Di bidang pendidikan, masalahnya juga tak kalah pelik. Sistem pendidikan Indonesia memang terus mengalami perubahan, kurikulum berganti, jargon berganti, tetapi persoalan mendasarnya tetap sama. Pendidikan lebih banyak mencetak manusia yang patuh pada sistem daripada manusia merdeka yang kritis. Anak-anak diajarkan untuk menghafal, bukan untuk berpikir. Mereka didorong untuk mencari pekerjaan, bukan menciptakan lapangan kerja. Padahal kemerdekaan pikiran adalah syarat utama bagi bangsa yang merdeka. Tan Malaka pernah menulis dalam Madilog bahwa bangsa yang ingin besar harus berani berpikir rasional, kritis, dan berilmu. Pertanyaannya sekarang apakah pendidikan kita sudah melahirkan manusia-manusia seperti itu, atau justru masih berkutat pada soal ujian dan ranking semata. Hadehhh cape deh.

Hemat Penulis Kemerdekaan juga mesti dilihat dari sejauh mana bangsa ini mampu berdiri di atas kaki sendiri. Bung Hatta pernah berkata, “Merdeka itu artinya berdiri di atas kaki sendiri.” Tetapi realitasnya, Indonesia masih sangat bergantung pada investasi asing, pada impor bahan pokok, bahkan pada utang luar negeri untuk membiayai pembangunan. Hingga 2025, utang pemerintah Indonesia sudah menembus lebih dari Rp8.300 triliun. Kata Mamat Alkatiri uang sebamyak ini jika dipakai bilim papeda satu indonesia lengket. Pertanyaannya sederhana dari semua itu apakah kita bisa menyebut diri merdeka jika untuk membiayai pendidikan, kesehatan, dan pembangunan, kita harus mengandalkan pinjaman dari pihak luar? Apakah kita benar-benar berdaulat jika harga pangan, energi, bahkan teknologi yang kita nikmati sehari-hari masih ditentukan oleh pasar global dan bukan oleh kekuatan kita sendiri?

Lebih jauh lagi, penulis beranggapan bahwa kemerdekaan juga menyangkut kebebasan berekspresi. Di atas kertas, Indonesia adalah negara demokrasi yang memberi ruang bagi rakyat untuk bersuara. Namun dalam praktiknya, suara-suara kritis sering dianggap ancaman. Aktivis yang bersuara keras terhadap ketidakadilan bisa dicap perusuh, mahasiswa yang turun ke jalan bisa dituduh anarkis, dan masyarakat yang menuntut haknya sering dihadapkan dengan aparat. Jika menyampaikan kritik masih dianggap tindakan subversif, bukankah itu tanda bahwa kita belum benar-benar merdeka.

BACA JUGA   Hilangnya Suara Orang Loloda

Merdeka sejati mestinya menghadirkan keadilan sosial, tetapi kenyataan menunjukkan bahwa ketidakadilan justru semakin mengakar. Kota dan desa semakin timpang, pusat dan pinggiran semakin jauh jaraknya, kaya dan miskin semakin lebar jurangnya. Padahal kemerdekaan tidak boleh hanya milik segelintir orang di kota-kota besar yang menikmati modernisasi, melainkan juga milik petani di pedalaman, nelayan di pesisir, dan masyarakat adat di hutan-hutan. Kemerdekaan sejati adalah ketika seluruh rakyat, tanpa kecuali, merasakan manfaat dari berdirinya sebuah negara.

Pertanyaan “KEMERDEKAAN?” menjadi penting karena kita harus berani mengkritisi realitas. Jangan sampai kemerdekaan hanya menjadi ritual tahunan, hanya menjadi cerita sejarah, atau hanya menjadi simbol yang kita rayakan dengan lomba makan kerupuk. Kemerdekaan yang diperjuangkan dengan darah dan air mata jutaan orang pada masa lalu akan kehilangan maknanya jika hari ini hanya kita warisi dalam bentuk simbolis. Kemerdekaan harus kita hidupkan dalam perjuangan sehari-hari, dalam upaya melawan ketidakadilan, dalam usaha membangun kemandirian, dan dalam kesediaan untuk berpikir kritis terhadap arah bangsa ini.