nyata rakyat sehari-hari. Jika rakyat bisa makan dengan layak, jika anak-anak bisa bersekolah tanpa takut biaya, jika petani bisa hidup sejahtera dari hasil taninya, jika nelayan bisa menguasai lautnya sendiri, jika buruh bisa bekerja dengan upah yang manusiawi, dan jika setiap orang bisa menyampaikan pendapat tanpa takut ditindas, maka kita bisa mengatakan dengan yakin bahwa kita benar-benar merdeka. Justru yang ada merdeka tetapi merana, pertahankan tanah adat sja dipenjara, mengibarkan bendera One Pice sja dilarag. Izin bertanya Indonesia ini negara atau kelurahan sebenarnya.

Namun selama fakta yang terjadi masih jauh dari itu semua, maka kemerdekaan kita masih setengah jalan. Tugas generasi hari ini bukan hanya menjaga kemerdekaan sebagai warisan sejarah, tetapi juga memastikan kemerdekaan itu nyata, hadir, dan dirasakan oleh seluruh rakyat. Sebab merdeka bukan berarti selesai, melainkan berarti terus berjuang.

Kemerdekaan selalu terdengar agung dalam pidato-pidato pejabat, tetapi makna sejatinya hanya bisa diuji di tengah kehidupan rakyat. Jika ingin melihat wajah kemerdekaan Indonesia hari ini, maka Maluku Utara dapat menjadi salah satu cermin yang paling jernih sekaligus paling getir. Provinsi yang disebut kaya raya dengan sumber daya alam, terutama tambang nikel, emas, dan lautnya yang luas, ternyata menyimpan ironi mendalam. Di satu sisi, Maluku Utara menjadi rebutan investasi raksasa, perusahaan-perusahaan multinasional menancapkan modalnya, dan negara mengklaim bahwa pembangunan sedang gencar dilakukan. Namun di sisi lain, rakyat kecil di desa-desa, nelayan di pesisir, dan petani di pedalaman justru semakin terpinggirkan. Di titik inilah pertanyaan “apakah kita sudah merdeka?” patut diseriusi.

BACA JUGA   Tingkatkan Pelayanan, RSD Tidore Laksanakan Visitasi Kenaikan Kelas dari Tipe C ke B

Ambil contoh Halmahera Tengah, yang kini menjadi pusat industri nikel di kawasan Indonesia Timur. Kawasan Weda dan sekitarnya dipenuhi dengan tambang dan smelter besar yang disebut-sebut sebagai proyek strategis nasional. Ribuan tenaga kerja masuk, ribuan hektar hutan hilang, dan suara mesin pabrik berdengung siang dan malam. Pemerintah dengan bangga menyebutnya sebagai tanda kemajuan. Tetapi coba tanyakan pada masyarakat lokal, apa yang mereka rasakan. Banyak dari mereka kehilangan lahan pertanian, laut mereka tercemar limbah, dan udara yang mereka hirup tak lagi sama. Nelayan di pesisir Weda misalnya, mengeluh bahwa hasil tangkapannya semakin berkurang karena laut tercemar, sementara mereka tidak memiliki keterampilan untuk bekerja di smelter. Mereka menjadi tamu di tanah sendiri, hanya melihat kekayaan alam diangkut keluar tanpa mampu menikmatinya.

Just a moment...